Obat Penawar Gangguan Ginjal Akut Direncanakan Tiba Hari Ini
Kementerian Kesehatan telah memesan obat penawar untuk pasien dengan gangguan ginjal akut. Obat penawar atau antidotum yang dipesan dari luar negeri ini direncanakan tiba hari ini.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menyiapkan obat penawar atau antidotum untuk anak-anak yang mengalami gangguan ginjal akut progresif atipikal. Setidaknya 200 vial obat penawar dipesan dari mancanegara dan dan akan didistribusikan ke sejumlah rumah sakit dengan jumlah pasien yang tinggi. Sebanyak 26 vial yang didatangkan dari Australia dan Singapura direncanakan tiba hari ini.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi di Jakarta, Minggu (23/10/2022), mengatakan, 26 vial obat penawar tersebut terdiri dari 16 vial dipesan dari Australia dan 10 vial dari Singapura. Obat penawar tersebut akan didistribusikan ke beberapa rumah sakit di mana terdapat banyak pasien anak dengan gangguan ginjal akut.
Obat penawar atau antidotum yang tersebut adalah Fomepizole. Obat ini merupakan penawar racun dari senyawa etilen glikol (EG) dan dapat digunakan bersamaan dengan tata laksana cuci darah atau dialisis untuk mengeluarkan senyawa tersebut dari tubuh pasien. Pemberian obat ini sebanyak 0,6 miligram per kilogram berat badan pasien per hari. Sebelumnya, obat penawar ini telah didistribusikan dalam jumlah terbatas pada rumah sakit yang merawat pasien anak dengan gangguan ginjal akut dengan jumlah banyak.
Kita harapkan tentu tren kasus akan menurun dengan adanya obat (penawar) serta langkah konservatif untuk menghentikan penggunaan obat yang diduga tercemar.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Jumat (21/10/2022), mengatakan, pemerintah telah berupaya mendatangkan setidaknya 200 vial Fomepizole. Ia menyebutkan, satu vial dari obat ini diperkirakan senilai Rp 16 juta dan penggunaannya menyesuaikan kebutuhan. Budi menegaskan, pemerintah akan berupaya mendatangkan lebih banyak vial obat penawar tersebut. Ia berharap obat penawar ini dapat menurunkan tingkat kematian (fatality rate) dari gangguan ginjal akut.
”Kita harapkan tentu tren kasus akan menurun dengan adanya obat (penawar) serta langkah konservatif untuk menghentikan penggunaan obat yang diduga tercemar. Namun, kami sudah identifikasi juga rumah sakit lain yang akan kami tingkatkan kapasitasnya dan kami tambahkan jika memang dibutuhkan,” ucapnya.
Budi menjelaskan, sebelumnya obat penawar tersebut sudah pernah diuji coba kepada 10 pasien anak dengan gangguan ginjal akut di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia mengungkapkan, hasilnya menunjukkan kondisi pasien menjadi stabil dan semakin membaik. Ini mendorong pemerintah untuk memesan lebih banyak obat penawar karena dianggap efektif untuk menangani pasien.
Dugaan keracunan
Menkes Budi mengatakan, penelitian lebih lanjut mengenai penyebab gangguan ginjal akut pada anak telah dilakukan. Dari hasil uji toksikologi terhadap 102 jenis obat yang dikumpulkan, ditemukan sejumlah senyawa kimia berbahaya, seperti etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol butil ether (EGBE), pada beberapa obat. Ketiga senyawa tersebut ditemukan sebagai cemaran pada propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan pada obat cair atau sirop. Sementara dari pemeriksaan biopsi, terkonfirmasi ginjal pasien anak rusak akibat senyawa tersebut.
Kemenkes mengambil kebijakan preventif dengan melarang fasilitas layanan kesehatan dan apotek untuk menjual dan meresepkan obat-obat cair atau sirop. Sementara itu, BPOM telah merilis lima jenis obat yang mengandung cemaran EG melebihi batas aman. Terdapat lima obat yang dinyatakan mengandung cemaran EG melebihi ambang batas aman, yakni Termorex sirop produksi PT Konimex, Flurin DMP sirop produksi PT Yarindo Farmatama, serta Unibebi Cough sirop, Unibebi Demam sirop, dan Unibebi Demam drops yang ketiganya diproduksi oleh Universal Pharmaceutical Industries.
Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi Tjandra Yoga Aditama mengatakan, kejadian keracunan serupa pernah terjadi di India. Ia menjelaskan, setidaknya ada lima kasus gangguan ginjal akut di India yang dihubungkan dengan sirop obat yang terkontaminasi senyawa EG dan DEG pada kurun waktu tahun 1972 sampai 2019-2020, yang menyebabkan lebih dari 80 kematian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kemudian menghubungkan obat produksi India ini dengan kasus gangguan ginjal akut yang terjadi di Gambia. Akan tetapi, pihak media lokal India menyebutkan, belum ada data klinis untuk memastikan hal tersebut.