Usia Harapan Hidup Manusia Indonesia Anjlok
Usia harapan hidup manusia Indonesia pada 2021 anjlok dibandingkan 2019. Laki-laki mengalami penurunan usia lebih drastis daripada perempuan. Perbaikan kualitas manusia Indonesia perlu berpijak pada realitas dan fokus.
Pandemi Covid-19 dan aneka krisis yang mengikutinya membuat usia harapan hidup manusia Indonesia saat lahir turun dari 71,7 tahun pada 2019 menjadi 67,6 tahun pada 2021. Meski banyak negara mengalami hal serupa, anjloknya usia harapan hidup manusia Indonesia yang mencapai 4,1 tahun itu jauh lebih dalam dari rata-rata dunia yang hanya 1,4 tahun.
Turun drastisnya usia harapan hidup (UHH) manusia Indonesia tersebut berasal dari Laporan Pembangunan Manusia (HDR) 2021-2022 yang diluncurkan Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) di New York, Amerika Serikat, Kamis (8/9/2022). Penurunan UHH itu berdampak pada turunnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Sebelum pandemi, IPM Indonesia mencapai 0,718 pada 2019 dan menjadi 0,705 pada 2021. Pada periode yang sama, peringkat IPM berubah dari 107 (2019) menjadi 114 (2021). Namun, kenaikan nilai indikator lama harapan sekolah (LHS) dan rata-rata lama sekolah (RLS) serta pendapatan nasional per kapita membuat ranking IPM Indonesia dibandingkan tahun 2020 naik dua tingkat.
Meski penurunan IPM akibat berbagai krisis selama dua tahun terakhir terjadi di 9 dari 10 negara, penurunan IPM Indonesia, khususnya anjloknya UHH, perlu mendapat perhatian khusus. Anjloknya penurunan UHH menunjukkan rentannya layanan kesehatan dasar Indonesia dalam menghadapi krisis.
Baca juga: Menopang Gerak Lambat Indeks Pembangunan Manusia
Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia yang juga Direktur Institute for Advanced Studies in Economics and Business UI Turro S Wongkaren, di Jakarta, Jumat (9/9/2022), mengutarakan, turunnya UHH 2021 menunjukkan bayi yang lahir pada tahun 2021 memiliki perkiraan usia hidup lebih pendek dibandingkan bayi-bayi yang lahir pada 2019.
Layanan terganggu
Di awal pandemi, layanan kesehatan ibu hamil dan bersalin langsung terganggu. Banyak bidan membatasi, bahkan menutup layanannya, demi menghindari penyebaran Covid-19. Layanan rumah sakit pun berkurang karena difokuskan untuk pasien Covid-19. Akibatnya, banyak kehamilan dan persalinan yang tidak terkontrol.
Meski belum ada data pasti, Kementerian Kesehatan pada 14 September 2021 menyebut ada kecenderungan peningkatan kematian ibu dan bayi selama pandemi. Namun, data Badan PBB untuk Anak-anak Unicef) menyebut angka kematian bayi di Indonesia pada 2019 mencapai 23,8 bayi per 1.000 kelahiran hidup pada 2019 menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup pada 2020.
”Meningkatnya kematian bayi akan menurunkan probabilitas hidup mereka sehingga nilai UHH pasti akan turun,” kata Turro. Selain itu, berkurangnya UHH menunjukkan ketatnya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan pemerintah di bulan-bulan awal pandemi hingga banyak ibu takut atau menahan diri untuk memeriksakan kandungannya.
Sementara itu, Direktur Center of Sustainable Development Goals Studies Universitas Padjadjaran Zuzy Anna mengingatkan perlunya kehati-hatian dalam melihat penurunan UHH dalam HDR 2021-2022, khususnya terkait sumber data. UHH biasanya dihitung memakai data hasil sensus penduduk atau estimasi data sensus.
Baca juga: Ketimpangan Pembangunan Manusia Masih Terjadi
Selain itu, selama beberapa dekade terakhir, UHH terus naik seiring meningkatnya status kesehatan masyarakat, baik akses maupun mutu layanan kesehatan. Penghitungan IPM versi Indonesia, yaitu IPM yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS) pun menunjukkan demikian, termasuk selama masa pandemi.
IPM 2021 BPS menyebut UHH Indonesia terus naik. Namun, pandemi membuat pertumbuhan UHH melambat. UHH manusia Indonesia pada 2019, 2020, dan 2021 secara berurutan adalah 71,34 tahun, 71,47 tahun, dan 71,57 tahun. Sebelum pandemi, pertumbuhan UHH-nya selalu lebih dari 0,2 persen, tetapi sejak pandemi kurang dari nilai itu.
”Data (UHH HDR UNDP) ini bisa jadi alat koreksi dan evaluasi saksama terhadap sektor kesehatan Indoensia karena bagaimanapun UHH harusnya meningkat,” tambah Zuzy.
Laki-laki rentan
Di tengah anjloknya UHH Indonesia, laki-laki merupakan kelompok paling menderita. UHH perempuan Indonesia pada 2021 mencapai 69,7 tahun, sedangkan UHH laki-laki hanya 65,5 tahun. Di ASEAN, UHH perempuan Indonesia menjadi terendah ketiga setelah Myanmar dan Timor Leste, sedangkan UHH laki-lakinya terendah kedua sesudah Myanmar.
Secara biologis, UHH perempuan di seluruh dunia lebih panjang daripada laki-laki. Namun, secara evolusi dan budaya, laki-laki lebih banyak beraktivitas di luar rumah hingga meningkatkan risiko mereka pada sejumlah masalah kesehatan, mulai dari kecelakaan lalu lintas hingga paparan aneka polutan dalam polusi udara.
Belum lagi, laki-laki cenderung berperilaku berisiko terhadap kesehatan, mulai dari merokok, konsumsi makanan tinggi gula, garam, dan lemak, hingga melakukan hal-hal yang mengancam nyawa, seperti tawuran, balapan, ataupun berkonflik.
”Seiring makin mengurbannya pola hidup masyarakat, risiko kesehatan yang mengancam jiwa itu juga makin tinggi,” kata Turro.
Karena itu, Zuzy mengingatkan, selain memprioritaskan kesehatan perempuan, penting pula untuk serius memperhatikan masalah kesehatan laki-laki. Berbagai upaya preventif sejumlah penyakit degeneratif, seperti jantung, stroke, dan kanker, perlu lebih diperkuat.
Sebagian besar kepala rumah tangga dan pencari nafkah utama dalam keluarga Indonesia adalah laki-laki. Karena itu, jika laki-laki sakit atau meninggal, bebannya akan ditanggung semua keluarga. Jika tidak dikendalikan sejak dini, rendahnya UHH laki-laki akan berdampak besar pada ekonomi dan kesejahteraan keluarga serta bangsa.
Ketidakpastian
Nilai IPM Indonesia pada 2021 atau di tahun kedua pandemi masih turun dibandingkan IPM 2020. Namun, penurunannya tidak separah di banyak negara. Meski nilai UHH anjlok, nilai indikator HLS, RLS, dan pendapatan nasional per kapita justru naik hingga ranking IPM Indonesia juga naik. Hal ini menunjukkan kebijakan pemerintah mengelola pandemi sudah di jalur yang tepat.
Seiring makin mengurbannya pola hidup masyarakat, risiko kesehatan yang mengancam jiwa itu juga makin tinggi.
Namun, mengelola IPM di masa seperti ini tidak mudah. UNDP menyebut dunia tengah menghadapi ketidakpastian yang memicu kekhawatiran dan frustrasi global.
Belum pulih penuh dari pandemi Covid-19, dunia dihadapkan pada perang Rusia-Ukraina yang mendorong naiknya harga pangan dan energi hingga memicu krisis sosial dan politik di sejumlah negara. Perubahan iklim, aneka bencana alam, hingga polarisasi politik dan masyarakat membuat situasi makin buruk.
Baca juga: Pembangunan Manusia Mundur 5 Tahun, Usia Harapan Hidup Global Menurun
Kondisi itu membuat untuk pertama kali penghitungan IPM oleh UNDP selama 32 tahun terakhir mengalami pembalikan hasil. Kualitas hasil pembangunan manusia pada 2021 telah jatuh hingga seperti kondisi tahun 2016. Berbagai kemajuan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pun akhirnya harus mundur.
Pembalikan capaian pembangunan manusia itu bersifat universal. Pada tahun pertama pandemi atau 2020, sekitar 90 persen negara mengalami penurunan IPM dibandingkan tahun 2019.
Sementara tahun kedua pandemi atau pada 2021, masih ada 40 persen negara yang IPM-nya belum pulih. ”Ini menunjukkan krisis yang terjadi makin dalam bagi banyak orang,” tulis UNDP.
Di tengah kondisi itu, upaya mengembalikan nilai IPM dipastikan tidak akan mudah. Situasi itu membuat proses pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah, diyakini Turro, bukan merupakan keputusan ideal atau terbaik, melainkan yang lebih mengutamakan harmoni.
”Investasi, penjaminan (insurance), dan inovasi penting untuk menghasilkan kebijakan yang baik,” ujarnya. Kebijakan yang berhasil dilakukan negara lain dan saran dari UNDP atau lembaga dunia mana pun belum tentu pas dijalankan di Indonesia.
Kebijakan yang sesuai kebutuhan dan kondisi Indonesia itu penting diterapkan untuk mendongkrak IPM Indonesia. Antara 1990 dan 2021, IPM Indonesia tumbuh rata-rata 0,95 persen per tahun, cukup baik dibandingkan negara dalam kelompok IPM menengah dan tinggi.
Untuk negara dengan nilai IPM lebih tinggi atau mirip dengan Indonesia, pertumbuhan rata-rata IPM tertinggi dicapai China yang mencapai 1,50 persen per tahun. Makin tinggi IPM, maka pertumbuhan IPM-nya biasanya melambat. Selain China, negara yang pertumbuhan IPM-nya lebih baik dari Indonesia adalah Vietnam (1,22) dan Thailand (1,07).
Pertumbuhan ekonomi China yang mengagumkan selama tiga dekade terakhir mampu mendongkrak pendapatan masyarakatnya hingga nilai IPM pun terdorong. Pada awal 1990-an, IPM China masih di bawah Indonesia. Namun, mulai pertengahan 1990-an, IPM China melejit dan kini ranking IPM-nya 35 tingkat di atas Indonesia.
Zuzy mengatakan, menggenjot pertumbuhan ekonomi memang bisa meningkatkan IPM. Namun, pertumbuhan ekonomi yang baik dan berkelanjutan membutuhkan investasi sumber daya manusia, pengetahuan, serta inovasi teknologi. Karena itu, peningkatan HLS dan RLS bukan hanya perlu terus dilakukan, melainkna juga berkualitas.
Hal senada diungkapkan Turro. HLS Indonesia 2021 yang mencapai 13,7 tahun memang lebih tinggi dari rata-rata dunia yang hanya 12,8 tahun. Sementara RLS Indonesia 2021 sama dengan rata-rata RLS dunia sebesar 8,6 tahun.
Namun, capaian itu perlu dibandingkan data lain, seperti hasil Programme for International Student Assessment (PISA). Dikutip dari data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknogi, hasil PISA 2018 menunjukkan kualitas siswa Indonesia masih jauh dari rata-rata negara maju.
Skor rata-rata kemampuan siswa Indonesia membaca hanya 371, sedangkan skor rata-rata siswa dari negara-negara maju anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 487. Demikian pula dalam kemampuan matematika, skor siswa Indonesia 379, sedangkan rata-rata siswa OECD 489.
”Jika dilihat dari nilai HLS dan RLS yang dijadikan indikator IPM, pendidikan Indonesia terlihat sudah baik. Namun, kualitasnya masih jauh dari harapan,” kata Turro.
Kini, seiring masuknya anak muda, generasi Z dan milienial akhir di lembaga pemerintahan dan pengambilan keputusan diharapkan akan muncul ide dan pandangan baru untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia.
Meski kebijakan Indonesia untuk pulih dari pandemi sudah menunjukkan hasil dengan naiknya peringkat IPM dan membaiknya kondisi ekonomi, penajaman kebijakan sesuai kondisi riil Indonesia perlu dilakukan. Bagaimanapun, mengelola manusia Indonesia yang besar, tersebar di ribuan pulau, serta memiliki suku dan budaya yang beragam tidaklah mudah.
”Dibutuhkan komitmen politik pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan yang inklusif melalui program yang tajam dan dan fokus pada persoalan kesehatan masyarakat, pendidikan dan gizi, juga keadilan jender,” kata Zuzy.