Kasus ACT Menjadi Momentum Evaluasi Izin Pengumpulan Donasi
Izin pengumpulan uang atau barang (PUB) yang dikantongi Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dicabut Kementerian Sosial. ACT menyayangkan hal ini, tetapi bersikap kooperatif.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Sosial mencabut izin penyelenggaraan pengumpulan uang dan barang tahun 2022 milik Yayasan Aksi Cepat Tanggap atau ACT lantaran Yayasan ACT mengambil sumbangan warga untuk dana operasional melebihi ketentuan pemerintah. Hal ini jadi momentum evaluasi perizinan pengumpulan sumbangan dan merevisi regulasi agar sesuai perkembangan zaman.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 Pasal 6 Ayat (1), organisasi pengumpul sumbangan dapat memanfaatkan sebanyak-banyaknya 10 persen hasil sumbangan untuk pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan. Pihak ACT menggunakan rata-rata 13,7 persen sumbangan untuk dana operasional yayasan.
”Kami mencabut (izin pengumpulan uang dan barang/PUB) dengan pertimbangan ada indikasi pelanggaran Peraturan Menteri Sosial. Sampai nanti menunggu hasil pemeriksaan dari Inspektorat Jenderal (Kemensos), baru akan ada ketentuan sanksi lebih lanjut,” kata Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendi melalui keterangan pers yang diterima pada Rabu (6/7/2022), di Jakarta.
Izin PUB tersebut sebelumnya diberikan Kemensos kepada Yayasan ACT melalui Surat Keputusan Mensos Nomor 239/HUK-UND/2020 untuk kategori umum dan Nomor 241/HUK-UND/2020 untuk kategori bencana. Adapun pencabutan izin PUB dinyatakan dalam Keputusan Mensos Nomor 133/HUK/2022 tertanggal 5 Juni 2022 dan ditandatangani Muhadjir.
Kami mencabut (izin pengumpulan uang dan barang/PUB) dengan pertimbangan ada indikasi pelanggaran Peraturan Menteri Sosial. Sampai nanti menunggu hasil pemeriksaan dari Inspektorat Jenderal (Kemensos), baru akan ada ketentuan sanksi lebih lanjut.
Menanggapi isu ini, pemerintah akan menyisir izin-izin yang telah diberikan ke yayasan lain agar kejadian serupa tidak terulang. Pemerintah juga akan merespons hal-hal yang meresahkan masyarakat.
ACT menyatakan, pada periode 2007-2021, rata-rata dana sumbangan yang digunakan untuk kebutuhan operasional, seperti menggaji pegawai, sebesar 13,7 persen. Presiden ACT Ibnu Khajar mengatakan, secara syariat Islam, lembaga zakat diperbolehkan mengambil seperdelapan atau 12,5 persen total sumbangan untuk operasional. ACT menggunakan ini sebagai patokan.
Isu tersebut merupakan kelanjutan dari pemberitaan majalah Tempo mengenai dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh ACT. Pemberitaan tersebut menuai respons beragam dari publik.
Disayangkan
Pada kesempatan terpisah, Ibnu Khajar menyayangkan pencabutan izin PUB Yayasan ACT oleh Kemensos. Ia mengaku kaget karena pada Selasa (5/7/2022), pihak ACT telah memenuhi panggilan Kemensos. Menurut dia, Kemensos rencananya akan datang dan melakukan pengawasan di ACT pada Rabu (6/7/2022).
”Kami telah menunjukkan sikap kooperatif. Kami juga sudah menyiapkan apa saja yang diminta pihak Kemensos terkait pengelolaan keuangan,” kata Ibnu pada konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Anggota tim legal Yayasan ACT, Andri, menilai bahwa langkah Kemensos reaktif. Sebab, sanksi terhadap penyelenggara PUB yang memiliki izin mesti dilaksanakan bertahap. Tahap pertama berupa teguran tertulis, kedua penangguhan izin, dan terakhir pencabutan izin. Hingga kini, pihak ACT mengaku baru menerima teguran tertulis.
Meski demikian, Ibnu menyatakan akan mematuhi keputusan Kemensos. Namun, dana yang sudah dihimpun Yayasan ACT sebelum keputusan Kemensos keluar akan tetap disalurkan ke penerima manfaat.
Ibnu menambahkan, polemik pengelolaan dana ACT merupakan buah kepemimpinan periode sebelumnya. Ia siap membuka diri untuk diaudit.
”Kepemimpinan yang dilakukan secara kolektif ini menjadi bukti bahwa kami berusaha melakukan perbaikan, terutama dalam mengelola dana yang dihimpun. Semua keputusan sekarang dilakukan secara kolektif kolegial di bawah pengawasan dewan pengawas,” katanya.
Revisi UU PUB
Anggota Badan Pengurus Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, menilai isu ini bisa menjadi momentum memperbaiki regulasi. Selama ini regulasi yang memayungi kegiatan pengumpulan sumbangan hanya UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang PUB. Sejumlah pasal pada UU juga menghambat kegiatan filantropi, misalnya tentang perizinan.
”Filantropi atau kegiatan sumbangan dipandang sebagai charity event yang izinnya hanya berlaku tiga bulan sehingga mesti diperbarui berkala. Izin baru keluar seminggu atau bahkan sebulan,” katanya. Mekanisme perizinan juga tidak bisa diterapkan saat bencana karena butuh kecepatan. Padahal, Indonesia mengalami bencana setiap tahun.
Selain itu, UU PUB juga mengatur perizinan penggalangan dana berdasarkan ruang lingkup, seperti kabupaten, provinsi, dan nasional. Padahal, perkembangan teknologi memungkinkan penggalangan dana dilakukan tanpa memandang sekat ruang.
”UU sudah tidak memadai lagi, terlebih pemerintah tidak melakukan pengawasan yang ketat sehingga ada potensi penyalahgunaan (dana),” kata Hamid yang pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia.
Filantropi Indonesia dan sejumlah pihak lain pernah mengajukan Rancangan UU (RUU) Penyelenggaraan Sumbangan. RUU ini antara lain mengatur soal kode etik pemberian sumbangan. RUU tersebut sempat masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR, tetapi tidak dibahas menjadi UU.