Etika menyalurkan bantuan kemanusiaan dibutuhkan untuk menjaga martabat penerima manfaat. Prinsipnya, posisi pemberi bantuan dan penerima manfaat adalah setara.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Orang Indonesia termasuk warga paling dermawan di dunia menurut laporan The World Giving Index yang rilis pada 2021. Namun, ada ”aturan main” agar kedermawanan dapat disalurkan kepada penerima manfaat secara humanis.
Menurut anggota Badan Pengurus Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, salah satu etika filantropi adalah memastikan penerima manfaat diperlakukan dengan hormat dan bermartabat. Bentuk penghormatan itu, misalnya, tidak membuat warga mengantre berjam-jam untuk menerima bantuan sosial. Etika lainnya adalah tidak mengeksploitasi kesusahan penerima manfaat untuk didokumentasikan.
Selama ini, kode etik kegiatan filantropi (seperti penggalangan dana atau sumbangan, serta penyaluran bantuan) masih menjadi regulasi internal di setiap lembaga filantropi. Regulasi internal juga biasanya mencakup panduan, standar, hingga pedoman.
Isu mengenai etika kedermawanan sempat diangkat ketika rancangan Undang-Undang (UU) tentang penyelenggaraan sumbangan disampaikan ke DPR. Rancangan UU ini diinisiasi sejumlah lembaga filantropi beberapa tahun silam dan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR, tetapi tidak dibahas menjadi UU.
”Dalam rancangan UU itu, kami mendorong pemerintah agar mengakui dan mempromosikan kode etik (filantropi),” ujar Hamid saat dihubungi, Rabu (6/7/2022). Di Charity Commission, Inggris, misalnya, ada regulasi yang sekaligus mempromosikan kode etik filantropi.
Dalam rancangan UU itu, kami mendorong pemerintah agar mengakui dan mempromosikan kode etik (filantropi).
Lebih jauh, kode etik dapat mengatur ”kepantasan” hal-hal terkait filantropi, seperti besaran gaji serta fasilitas penunjang pengelola filantropi. Kepantasan bisa dibilang sebagai simbol empati terhadap orang-orang yang dibantu lembaga filantropi.
Menurut pendiri Yayasan Kesetaraan Pangan Indonesia Khairunnisa Humairoh, pemberian bantuan mesti dilandasi dengan kesadaran untuk memanusiakan sesama. Penerima bantuan juga mesti dipandang sebagai subyek yang setara dengan pemberi bantuan.
”Saat membagikan makanan ke penerima manfaat, kami tidak sekadar memberi makanan yang habis saat itu juga. Ada juga, misalnya, biskuit dan susu yang bisa mereka konsumsi saat malam,” kata Khairunnisa saat diwawancara, Juni 2022.
Menu makanan yang dibagikan pun tidak ”ala kadarnya”. Ia dan anggota yayasan yang tersebar di beberapa kota kerap memasak sendiri makanan yang akan dibagikan. Menu makanan pun kerap disamakan dengan apa yang dimakan oleh keluarga di rumah.
Menurut Khairunnisa, hal itu terasa seperti memasak untuk acara keluarga besar. Hatinya pun hangat dan puas saat tahu bahwa mereka mengonsumsi makanan dengan menu yang sama.
Yayasannya melarang dokumentasi terang-terangan saat pembagian makanan kepada warga. Dokumentasi mesti mempertimbangkan kenyamanan dan martabat penerima bantuan, seperti tidak memperlihatkan wajah penerima.
Di sisi lain, kedermawanan orang Indonesia butuh dikelola dalam regulasi yang mutakhir. Hingga kini, kegiatan penghimpunan donasi diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). Regulasi ini dianggap tidak lagi akomodatif terhadap perubahan zaman, terlebih kini kegiatan filantropi banyak berkembang di dunia maya.