”Rijsttafel”, Tonggak Sejarah Kuliner Indonesia
”Rijsttafel” berkembang sejak kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara pada abad ke-17. Setelah melalui perjalanan panjang, ”rijsttafel” pada akhirnya membentuk identitas kuliner Indonesia di masa sekarang.
Rijsttafel mulanya adalah hidangan rumahan di keluarga campuran Belanda-Nusantara. Seiring berjalannya waktu, rijsttafel berkembang menjadi jamuan mewah untuk menunjukkan prestise para elite. Kendati pamornya telah redup sejak beberapa dekade silam, rijsttafel menyisakan warisan kuliner yang masih ada hingga sekarang.
Cerita mengenai rijsttafel diangkat kembali dalam pameran Jejak Memori Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori di Museum Sejarah Jakarta. Pameran ini berlangsung pada 12-21 Oktober 2022.
Rijsttafel berkembang di masa kolonial. Dalam bahasa Belanda, rijsttafel berarti nasi yang dihidangkan di atas meja. Nasi tersebut disajikan bersama makanan Nusantara yang mencakup sayur, lauk, serta makanan dan minuman pendamping lain, seperti buah, sambal, dan puding. Makanan ini dibagi menjadi hidangan pembuka, utama, dan penutup.
Sebelum berkembang menjadi jamuan makan para elite, rijsttafel berkembang di lingkup rumah orang Belanda. Dulu, para lelaki Eropa yang datang ke Hindia Belanda dilarang membawa pasangan. Akhirnya sebagian dari mereka menikahi perempuan lokal atau menunjuk seorang ”nyai” untuk mengurus dapur dan rumah. Di sinilah titik pengenalan masakan Nusantara ke bangsa Eropa.
’Rijsttafel’ merupakan tonggak penting dalam sejarah kuliner Indonesia. ’Rijsttafel’ menjadi salah satu titik perkembangan identitas kuliner Indonesia saat ini.
Pencampuran budaya Barat dan Timur juga dimulai di sini. Untuk menyesuaikan kultur orang Eropa, masakan Nusantara disajikan di atas meja, lengkap dengan alat makan, seperti sendok dan garpu.
”Ini juga bentuk pembaratan yang pertama dilakukan terhadap unsur kuliner orang pribumi. Kebiasaan makan lesehan diganti dengan makan di meja dan duduk di kursi. Selain itu, digunakan juga peralatan makan, seperti sendok, garpu, dan pisau yang sebetulnya tidak ada di akar (budaya) kuliner kita,” kata sejarawan dari Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, Jumat (14/10/2022).
Baca juga: Rijsttafel, Kelezatan Nusantara dalam Buku Panduan Michelin
Kelas sosial
Pada tahun 1900-an, saat banyak perempuan Eropa datang ke Nusantara, rijsttafel berubah jadi budaya makan yang menegaskan perbedaan kelas sosial bangsa Eropa dengan bumiputera. Rijsttafel menjadi jamuan formal yang biasanya digelar para priayi Barat (dan kemudian dilakukan juga oleh priayi lokal).
Jamuan itu dilayani oleh sejumlah orang bumiputera, umumnya pekerja kebun dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilatih menjadi pelayan. Mereka mengenakan atasan putih dengan paduan wastra seperti batik. Mereka tidak diperbolehkan memakai alas kaki karena itu simbol masyarakat terhormat.
Jumlah pelayan pada sekali jamuan bisa mencapai belasan atau puluhan, tergantung jumlah makanan yang dihidangkan. Semakin kaya atau tinggi status sosial sang tuan rumah, semakin banyak pula makanannya.
Umumnya ada 10 jenis makanan dan minuman dalam sekali jamuan, yaitu nasi; ayam, daging, atau ikan; sayur; sambal; serundeng, taburan kacang goreng; sayur; kerupuk udang dan pisang raja; irisan mentimun mentah; acar bawang; buah, puding atau agar-agar; serta air putih, soda, atau bir. Beberapa contoh menunya ialah sayur oyong dan sate daging.
Menu makanan lantas berkembang. Hal ini dipengaruhi keragaman penduduk di Hindia Belanda saat itu. Selain warga bumiputera, ada pula pendatang dari Portugis, China, dan India. Menu rijsttafel yang dipengaruhi akulturasi itu, antara lain, semur (Belanda), mi (China), dan gulai (India).
Baca juga: Kisah Tiga Rumah Makan Penerus Mangut Lele Mbah Marto di Bantul
Wakil Gubernur DKI Jakarta Riza Patria menambahkan, pastel dan perkedel juga makanan adaptasi dari Belanda. Selain itu, ada pula kue kastengel, nastar, hingga lapis legit.
”Begitu pula sebaliknya. Banyak makanan Indonesia yang memengaruhi budaya kuliner orang Belanda. Salah satunya konsep penyajian makanan bernama rijsttafel yang sangat kental dalam memadukan budaya Nusantara dan Belanda,” kata Riza.
Makanan dari bangsa asing lalu disesuaikan dengan lidah orang lokal. Misalnya, kari India ditambah kemiri atau santan sehingga rasanya tidak terlalu pedas atau kuat.
”Ini bentuk inovasi di masa lalu, yakni ketika kuliner kita dipadukan dengan kuliner asing dalam rijsttafel,” kata Fadly.
Baca juga: Mengabadikan Warisan Kuliner Nusantara
Tonggak sejarah
Fadly mengatakan, rijsttafel merupakan tonggak penting dalam sejarah kuliner Indonesia. Rijsttafel menjadi salah satu titik perkembangan identitas kuliner Indonesia saat ini. Identitas itu tak lepas dari pengaruh budaya asing.
”Rijsttafel bisa dilihat dari dua sisi. Dari sisi negatif, itu adalah bentuk penjajahan di meja makan. Dari sisi positif, rijsttafel merupakan bentuk keharmonisan antarbudaya. Kita bisa memaknai kebinekaan di rijsttafel,” ucapnya.
Budaya makan ala rijsttafel tidak lagi populer sejak masa kependudukan Jepang pada 1942-1945. Namun, rijsttafel masih bisa ditemukan, antara lain, di restoran di Tugu Kunstkring Paleis, Jakarta.
Kendati rijsttafel sudah tidak populer, warisan budaya makan itu masih bertahan hingga sekarang. Produk budaya rijsttafel, antara lain, adalah penyajian makanan secara prasmanan dan etika makan (table manner). Publik pun diharapkan memahami sejarah kuliner Indonesia.
”Diharapkan juga ada kebanggaan masyarakat terhadap kuliner Nusantara. Di masa kolonial, kuliner Nusantara diangkat ke turis asing. Kenapa kita tidak mengangkat itu lagi? Ini tentu mesti dikelola dengan baik. Ini sama dengan menumbuhkan kebanggaan di generasi muda, sama seperti mereka yang merasa bergaya atau bangga saat makan makanan Korea, Jepang, atau makanan asing lain,” ujar Fadly.