Pengawasan terhadap pengumpulan dan pengelolaan dana sumbangan masyarakat hingga transparansi lembaga pengumpul dana masih menjadi pekerjaan rumah semua pihak. Hal ini jadi celah terjadinya penyelewengan dana.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Lemahnya pengawasan terhadap lembaga pengumpul dana sosial membuka celah pelanggaran atau penyelewengan dana. Pemerintah didorong memperkuat pengawasan, termasuk menerapkan sanksi bagi pelanggar. Lembaga filantropi dituntut mengelola dana secara transparan.
Menurut Direktur Perencanaan Zakat Infak Sedekah dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (ZIS-DSKL) Nasional Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Ahmad Hambali, pelanggaran distribusi zakat masih terjadi. Masih ada penerima zakat yang tidak tepat sasaran. Selain itu, ada pula amil zakat ilegal yang tidak mengantongi izin dari Kementerian Agama.
”Pengelolaan dana memang rentan penyelewengan sehingga tata kelola yang baik dibutuhkan. Pengelolaan yang baik dibentuk dari niat mulia pengelolanya,” kata Ahmad pada diskusi daring, Kamis (7/7/2022).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sebenarnya mengatur sanksi bagi para pelanggar. Namun, sanksi ini sulit diterapkan jika pengawasan di lapangan lemah.
UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB) juga mengatur denda sebesar Rp 10.000 bagi pelanggar. Menurut anggota Badan Pengurus Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, nominal denda tersebut tidak signifikan lagi di masa sekarang. Ditambah pengawasan kegiatan PUB yang juga tidak ketat, sulit untuk memberi efek jera kepada para pelanggar.
”Yang ketat hanya di perizinan, sedangkan pengawasannya tidak. Penyalahgunaan (dana sumbangan masyarakat) pun berpotensi terjadi,” katanya, Rabu.
Salah satu faktor yang menentukan akuntabilitas lembaga filantropi adalah perizinan. Lembaga yang menghimpun dana sosial mesti mendapat izin dari Kementerian Sosial, sementara lembaga pengumpul wakaf agar berizin ke Badan Wakaf Indonesia.
Adapun lembaga pengumpul zakat, infak, dan sedekah agar mengantongi izin Kementerian Agama serta Baznas. Setelah mendapat izin, lembaga tersebut dituntut akuntabel dan transparan ketika mengelola dana masyarakat.
Sekretaris Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Sarmidi Husna mengatakan, lembaga filantropi memiliki akuntabilitas spiritual. Artinya, lembaga itu mesti mempertanggungjawabkan dana yang dihimpun kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lembaga filantropi juga mesti mempertanggungjawabkan pengelolaan dana kepada publik serta pemberi izin.
”Jika lembaga charity sudah melakukan ini semua, kemudian dikontrol (pengelolaan dananya), saya kira penyelewengan dapat diminimalkan,” kata Sarmidi.
Direktur P3M Masykurudin Hafidz menambahkan, ini adalah momentum bagi seluruh lembaga pengumpul dana kemanusiaan untuk ”bersih-bersih”. Sebab, pengumpulan dana kemanusiaan bukan sekadar urusan penghimpunan, melainkan juga manajemen. Dana yang tidak dikelola dengan baik pada akhirnya memengaruhi kepercayaan publik.
Adapun kedermawanan penduduk Indonesia termasuk tinggi. Laporan The World Giving Index (WGI) yang dipublikasikan Charities Aid Foundation pada 2021 menyatakan, Indonesia ada di peringkat teratas untuk menyumbang kepada orang tidak dikenal, menyumbang uang, dan kegiatan kerelawanan.
ACT
Sebelumnya, berdasarkan pemberitaan majalah Tempo, Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) diduga telah menyelewengkan dana masyarakat. Buntut dari isu ini adalah Kementerian Sosial mencabut izin PUB Yayasan ACT pada 5 Juli 2022.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun memberhentikan sementara transaksi 141 sistem customer information file (CIF) pada lebih dari 300 rekening yang dimiliki ACT yang tersebar di 41 penyedia jasa keuangan (PJK). CIF adalah sistem yang mencatat semua transaksi perbankan nasabah. Penghentian sementara ini diumumkan per 7 Juli 2022.
Menurut data transaksi dari dan ke Indonesia terkait ACT pada periode 2014-2022, besaran dana yang masuk dari luar negeri Rp 64,9 miliar. Dana keluar dari Indonesia sebesar Rp 52,9 miliar.
Penghentian ini terkait dengan dugaan adanya aliran dana dari Yayasan ACT ke salah satu dari 19 anggota Al Qaeda yang ditangkap Pemerintah Turki. PPATK juga mendapati bahwa selama dua tahun terakhir ada aliran dana ke negara-negara berisiko tinggi terhadap pendanaan terorisme.