Di tengah ekonomi yang belum pulih pascapandemi dan ancaman resesi global, Indonesia kembali menjadi negara paling dermawan tahun 2022. Menyumbang tak hanya bermanfaat besar bagi ekonomi dan sosial, tapi juga kesehatan.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Di tengah ancaman resesi global akibat kenaikan harga pangan dan energi, Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia tahun 2022. Situasi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya pascapandemi Covid-19 nyatanya juga tidak mengurangi minat masyarakat untuk terus menyumbang dan berpartisipasi dalam aktivitas kesukarelawanan.
Indeks Kedermawanan Dunia (WGI) 2022 yang dipublikasikan Charity Aid Foundation pada 12 Oktober 2022 memberikan skor 68 persen atas kedermawanan masyarakat Indonesia, jauh meninggalkan negara di peringkat 2 sampai 10 dengan skor antara 49 persen hingga 61 persen. Skor Indonesia pada WGI 2022 ini turun sedikit dibandingkan skor pada 2021 sebesar 69 persen.
Capaian itu juga menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia selama lima tahun berturut-turut. ”Di saat negara-negara lain keluar masuk dalam daftar sepuluh besar negara paling dermawan, Indonesia konsisten berada di posisi puncak selama lima tahun terakhir,” kata Ketua Badan Pelaksana Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) Hamid Abidin di Jakarta, Sabtu (22/10/2022).
WGI 2022 ini disusun menggambarkan kondisi kedermawanan negara pada 2021. Indeks ini diukur berdasarkan tiga indikator, yaitu menyumbang uang, menyumbang pada orang asing atau tidak dikenal, dan berpartisipasi dalam kegiatan kesukarelawanan atau volunterisme. Data penilaian dikumpulkan dari jajak pendapat Gallup World Poll hingga 31 Maret 2022 dari 119 negara atau 90 persen penduduk dewasa dunia.
Dari ketiga indikator tersebut, Indonesia pada 2021 memiliki nilai teratas pada dua indikator, yaitu menyumbang uang sebanyak 84 persen, jauh lebih tinggi dari rata-rata skor global 35 persen, dan berpartisipasi dalam kegiatan kesukarelawanan 63 persen, hampir tiga kali lipat dari rata-rata global yang hanya 23 persen.
”Tradisi menyumbang dalam masyarakat kita sangat kuat karena diinspirasi oleh ajaran agama dan tradisi lokal yang sudah dipraktikkan bertahun-tahun sebelumnya,” tambahnya. Keterbatasan dan kesusahan akibat pandemi nyatanya tak berpengaruh pada minat dan antusiasme masyarakat menyumbang, hanya berpengaruh pada jumlah dan bentuk sumbangannya.
Kasus penyalahgunaan dana sumbangan yang dilakukan pimpinan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan terbongkar pada Juli 2022 lalu belum tercakup dalam WGI 2022. Dampak kasus tersebut baru akan terlihat pada WGI 2023 mendatang. Namun, seperti yang terlihat saat ini, masyarakat diperkirakan akan tetap menyumbang, tetapi lebih memilih menyalurkannya langsung ke kelompok penerima manfaat terdekat di sekitar mereka.
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Perkumpulan Filantropi Indonesia Rizal Algamar dalam laporan World Giving Index 2022 menyebut, peningkatan pendapatan masyarakat diyakini ikut meningkatkan minat masyarakat berfilantropi di seluruh wilayah Indonesia. Partisipasi anak muda dalam kegiatan filantropi juga sangat tinggi, khususnya melalui platform digital yang membuat proses filantropi menjadi lebih cepat, aman, dan mudah.
Untuk indikator menyumbang pada orang asing, skor Indonesia hanya 58 persen, sedikit lebih rendah dari rata-rata global sebesar 62 persen. Nilai Indonesia untuk indikator ini selalu lebih rendah dari rata-rata global. Hamid pun mengaku terkejut dengan kondisi ini karena nyatanya di jalanan, angkutan umum, bahkan media sosial banyak orang rela menyumbang untuk orang yang tidak dikenal sama sekali.
Selain karena pengaruh ajaran agama dan tradisi lokal, capaian Indonesia sebagai negara paling dermawan itu juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pegiat filantropi. Pegiat filantropi Islam dalam sejumlah lembaga pengelola zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf) tidak hanya mampu menggalang, mengelola, dan mendayagunakan donasi keagamaan, tetapi juga mentransformasikan organisasi mereka menjadi lembaga filantropi modern.
Transformasi lembaga filantropi itu, di antaranya, mewujud dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam penggalangan sumbangan, pelaksanaan program, pemberdayaan penerima manfaat, hingga audit atau pengelolaan dana sumbangan secara transparan dan akuntabel.
Upaya mereka juga berhasil mendorong pendayagunaan ziswaf untuk berbagai program strategis dan jangka panjang bagi peningkatakan kesejahteraan masyarakat. Kini, dana ziswaf pun bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan ekonomi umat, perlindungan anak, pelestraian lingkungan untuk menahan laju perubahan iklim, hingga bantuan advokasi dan kebijakan. Bahkan dana ziswaf bisa diberdayakan untuk mencapai target pembangunan global dalam program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG).
”Wajar jika perolehan donasi lembaga-lembaga filantropi Islam tetap mengalami kenaikan selama pandemi meski persentase kenaikannya tidak setinggi sebelum pandemi,” katanya.
Saat seseorang memberi atau menyumbang, maka tubuhnya akan melepaskan hormon endorfin yang menimbulkan rasa senang dan meningkatkan imunitas tubuh.
Untuk penyaluran sumbangan langsung, masyarakat dan selebgram banyak melakukannya. Di tengah keterbatasan dan kekurangan ekonomi, masyarakat masih saling bantu menjaga orang-orang di sekitar mereka.
Sumbangan dan hasrat membantu masyarakat mampu menjaga warga terlantar maupun mereka yang terpinggirkan secara ekonomi dan luput dari program jejaring pengaman pemerintah. Bahkan, membantu dengan dalih membeli meski barang yang dibeli tidak dibutuhkan telah membuat banyak pedagang kecil tetap hidup di tengah banyaknya industri besar yang harus merestrukturisasi usaha mereka bahkan ambruk.
Meski demikian, di tengah tetap tingginya antusias masyarakat menyumbang dan transformasi lembaga filantropi, lanjut Hamid, kebijakan pemerintah masih tertinggal. Peraturan pemerintah dan perundang-undangan yang mengatur filantropi banyak yang sudah ketinggalan zaman. Bahkan, sebagian aturan yang ada bukannya mendorong masyarakat makin aktif menyumbang, tetapi justru membatasi.
Di sisi lain, kebijakan insentif pajak bagi masyarakat dan dunia usaha yang aktif melakukan filantropi juga belum berkembang. Insentif pajak di Indonesia belum menjadi pendorong masyarakat untuk gemar berfilantropi karena kecilnya jumlah insentif, cakupannya terbatas, serta tidak jelas dan tidak konsisten penerapannya.
Menyehatkan
Di luar manfaat filantropi bagi pembangunan ekonomi dan sosial, mengurangi ketimpangan, hingga menggerakkan solidaritas, banyak masyarakat tidak menyadari aktivitas mereka berbagi kepada sesama juga memiliki manfaat bagi kesehatan fisik dan psikis mereka. Filantropi memberi makna lebih luas bagi kesejahteraan masyarakat.
Muh Khidri Alwi, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia, Makassar, seperti dikutip Kompas, 20 Mei 2020, menyebut orang yang aktif bersedekah dan ikut kegiatan kesukarelawanan atau aktivitas sosial memiliki kualitas kesehatan lebih baik dan umur lebih panjang.
Orang yang terbiasa menyumbang atau berdonasi memiliki kadar imunoglobulin A (IgA) lebih tinggi di dalam tubuhnya. Antibodi IgA itu berfungsi untuk melindungi tubuh dari bakteri dan mikroba yang menyerang sistem pernapasan dan pencernaan.
Selain itu, saat seseorang memberi atau menyumbang, maka tubuhnya akan melepaskan hormon endorfin yang menimbulkan rasa senang dan meningkatkan imunitas tubuh. Tubuh juga mengeluarkan hormon oksitosin atau hormon kasih sayang yang membuat pemberi juga bisa merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan orang yang menerima sumbangan.
Bahkan, studi Mitchell Popovetsky dari Rush University Medical Center, Chicago, Amerika Serikat, yang diunggah di situs rush.edu menunjukkan orang yang gemar berbagi dan berkegiatan sukarela memiliki risiko kematian lebih rendah dibandingkan yang tidak suka berbagi. Bahkan, manfaat umur panjang itu juga dirasakan mereka yang memiliki penyakit jantung.
Memberi sumbangan atau berbagi juga menurunkan risiko depresi. Perasaan positif saat memberi bisa mengurangi peluang seseorang mengalami kesedihan dan rasa tak berdaya yang merupakan ciri-ciri depresi.
Depresi akan meningkatkan kadar kolesterol jahat dan indeks masa tubuh sehingga meningkatkan risiko penyakit jantung. Karena itu, orang yang menyumbang atau memberi tidak hanya menurunkan potensi depresi, tetapi juga risiko penyakit jantung sehingga membuat mereka berumur lebih panjang.