Pastikan Tumbuh Kembang Anak Anda Tercukupi Protein Hewani
Pemenuhan gizi seimbang merupakan bentuk intervensi spesifik untuk mengatasi tengkes. Jika masyarakat masih sulit mengakses makanan bergizi terutama sumber pangan hewani, masalah tengkes sulit diatasi.
Makanan yang mengandung protein hewani merupakan kunci untuk mengatasi masalah gizi pada anak. Makanan dengan kandungan protein hewani mengandung asam amino yang lengkap.
Asam amino esensial sangat dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. Asam amino esensial ini diperlukan untuk mengaktivasi protein mTORC1 yang mengatur pertumbuhan tulang dan otot rangka pada tubuh.
Asam amino tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh sehingga pemenuhannya hanya bisa diperoleh dari makanan. Sumber pangan yang mengandung protein hewani, antara lain, telur, ikan, ayam, hati ayam, daging sapi, dan susu.
Protein hewani juga kaya akan mikronutrien, seperti vitamin B12, vitamin D, DHA (docosahexaenoic acid), zat besi, dan zink. Zat gizi mikro yang terkandung di protein hewani mudah diserap tubuh. Selain itu, kandungan pada protein hewani ini lebih baik dibandingkan dengan protein nabati yang didapatkan pada tahu, tempe, dan kacang-kacangan. Karena itu, asupan protein hewani harus diutamakan dalam pangan anak, khususnya pada anak yang mulai mengonsumsi makanan pendamping air susu ibu (MPASI).
”Pada anak-anak itu pastikan dulu asupan protein hewaninya cukup. Kita sering terbalik, seolah yang sehat itu hanya buah dan sayur. Padahal itu nanti ketika anak sudah lebih besar. Kalau anak sedang bertumbuh dan berkembang justru protein hewani yang harus ditekankan,” kata Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso saat dihubungi di Jakarta, Rabu (8/9/2022).
Ia mengatakan, memastikan pemenuhan protein hewani yang cukup ini pula yang harus menjadi prioritas untuk menangani anak dengan tengkes atau stunting. Pada anak usia 6-23 bulan, sebanyak 30 persen isi dalam satu porsi makan harus mencakup pangan yang mengandung protein hewani. Baru sekitar 10 persen bisa ditambah dengan protein nabati, lalu 25 persen untuk sayur dan buah, serta 35 persen untuk makanan pokok seperti nasi, kentang, dan jagung.
Pada anak-anak itu pastikan dulu asupan protein hewaninya cukup. Kita sering terbalik, seolah yang sehat itu hanya buah dan sayur. Kalau anak sedang bertumbuh dan berkembang, justru protein hewani yang harus ditekankan. (Piprim B Yanuarso)
Akses pangan
Akses yang terjangkau pada sumber pangan hewani pun harus dipastikan. Dengan kondisi ekonomi masyarakat yang menurun saat ini dan diperburuk dengan harga bahan pangan yang meningkat, dikhawatirkan akses pada sumber pangan hewani semakin sulit dijangkau.
Pandemi Covid-19 pun turut berpengaruh pada penurunan status gizi masyarakat. Krisis ekonomi yang terjadi menyebabkan pendapatan masyarakat menurun sehingga daya beli menjadi berkurang. Ketersediaan pangan di masyarakat pun terbatas. Akibatnya, pemenuhan asupan gizi ikut terganggu.
Baca juga: Protein Hewani untuk Cegah Tengkes
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) telah memprediksi pada satu tahun pertama pandemi Covid-19, jumlah anak yang mengalami wasting di dunia meningkat sebanyak 15 persen atau sekitar 7 juta anak. Apabila tidak ada intervensi yang tepat, masalah gizi di masyarakat dikhawatirkan akan semakin meningkat.
Menurut Piprim, selain meningkatkan akses pada sumber pangan, pengetahuan masyarakat untuk mengenali sumber pangan lokal yang bergizi juga penting. ”Tidak jarang ditemukan masyarakat yang hidup di pesisir pantai justru kurang gizi. Padahal, setiap hari mereka mencari ikan di laut. Itu terjadi karena ikan yang didapat hanya dijual tidak dikonsumsi,” katanya.
Dari data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2017 menunjukkan, konsumsi protein hewani di Indonesia masih tertinggal dari negara lain di Asia Tenggara. Dari total konsumsi protein, konsumsi protein hewani pada penduduk Indonesia baru mencapai 8 persen. Jumlah itu cukup rendah jika dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia yang mencapai 30 persen, Thailand 24 persen, dan Filipina 21 persen.
Dibandingkan dengan tingkat konsumsi di dunia, konsumsi pangan yang mengandung sumber protein hewani di Indonesia juga rendah. Data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang dirilis pada 2018 menunjukkan, konsumsi daging pada masyarakat Indonesia pada 2017 baru mencapai rata-rata 1,8 kg untuk daging sapi, 7 kg daging ayam, 2,3 kg daging babi, dan 0,4 kg daging kambing. Sementara konsumsi dunia mencapai rata-rata 6,4 kg daging sapi, 14 kg daging ayam, 12,2 daging babi, dan 1,7 kg daging kambing.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Bidang Ilmu Gizi Kesehatan Masyarakat Sandra Fikawati menyampaikan, harga dari pangan hewani juga berpengaruh pada tingkat konsumsi masyarakat pada sumber pangan tersebut. Merujuk pada studi berjudul ”Animal Sourced Foods and Child Stunting” yang diakses di PubMed Central, harga pangan hewani di negara maju lebih murah dibandingkan harga di negara berkembang.
Baca juga: Makanan Bergizi Tak Melulu Sayur dan Buah
Dengan harga sumber pangan yang mahal di negara berpenghasilan rendah, pola konsumsi masyarakat di negara tersebut pun berpengaruh, terutama dalam mengakses dan menjangkau sumber pangan hewani. ”Jadi tidak cukup hanya mendekatkan pada akses pada pangan dengan protein hewani, tetapi harus pula membuat sumber pangan itu terjangkau, tersedia, dan bisa diterima secara sosial kultural di masyarakat,” katanya.
Menurut Sandra, komitmen pemerintah daerah amat berperan untuk meningkatkan konsumsi protein hewani di masyarakat. Masyarakat, terutama anak-anak yang kurang gizi di setiap daerah, perlu terjamin akses pada asupan protein hewani yang cukup.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah kerja sama antara pemerintah daerah dan industri atau pengusaha lokal di bidang peternakan. Hal itu sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Muara Enim pada awal tahun 2000. Pemerintah daerah dapat memulai dengan memfasilitasi peternak ayam broiler untuk membangun peternakan melalui subsidi bunga pinjaman dari bank daerah. Selanjutnya, kerja sama dengan perusahaan dilakukan agar sarana produksi dan jaminan pasar bisa dukung oleh perusahaan.
”Saat ini peternaknya sudah mandiri. Pasokan ayam broiler di sana jadi lebih terjamin dan terjangkau oleh masyarakat. Upaya-upaya daerah yang berkontribusi pada pemenuhan asupan protein hewani untuk anak harus didukung dan dikembangkan,” ucap Sandra.