Timpangnya Harapan Hidup dan Harapan Hidup Sehat Penduduk Indonesia
Di balik meningkatnya angka harapan hidup secara nasional, terjadi ketimpangan yang nyata antardaerah. Selain itu, harapan hidup sehat di Indonesia juga cenderung rendah.
Angka harapan hidup penduduk Indonesia dalam tiga dekade terakhir meningkat signifikan walaupun masih relatif rendah dibandingkan negara lain. Namun, di balik itu terjadi ketimpangan yang nyata antardaerah. Selain itu, sekalipun terjadi peningkatan harapan hidup, harapan hidup sehat di Indonesia cenderung rendah.
Laporan terbaru di jurnal The Lancet yang dirilis pekan lalu menyingkap kesenjangan kesehatan di provinsi Indonesia antara tahun 1990 dan 2019. Menteri Kesehatan 2012-2014, Nafsiah Mboi, menjadi penulis pertama laporan itu bersama puluhan peneliti sejumlah negara.
Para peneliti menggunakan data dari Global Burden of Diseases, Injuries, and Risk Factors Study (GBD) 2019 untuk menganalisis pola kesehatan di Indonesia di tingkat provinsi antara tahun 1990 dan 2019. Analisis tersebut berisi perkiraan kematian, tahun hidup yang hilang karena kematian dini, tahun hidup dengan kecacatan, dan tahun hidup yang disesuaikan dengan kecacatan yang dapat diatribusikan faktor risiko metabolik, lingkungan, dan pekerjaan dan perilaku di tingkat nasional dan subnasional.
Analisis GBD 2019 oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) University of Washington merupakan upaya untuk memotret secara komprehensif masalah kesehatan di dunia. Analisis ini meliputi beban penyakit untuk 286 penyebab kematian, 369 penyebab kecacatan nonfatal, dan 87 faktor risiko untuk 204 negara dan wilayah dari tahun 1990 hingga 2019.
Dalam peneliti ini, Nafsiah dan tim menganalisis perkiraan kematian spesifik penyebab GBD 2019, meliputi tahun hidup yang hilang akibat kematian dini (YLLs), tahun hidup dengan disabilitas (YLDs), tahun hidup yang hilang akibat kematian dini, sakit, dan disabilitas (DALYs), harapan hidup, harapan hidup sehat, dan faktor risiko untuk 286 penyebab kematian, 369 penyebab kematian nonfatal, dan 87 faktor risiko menurut tahun, usia, dan jenis kelamin untuk Indonesia dan 34 provinsinya dari tahun 1990 hingga 2019.
Harapan hidup
Nafsiah menemukan, angka harapan hidup laki-laki di seluruh Indonesia meningkat dari 62,5 tahun pada 1990 menjadi 69,4 tahun pada 2019. Sementara angka harapan hidup perempuan di Indonesia meningkat dari 65,7 tahun pada 1990 menjadi 73,5 tahun pada 2019. Namun, peningkatan harapan hidup di level provinsi sangat timpang.
Baca juga: Usia Harapan Hidup Manusia Indonesia Anjlok
Angka harapan hidup laki-laki di Bali pada tahun 2019 mencapai 74,4 tahun dan harapan hidup sehat 64 tahun merupakan yang tertinggi di Indonesia. Sementara angka harapan hidup laki-laki yang terendah di Papua, yaitu 64,5 tahun, dan harapan hidup sehat 58,3 tahun.
Bali menggeser Yogyakarta yang pada tahun 1990 memiliki harapan hidup tertinggi untuk laki-laki di Indonesia, sedangkan Papua konsisten di level terbawah. Data juga menunjukkan, laki-laki Papua memiliki harapan hidup 9,9 tahun lebih rendah dibandingkan Bali atau 5 tahun lebih rendah dari rata-rata nasional.
Data ini juga menunjukkan adanya ketimpangan pembangunan kesehatan di Indonesia, di mana Papua dan Maluku Utara paling tertinggal.
Angka harapan hidup perempuan tertinggi pada 2019 terdapat di Kalimantan Utara, yakni 77,7 tahun dengan harapan hidup sehat 66,6 tahun. Sementara perempuan Maluku Utara memiliki harapan hidup terendah, sebesar 67,2 tahun dan harapan hidup sehat 56,2 tahun. Kondisi ini konsisten sejak tahun 1990-an. Kesenjangan angka harapan hidup di dua provinsi ini mencapai 10,5 tahun.
Usia harapan hidup merupakan indikator utama pembangunan kesehatan, apakah pemerintah berhasil meningkatkan kesejahteraan secara umum dan derajat kesehatan secara khusus. Oleh karena itu, data ini juga menunjukkan adanya ketimpangan pembangunan kesehatan di Indonesia, di mana Papua dan Maluku Utara paling tertinggal.
Iqbal Elyazar, peneliti surveilans penyakit dan biostatistik di Oxford University Clinical Research Unit, yang turut menulis paper di The Lancet ini, mengatakan, tersedianya teknologi vaksin dan obat-obatan yang mampu diproduksi massal dan lebih murah, mendorong kenaikan usia harapan hidup penduduk di dunia, termasuk di Indonesia (The Conversation, Agustus 2022).
Beberapa produk kesehatan yang terbukti efektif mencegah dan mengobati penyakit menular itu, misalnya, vaksin polio, campak, penyakit gondok, rubela, difteri, tetanus. Selain itu, penyakit malaria yang dulu menjadi masalah besar di sejumlah daerah kini hanya ada di beberapa kantong endemik. Selain itu, saat ini sudah tersedia obat malaria artemisinin yang mampu membersihkan parasit malaria di pembuluh darah.
Intervensi lainnya yang meningkatkan harapan hidup, menurut Iqbal, adalah perbaikan layanan kesehatan ibu dan anak, meliputi persalinan yang aman, perbaikan nutrisi, imunisasi dan perbaikan sanitasi rumah dan kesehatan lingkungan.
Hidup sehat
Sekalipun terdapat progres dalam kesehatan, yang ditandai oleh kenaikan angka harapan hidup di Indonesia, tetapi jika dibandingkan dengan rata-rata global, Indonesia masih berada di bawah. Menurut data Global Health Observatory-Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka harapan hidup penduduk dunia pada 2019 mencapai 73,4 tahun. Sementara angka harapan hidup penduduk Indonesia (laki-laki dan perempuan) 71,31 tahun.
Jika dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara, angka harapan hidup di Indonesia termasuk paling rendah. Singapura, misalnya, memiliki angka harapan hidup 83,6 tahun, Thailand 77,2 tahun, dan Malaysia 76,2 tahun.
Selain tertinggalnya Indonesia dibandingkan negara lain dan ketimpangan antardaerah, studi Nafsiah dan tim ini juga memaparkan adanya masalah besar kesehatan yang dihadapi Indonesia, yaitu tingginya beberapa penyakit menular seperti tuberkulosis dan tren peningkatan penyakit tidak menular seperti. kanker, penyakit jantung, diabetes, dan stroke.
Kajian ini menyebutkan, enam faktor risiko utama DALYs di Indonesia pada tahun 2019 adalah tekanan darah sistolik yang tinggi, penggunaan produk tembakau, risiko diet, kadar gula darah yang tinggi, indeks massa tubuh yang tinggi, dan malnutrisi pada anak dan ibu.
Baca juga: Ketika Penyakit Kronis Mengintai Generasi Muda
Tekanan darah sistolik tinggi dan penggunaan tembakau termasuk di antara lima faktor risiko utama untuk semua provinsi. Gizi buruk anak dan ibu merupakan faktor risiko utama di Kalimantan Utara, Gorontalo, dan Papua dan faktor risiko kedua di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Indeks massa tubuh tinggi juga merupakan faktor risiko utama untuk Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur dan faktor risiko utama kedua untuk Kepulauan Bangka-Belitung, Kalimantan Utara, Jakarta, Papua Barat, dan Papua.
Masih tingginya penularan tuberkulosis dan peningkatan penyakit tidak menular tersebut menyebabkan angka harapan hidup sehat (HALE) di Indonesia masih relatif rendah. Jadi, walaupun panjang umur, sebagian masa hidup dilalui dalam kondisi sakit-sakitan sehingga kualitas hidup menurun.
Rata-rata HALE di Indonesia pada tahun 2019 hanya 63 tahun. Angka ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara G20 lainnya seperti Jepang yang mencapai 74 tahun, Australia 70 tahun, China 69 tahun, Amerika Serikat 65 tahun, dan Brasil 65 tahun.
Baca juga: Ketimpangan Pembangunan Manusia Masih Terjadi
Dari data ini kita bisa melihat bahwa secara nasional, kita masih dituntut untuk mengatasi ketertinggalan angka harapan hidup dan harapan hidup sehat. Sekalipun saat ini risiko kematian dini akibat beban penyakit menular menurun dan masalah ibu dan anak serta nutrisi mulai membaik, tetapi beban kesehatan ini berpindah ke penyakit tidak menular, yang dipengaruhi perubahan gaya hidup.
Selain itu, kita juga bisa melihat ketidaksetaraan kesehatan yang substansial di seluruh provinsi. Provinsi-provinsi di wilayah Barat secara keseluruhan memiliki peringkat yang lebih tinggi dalam indeks pembangunan kesehatan dibandingkan dengan provinsi di wilayah timur.
Ketimpangan itu, salah satunya, disumbangkan oleh perbedaan akses dan kualitas perawatan kesehatan. Menurut Healthcare Access and Quality (HAQ) Index, 14 provinsi yang memiliki Indeks HAQ lebih tinggi dari nilai rata-rata nasional Indonesia sebagian besar berada di bagian barat negara ini, sedangkan 20 provinsi lainnya dengan Indeks HAQ yang lebih rendah mayoritas terkonsentrasi di timur.