Pengukuran yang tepat amat diperlukan untuk mendeteksi anak yang mengalami tengkes. Hal tersebut akan berpengaruh pada intervensi yang diberikan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN
Petugas puskesmas dan kader posyandu Desa Kesetnana, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur mengukur tinggi badan Sandi Santiago Numlene (5) yang tengkes.
JAKARTA, KOMPAS – Prevalensi tengkes di Indonesia dilaporkan menurun selama lima tahun terakhir. Namun, penurunan tersebut perlu dipastikan diukur sesuai dengan standar. Jika pencatatan tidak sesuai dikhawatirkan intervensi yang diberikan pada anak menjadi tidak tepat.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) Yuli Supriati di Jakarta, Kamis (4/8/2022) mengatakan, pemerintah telah menargetkan prevalensi tengkes atau stunting bisa menurun menjadi 14 persen pada 2024. Target ini dinilai sangat ambisius karena artinya Indonesia harus bisa menurunkan angka tengkes hingga 10 persen selama dua tahun.
“Dari target ini akhirnya mendorong pemerintah daerah untuk menyelenggarakan program percepatan penurunan stunting. Untuk mengejar target itu membuat pemerintah daerah berlomba mencapai penurunan stunting. Masalahnya, apakah stunting yang diklaim turun itu memang berdasarkan data yang sesungguhnya di lapangan,” tuturnya.
Data nasional menunjukkan, prevalensi tengkes di Indonesia telah menurun dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 24,4 persen pada 2021. Ditargetkan prevalensi tengkes ini bisa menurun setidaknya tiga persen per tahun untuk mencapai angka 14 persen pada 2024.
Yuli menyampaikan, klaim yang berlebihan terhadap status tengkes setidaknya ditemukan di daerah Stabat, Langkat, Sumatera Utara. Pemerintah daerah setempat telah mengklaim bahwa di daerah tersebut tidak ada kasus tengkes (zero stunting). Namun, setelah dilakukan kunjungan langsung, kasus gizi buruk di daerah tersebut amat tinggi.
“Di daerah tersebut ternyata ditemukan hampir 70 persen anak-anak mengalami gizi buruk yang mengarah ke stunting. Adanya overclaim angka stunting yang turun ini menyebabkan anak kehilangan haknya,” katanya.
Persoalan lain yang juga ditemukan yakni tidak optimalnya keterlibatan kader dan masyarakat dalam pendataan kejadian tengkes. Dalam pencatatan ditemukan adanya sistem yang tidak terstandar. Pengukuran indikator tengkes tidak dilakukan dengan tepat.
Untuk mengejar target itu membuat pemerintah daerah berlomba mencapai penurunan stunting. Masalahnya, apakah stunting yang diklaim turun itu memang berdasarkan data yang sesungguhnya di lapangan. (Yuli Supriati )
Kader hanya menanyakan perkembangan anak pada orangtua lewat pesan singkat. Padahal, orangtua tersebut belum tentu memiliki alat yang terstandar untuk mengukur tinggi dan berat badan anak.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menyampaikan, untuk mengukur pertumbuhan anak sebaiknya tidak dilakukan secara mandiri oleh orangtua. Pengukuran perlu dilakukan secara rutin oleh tenaga kesehatan agar penilaian lebih terstandar. Petugas yang ditugaskan pun harus sudah terlatih.
“Untuk mendeteksi stunting bisa diukur dari panjang dan tinggi badan berdasarkan usianya. Jika itu di bawah standar perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Penanganan bisa dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat primer terlebih dahulu dalam dua sampai empat minggu,” katanya.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Kader posyandu menimbang bayi di Posyandu Mawar di RW 04 Kampung Bulak Wareng, Larangan Selatan, Larangan, Kota Tangerang Banten, Jumat (8/4/2022). Posyandu adalah garda terdepan pelayanan kesehatan bayi dan anak balita di Indonesia, termasuk dalam penanggulangan tengkes (stunting).
Piprim menyampaikan, apabila ketika ditangani di fasilitas kesehatan tingkat primer tidak terjadi perkembangan, anak perlu dirujuk ke dokter spesialis anak. Intervensi pada anak tengkes harus dilakukan dengan cepat agar tidak melewati masa emas sampai usia dua tahun.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan, sejumlah strategi telah dilakukan dalam tata laksana gizi buruk dan tengkes pada balita. Itu antara lain, pemberdayaan keluarga dan masyarakat, meningkatkan kualitas dan cakupan deteksi dini di tingkat masyarakat, meningkatkan kualitas dan akses pelayanan kesehatan dan gizi, penguatan sistem kewaspadaan dini melalui surveilans kesehatan dan gizi, meningkatkan kerjasama dengan lintas program, meningkatkan dukungan dan peran serta pemerintah daerah melalui dukungan kebijakan dan pembiayaan, serta deteksi dini, rujukan kasus tengkes, dan pemantauan pasca rujukan.
Intervensi tengkes pun dilakukan sebelum dan setelah kelahiran. Selama masa kehamilan dilakukan dengan memastikan gizi cukup dan pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil. Saat ini sekitar 23 persen anak lahir dengan kondisi sudah mengalami stunting akibat ibu hamil sejak masa remaja kurang gizi dan anemia.
Sementara intervensi setelah kelahiran dilakukan dengan meningkatkan asupan gizi pada anak, terutama asupan protein hewani. Risiko tengkes meningkat signifikan pada usia 6-23 bulan akibat kurang protein hewani pada makanan pendamping ASI yang mulai diberikan sejak usia enam bulan.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA (BAH)
ilustrasi: Makan Bersama.
“Kita mendorong agar pemberian makanan tambahan dengan kandungan protein hewani ini diberikan berbasis dengan makanan lokal. Hal ini diperlukan agar masyarakat tidak bergantung pada biskuit PMT (pemberian makan tambahan),” ucap Nadia.
Piprim menambahkan, sejumlah riset telah membuktikan keterkaitan antara status tengkes dan kurangnya asupan protein hewani pada anak. Pada anak tengkes ditemukan asupan protein hewani yang lebih rendah dari anak yang sehat. Selain itu, kadar asam amino pada anak tengkes juga lebih rendah dari anak yang tidak tengkes.
“Sumber protein hewani kaya akan asam amino esensial. Asam amino ini yang dapat merangsang protein mTORC1 yang berperan dalam pertumbuhan, mulai dari pertumbuhan tulang, pertumbuhan otot, dan fungsi imun,” tuturnya.