Target penurunan tengkes jangan hanya mengacu pada angka capaian. Klaim capaian yang berlebihan yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan justru dapat menghilangkan hak anak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Target penurunan tengkes atau stunting sebesar 14 persen pada tahun 2024 yang ditetapkan pemerintah dinilai ambisius. Meski begitu, capaian penurunan tengkes di daerah diharapkan tetap sesuai kondisi sebenarnya. Jika pendataan tidak tepat, masyarakat akan dirugikan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) Yuli Supriaty di Jakarta, Selasa (18/10/2022), menuturkan, demi mencapai target penurunan prevalensi tengkes sebesar 14 persen pada 2024, pemerintah daerah didorong untuk menyelenggarakan program percepatan tengkes. Capaian penurunan tengkes pun dianggap sebagai prestasi bagi pemerintah daerah.
”Namun, persoalannya, angka stunting yang diklaim turun oleh pemerintah daerah apakah berdasarkan data lapangan yang akurat? Overclaim angka stunting yang turun justru dapat menyebabkan anak kehilangan haknya,” katanya.
Dari temuan Kompas, selisih data yang cukup besar setidaknya ditemukan di Kabupaten Pandeglang. Prevalensi tengkes di Kabupaten Pandeglang menurut data SSGI (Studi Status Gizi Indonesia) pada 2021 sebesar 37,8 persen, sedangkan menurut data yang dilaporkan di e-PPGBM (Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat secara elektronik) mencapai 13,4 persen.
Yuli mengatakan, selisih yang besar tersebut patut dicurigai. Setelah ditelusuri lebih dalam ternyata belum semua data dilaporkan di e-PPGBM, baru sekitar 60 persen yang dilaporkan. Namun, pemerintah setempat sudah mengklaim bahwa pihaknya sudah berhasil menurunkan angka tengkes di daerah tersebut.
Klaim berlebihan juga ditemukan di daerah Stabat, Langkat, Sumatera Utara. Pemerintah daerah setempat mengklaim di daerah itu tidak ada kasus tengkes (zero stunting). Namun, setelah kunjungan langsung dilakukan, kasus gizi buruk di daerah tersebut sangat tinggi. Setidaknya, hampir 70 persen anak-anak mengalami gizi buruk yang mengarah pada kondisi tengkes.
”Apabila banyak daerah melakukan overclaim seperti ini akan sangat berbahaya. Anak-anak yang sebenarnya mengalami stunting bisa kehilangan haknya mendapatkan perhatian atau intervensi. Pendataan ini harus dibenahi sehingga tidak menjadi masalah,” tuturnya.
Angka stunting yang diklaim turun oleh pemerintah daerah apakah berdasarkan data lapangan yang akurat? Overclaim angka stunting yang turun justru dapat menyebabkan anak kehilangan haknya. ( Yuli Supriaty)
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyampaikan, perbaikan pendataan angka tengkes menjadi fokus pemerintah dalam penanganan tengkes di Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berupaya menambah jumlah sampel dalam pendataan SSGI agar angka yang dilaporkan merepresentasikan kondisi sebenarnya di lapangan.
Edukasi
Hasto mengutarakan, pemahaman yang masih rendah di masyarakat juga menjadi tantangan yang dihadapi dalam upaya penurunan tengkes. Untuk mengatasi dan mencegah tengkes membutuhkan perubahan perilaku yang cukup besar di masyarakat.
”Pertama harus dipahamkan dulu yang benar mengenai stunting di masyarakat. Bagaimana menjaga agar tidak stunting sampai akhirnya bisa melakukan hal bersifat teknis seperti mengubah pola makan yang benar dengan gizi seimbang serta pentingnya air bersih,” tutur Hasto.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Edy Wuryanto menambahkan, edukasi terkait tengkes perlu ditingkatkan pada tenaga kesehatan, kader kesehatan, dan pemerintah daerah. Jika konsep penanganan tengkes belum dipahami dengan baik, program yang dijalankan tak efektif dan tepat sasaran.
”Pemerintah pusat sudah menyusun strategi juga anggaran penanganan stunting. Akan tetapi jika pemerintah daerah tidak memiliki konsep terhadap stunting itu akan nothing. Artinya, target penurunan stunting pada 2024 tidak akan tercapai,” katanya.
Merujuk pada data Kementerian Kesehatan, prevalensi tengkes di Indonesia pada 2021 sebesar 24,4 persen. Jumlah itu menurun dari 2013 sebesar 37,2 persen. Ditargetkan prevalensi tengkes bisa menurun setidaknya tiga persen setiap tahun untuk mencapai angka 14 persen pada 2024.
Sementara itu, Pelaksana tugas Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Ni Made Diah menyampaikan, sejumlah pelatihan bagi petugas kesehatan yang jadi fasilitator lapangan terkait penanganan tengkes dilakukan. Para fasilitator ini akan menyalurkan pengetahuan yang didapatkan kepada kader di tiap wilayah agar jangkauan ke warga semakin luas.
Pelatihan tersebut meliputi, antara lain, edukasi mengenai pemenuhan gizi seimbang, cara pemantauan tumbuh kembang anak, serta pencatatan dan pengukuran pertumbuhan anak.
Diah mengatakan, Kementerian Kesehatan telah menjalankan beberapa program terkait intervensi spesifik penanganan tengkes. Itu, antara lain, pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri dan ibu hamil, menambahkan fasilitas layanan pemeriksaan kehamilan (ANC) dari sebelumnya hanya empat kali menjadi enam kali, serta pengadaan jaminan persalinan (jampersal) bagi ibu hamil yang belum terdaftar dalam program JKN-KIS.
”Kami juga sudah menginisiasi adanya kelas ibu hamil dan kelas ibu dengan anak balita. Upaya ini dimaksudkan agar pemahaman di masyarakat bisa lebih baik dalam pencegahan stunting sekaligus bisa menurunkan angka stunting,” ujarnya.