Jam Kerja Tinggi dan Penuh Tekanan Tingkatkan Risiko Depresi
Hasil studi menunjukkan bahwa bekerja di bidang yang penuh tekanan dengan jam kerja tinggi akan meningkatkan risiko depresi. Mengurangi jam kerja dapat membuat perbedaan yang signifikan dalam mengatasi tingkat depresi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang untuk bekerja di bidang pekerjaan yang penuh tekanan akan meningkatkan risiko depresi. Mengurangi waktu jam kerja menjadi langkah yang baik dalam mencegah seseorang terkena depresi.
Tim peneliti yang berbasis di University of Michigan, Amerika Serikat, telah membuktikan bahwa bekerja di bidang yang penuh tekanan dengan jam kerja tinggi akan meningkatkan risiko depresi. Hasil studi ini telah terbit di jurnal New England Journal of Medicine, 20 Oktober 2022.
Profesor di University of Michigan Medical School, Amy Bohnert, mengungkapkan, analisis yang dilakukan para peneliti menunjukkan bukti kuat bahwa mengurangi rata-rata waktu kerja dapat membuat perbedaan yang signifikan dalam mengatasi tingkat depresi.
”Kuncinya adalah membuat waktu kerja seseorang menjadi lebih sedikit. Seseorang dapat lebih efektif mengatasi tekanan atau frustrasi pekerjaannya jika memiliki lebih banyak waktu untuk memulihkan diri,” ujarnya Amy yang juga penulis studi ini dikutip dari situs resmi University of Michigan Medical School, Jumat (21/10/2022).
Studi ini dilakukan karena banyak organisasi kesehatan di AS yang melaporkan tingginya tingkat depresi yang dialami dokter, dokter dalam pelatihan, dan profesional perawatan kesehatan lainnya. Mereka bekerja dengan rata-rata waktu 65-80 jam per minggu.
Dalam studi ini, peneliti melaporkan temuan mereka dengan mempelajari data selama 11 tahun pada lebih dari 17.000 dokter residen tahun pertama di ratusan rumah sakit di seluruh Amerika Serikat. Dokter residen merupakan para dokter yang baru lulus atau sedang menjalani pendidikan dan pelatihan dokter spesialis (PPDS).
Data tersebut berasal dari Intern Health Study, yang berbasis di Michigan Neuroscience Institute dan Eisenberg Family Depression Center. Setiap tahun, penelitian merekrut lulusan sekolah kedokteran baru untuk melihat gejala depresi, jam kerja, tidur dan faktor lainnya saat mereka menyelesaikan tahun pertama dalam menjalani pendidikan spesialis.
Kuncinya adalah membuat waktu kerja seseorang menjadilebih sedikit. Seseorangdapat lebih efektif mengatasi tekanan atau frustrasi pekerjaannya jika memiliki lebih banyak waktu untuk memulihkan diri.
Usia rata-rata dokter dalam penelitian ini yakni 27 tahun dan sebagian besar merupakan wanita. Satu dari lima peserta mengambil spesialisasi dokter bedah dan 18 persen berasal dari kelompok ras atau etnis yang secara tradisional kurang terwakili dalam profesi medis.
Analisis ini juga mempertimbangkan jenis kelamin, neurotisisme, riwayat depresi pra-magang, lingkungan keluarga awal, usia, tahun mulai magang, status perkawinan, hingga peristiwa kehidupan atau kesalahan medis selama menjalani pendidikan dokter spesialis.
Tim peneliti menggunakan metode statistik canggih untuk meniru uji klinis acak. Mereka juga memperhitungkan faktor lain, seperti kehidupan pribadi dan profesional para dokter. Mereka kemudian menemukan efek ”respons dosis” antara jam kerja dan gejala depresi.
Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan gejala depresi dengan skor yang cukup signifikan pada seseorang yang bekerja lebih dari 90 jam setiap minggu. Hal ini berbanding terbalik dengan seseorang yang hanya bekerja 40-45 jam per minggu.
Para peneliti pun menyatakan bahwa temuan mereka menunjukkan adanya kebutuhan yang jelas untuk mengurangi waktu jam kerja dokter residen dan masyarakat umum lainnya.
Penulis utama studi ini dan spesialis penelitian di Michigan Neuroscience Institute, Yu Fang, mencatat bahwa jumlah jam dalam bekerja sangat penting untuk mencegah terjadinya depresi. Dalam pekerjaan sebagai residen medis, sangat penting menggunakan waktu yang dihabiskan di tempat kerja untuk belajar dan bukan mengurus berbagai layanan klinis.