Aktor Utama Penyebab Karhutla 2015 Perlu Terus Diungkap
Upaya penegakan hukum atas kejadian karhutla 2015 dinilai hanya tegas kepada masyarakat, tetapi tumpul untuk perusahaan yang diduga kuat menjadi aktor utama. Oleh karena itu, pengusutan aktor utama perlu terus dilakukan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejadian kebakaran hutan dan lahan atau karhutla tahun 2015 masih menyisakan korban sehingga aktor utama di balik krisis kabut asap, khususnya di Kalimantan Tengah, itu perlu terus diungkap. Di sisi lain, penanganan krisis asap sekaligus pengendalian karhutla direkomendasikan untuk sepenuhnya dilimpahkan ke daerah.
Kejadian karhutla tahun 2015 merupakan salah satu kebakaran terbesar di Indonesia dengan luasan mencapai lebih dari 2,5 juta hektar. Saat itu, karhutla menimbulkan krisis kabut asap yang tidak hanya berdampak terhadap kualitas lingkungan, tetapi juga ekonomi, sosial, hingga kesehatan masyarakat setempat.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil beserta 239 korban terdampak karhutla 2015 yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bebas Asap (Kibas) pada Desember 2021 kemudian menyerahkan petisi kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Petisi tersebut meminta agar Komnas HAM segera melakukan investigasi terhadap perusahaan penyebab krisis kabut asap untuk bertanggung jawab dalam melakukan pemulihan.
Penggugat dalam Gugatan Citizen Lawsuit Karhutla Mariaty Niun menyatakan, pengungkapan aktor utama di balik krisis kabut asap akibat karhutla 2015 sampai saat ini berjalan sangat lambat. Bahkan, pemerintah baru meninjau kembali putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung pada 2021.
”Saat itu, kami sampai menggugat pemerintah mulai dari presiden, kementerian, hingga pemerintah daerah karena kecewa dengan lambatnya proses penanganan kabut asap pada 2015,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Menagih Komitmen Komnas HAM dalam Mengungkap Aktor Bisnis di Balik Krisis Kabut Asap”, Selasa (11/10/2022).
Upaya penegakan hukum atas kejadian karhutla 2015 hanya tegas kepada masyarakat, tetapi tumpul untuk perusahaan yang diduga kuat menjadi aktor utama.
Khusus di Kalimantan Tengah, Mariaty menyebut bahwa Dinas Sosial Kalteng mencatat terdapat empat korban meninggal akibat kabut asap. Jumlah orang yang terdeteksi menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di sejumlah kabupatan/kota di Kalteng juga meningkat signifikan setelah terjadi karhutla 2015.
Menurut Mariaty, upaya penegakan hukum atas kejadian karhutla 2015 hanya tegas kepada masyarakat, tetapi tumpul untuk perusahaan yang diduga kuat menjadi aktor utama. Selama ini, penegak hukum juga lebih banyak menjadikan peladang dan masyarakat adat sebagai tersangka atas karhutla 2015. Sementara dari catatan koalisi, beberapa pihak perusahaan besar masih belum ditetapkan sebagai tersangka.
”Setelah karhutla 2015, hanya ada dua perusahaan di Kapuas yang mendapat hukuman dan denda. Namun, ini tidak sebanding karena banyak masyarakat yang menjadi tersangka utama dan ini berlangsung sampai sekarang,” tuturnya.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Agustin Teras Narang mengatakan, kabut asap merupakan krisis kompleks yang melibatkan sekaligus merugikan banyak pihak. Krisis asap termasuk yang terjadi di Kalteng dan wilayah lainnya juga mencakup faktor ekonomi, sosial, kesehatan, lingkungan hidup, politik, hukum, hingga hak asasi manusia.
Teras Narang mengakui, terdapat peraturan daerah yang membolehkan masyarakat adat membuka lahan untuk kegiatan ladang secara terbatas sesuai kearifan lokal. Namun, aturan ini tidak serta merta membuat masyarakat menjadi penyebab utama karhutla.
Ia memandang, ada hal-hal yang keliru dalam aspek pengawasan dan penegakan aturan bila memang masyarakat atau peladang dianggap sebagai pemicu kebakaran hutan. Padahal, peraturan daerah yang dibuat tersebut bertujuan untuk mengakomodasi masyarakat kelas bawah yang selama ini mengandalkan cara tradisional termasuk membakar lahan secara selektif untuk mempertahankan ekonomi keluarganya.
Dilimpahkan ke daerah
Terkait dengan penanganan krisis asap atau pengendalian karhutla ke depan, Teras Narang merekomendasikan agar upaya tersebut sepenuhnya dilimpahkan kepada daerah. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah perlu berkoordinasi dan bersinergi dengan pemerintah kabupaten/kota hingga ke tingkat tapak, termasuk dalam pencegahan karhutla.
”Tak kalah penting, penataan ruang juga perlu diselesaikan, khususnya di Kalimantan Tengah yang perlu pemutakhiran data. Hal ini penting dalam rangka memetakan kepemilikan hingga pertanggungjawaban atas lahan saat kebakaran terjadi,” ujarnya.
Selain itu, Teras Narang juga mendorong agar pemerintah dan Komnas HAM perlu menindaklanjuti sekaligus menyelesaikan berbagai persoalan terkait krisis kabut asap pada 2015 khususnya di Kalteng. Hal ini merupakan bentuk komitmen memperbaiki kebijakan penanganan krisis kabut asap pada masa mendatang.
Komisioner terpilih Komnas HAM2022-2027 Saurlin Pandapotan Siagian menilai, semua pihak perlu mendorong negara untuk lebih kuat dalam mengontrol kegiatan korporasi sehingga mencegah terjadinya pelanggaran HAM. Posisi negara juga harus berada di pihak masyarakat karena mereka tidak memiliki kekuatan tawar-menawar.
”Pemenuhan dan perlindungan HAM harus mendorong tanggung jawab hukum perusahaan. Sebab, dalam tanggung jawab hukum ini ada kekuatan memaksa. Sementara bila hanya mendorong tanggung jawab sosial ini hanya bersifat kesukarelaan,” katanya.