Kedokteran Presisi untuk Penanganan Diabetes Melitus
Penerapan kedokteran presisi dalam penanggulangan diabetes melitus dapat berdampak pada layanan yang efektif bagi pasien sekaligus memberikan layanan dengan biaya yang efektif. Pemberian pengobatan pun lebih tepat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedokteran presisi merupakan keniscayaan dalam layanan kedokteran di masa depan. Dengan kedokteran presisi, pasien akan dimungkinkan untuk mendapatkan penapisan yang lebih sensitif, diagnosis yang tepat, serta terapi yang efektif. Itu termasuk untuk pelayanan pada pasien diabetes melitus.
Hal tersebut disampaikan oleh Dante Saksono Harbuwono dalam pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sabtu (22/10/2022), di Jakarta. Dante saat ini juga menjabat sebagai Wakil Menteri Kesehatan.
Ia mengatakan, kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine) nyatanya tidak cukup untuk mengatasi berbagai persoalan kesehatan masyarakat, seperti persoalan diabetes melitus. Dari pengobatan yang dilakukan oleh masyarakat di Indonesia, hanya 30 persen pasien diabetes melitus yang memiliki gula darah yang terkontrol setelah mengonsumi obat.
”Kenapa begitu? Itu karena kita melihat setiap orang memiliki respons obat yang berbeda. Dengan kedokteran presisi yang menggabungkan antara evidence-based medicine dan informasi genetika, kita bisa tahu obat apa yang efektif pada seseorang setelah dilakukan sekuensing,” katanya.
Menurut Dante, terapi diabetes melitus tidak hanya diberikan berdasarkan karakteristik klinis dan penunjang secara umum, tetapi juga faktor-faktor pembeda dari setiap individu. Hal tersebut yang dapat menunjukkan penyebab dari timbulnya penyakit, faktor yang memengaruhi perjalanan penyakit, dan respons terapi.
Penerapan kedokteran presisi untuk terapi diabetes melitus juga ditunjukkan pada studi lain yang dilakukan berdasarkan populasi. Dari studi tersebut menunjukkan, terapi inhibitor DPP 4 (dipeptidyl peptidase IV) memberikan respons yang lebih baik pada populasi Asia dibandingkan dengan Kaukasia. Respons terapi metformin pun berbeda antara populasi Afrika-Amerika dan Eropa-Amerika.
Dengan kedokteran presisi yang menggabungkan antara evidence-based medicine dan informasi genetika, kita bisa tahu obat apa yang efektif pada seseorang setelah dilakukan sekuensing.
Dengan karakteristik tersebut, membuka potensi pembuatan sistem skoring berdasarkan karakteristik fenotipik ataupun genetik. Sistem skoring tersebut kemudian dapat diimplementasikan sebagai algoritma dalam terapi diabetes melitus.
Dante mengatakan, lewat kedokteran presisi juga memungkinkan untuk memprediksi komplikasi yang bisa dialami berdasarkan pola genetika dari pasien. Dengan begitu, diagnosis serta terapi yang diberikan bisa diarahkan untuk mencegah kemungkinan komplikasi tersebut.
Sementara pada diagnostik, ia menuturkan, kedokteran presisi dapat dimanfaatkan dalam subklasifikasi diabetes melitus yang dilihat berdasarkan karakteristik klinis, molekuler, genetik, dan faktor lainnya. Dengan subklasifikasi tersebut, dapat mengoptimalkan terapi dan pencegahan secara tepat.
Selain untuk diagnostik dan terapi, ia menambahkan, kedokteran presisi berperan penting dalam upaya pencegahan diabetes melitus. Pencegahan spesifik saat ini telah dilakukan pada individu dengan klasifikasi prediabetes. Pencegahan itu dilakukan melalui modifikasi gaya hidup dengan diet dan aktivitas fisik serta terapi farmakologi.
”Hal yang harus diperhatikan adalah tetap banyaknya individu yang tetap berprogresi menjadi diabetes melitus. Kedokteran presisi berperan dalam hal ini. Dengan penelitian lebih lanjut, pencegahan bisa lebih spesifik,” ujar Dante.
Ia mencontohkan, pencegahan itu dengan menilai intervensi diet spesifik untuk berbagai subpopulasi melalui penerapan metabolomik dan genomik dalam pemilihan intervensi diet. Hal tersebut juga termasuk untuk melihat pengaruh berbagai kebiasaan hidup, seperti waktu tidur dan aktivitas fisik.
”Dengan adanya kedokteran presisi, diharapkan dapat dicapai diagnostik dan pengobatan yang lebih optimal dan spesifik pada pasien diabetes melitus,” katanya.
Dante menuturkan, kedokteran presisi terdiri dari kombinasi sejumlah faktor, seperti ilmu biologi molekuler, faktor psikososial, faktor lingkungan, gaya hidup, serta perkembangan teknologi dalam pengelolaan data dan kecerdasan buatan (AI). Faktor tersebut merupakan komponen penting yang juga dipengaruhi oleh pasien, penyedia layanan medis, peneliti, dan analisis data.
Dekan FKUI yang juga Guru Besar Bidang Ilmu Penyakit Dalam FKUI Ari Fahrial Syam menuturkan, arah penelitian dari pelayanan kedokteran saat ini telah menuju ke pelayanan kedokteran presisi. Setidaknya, pembahasan mengenai kedokteran presisi tersebut juga menjadi tema yang diangkat ketika ia dikukuhkan sebagai guru besar tetap FKUI pada 2018 bersama dengan Budi Wiweko.
Saat itu disebutkan, kedokteran presisi dapat dimanfaatkan untuk penanganan infeksi pada saluran pencernaan masyarakat. Berdasarkan penelitiannya, aktivitas bakteri H pylori yang mengakibatkan infeksi saluran pencernaan berbeda pada setiap etnis di masyarakat Indonesia. Kedokteran presisi ini juga bisa dimanfaatkan untuk penanganan penyakit stroke, kanker, dan tuberkulosis yang angkanya cukup tinggi ditemukan pada masyarakat Indonesia.
”Dengan kedokteran presisi, akhirnya kita bisa mengobati pasien dengan obat yang tepat. Kita juga bisa memprediksi penyakit seseorang di masa depan sehingga bisa diantisipasi lebih dini,” kata Ari.
Meski begitu, Dante mengatakan, sejumlah tantangan masih dihadapi dalam pengembangan kedokteran presisi di Indonesia. Kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dengan varian genetik yang berbagai macam membuat pemetaan genetik menjadi lebih sulit.
Selain itu, data genomik yang diperoleh dari populasi negara berkembang, termasuk Indonesia, masih rendah. Padahal, data genomik dibutuhkan untuk penerapan kedokteran presisi pada berbagai subpopulasi.
”Berdasarkan hal itu secara bertahap pemeriksaan genomik harus semakin sering dilakukan di Indonesia, baik untuk pengobatan maupun penelitian. Teknologi pemeriksaan genomik sudah sangat berkembang di mana harga pemeriksaan sekuensing DNA kini sudah sekitar 1.000 dollar AS dari sebelumnya 1 miliar dollar AS saat pertama kali dilakukan,” ujar Dante.