JAKARTA, KOMPAS—Bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut kian mendekati kondisi terburuk pada 2015. Asap pekat pada level membahayakan kesehatan tidak hanya terpantau di sejumlah wilayah Sumatera dan Kalimantan, tetapi juga berimbas ke negara tetangga.
Analisis sebaran asap yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, sebaran asap pada Jumat (13/9/2019) terdeteksi di wilayah Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Bahkan, kondisi asap pada level berbahaya setidaknya terpantau di Pekanbaru (Riau), Padang (Sumbar), dan Sampit (Kalteng).
Dampak dari kabut asap, sejumlah pemerintah daerah di Sumatera dan Kalimantan telah meliburkan sekolah. Kabut asap juga mengganggu aktivitas penerbangan di sejumlah bandara, di antaranya di Pekanbaru dan Balikpapan.
Asap dari kebakaran lahan di Tanah Air bahkan terdeteksi menyebar ke wilayah negara tetangga. Sebaran asap yang melintasi batas negara (transboundary haze) terpantau dari Sumatera mengarah ke Selat Malaka dan Semenanjung Malaysia, serta dari Kalbar ke Sarawak, Malaysia.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pun berencana akan melayangkan surat kepada Pemerintah Indonesia. Seperti disampaikan Menteri Lingkungan Hidup Malaysia Yeo Bee Yin, Kamis (12/9), ia telah berdiskusi dengan perdana menteri terkait kabut asap. ”Dia setuju untuk mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo agar memperhatikan masalah kabut lintas batas ini,” katanya.
Akibat kabut asap yang mencemari udara, Malaysia juga meliburkan ratusan sekolah dan membagikan setengah juta masker di Sarawak pekan ini. Wilayah administratif Putrajaya di Kuala Lumpur juga diselimuti kabut asap tebal pada Rabu (11/9). Pemerintah Malaysia berencana membuat hujan buatan untuk menghilangkan kabut asap.
Hampir setiap musim kemarau, negara-negara tetangga Indonesia waspada terhadap kemungkinan adanya kabut asap lintas batas dari Indonesia. Selain berdampak buruk pada kesehatan, kabut asap juga memukul sektor pariwisata.
”Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab atas kabut asap di Sarawak,” ujar Wakil Menteri Kepala Sarawak James Jemut Anak Masing.
Pada saat yang sama, titik panas tidak hanya terpantau di wilayah RI, tetapi juga di wilayah Malaysia. Berdasarkan hasil pemantauan citra Satelit Himawari-8 dan analisis Geohotspot BMKG, akumulasi jumlah titik panas tanggal 12 September 2019 yang dirilis kemarin, di wilayah Sumatera terpantau 1.231 titik, di Kalimantan terpantau 1.865 titik, di Semenanjung Malaysia 412 titik, dan di Sarawak-Sabah 216 titik.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Rabu, berang dengan sikap Pemerintah Malaysia yang sempat mengemuka pada 7-8 September terkait asap ”kiriman” Indonesia. Apalagi titik panas terdeteksi juga di Sarawak dan Semenanjung Malaysia.
”Sebagai sesama negara ASEAN tak masalah kalau saling bantu. Namun, cara meng- address seperti itu secara politis tak baik sehingga saya menyatakan keberatan,” katanya.
Darurat bencana asap
Kondisi kali ini mengingatkan pada bencana asap tahun 2015. Bencana saat itu tercatat sebagai yang terburuk sejak pertama kali Kompas memberitakan kebakaran hutan dan lahan di Tanah Air pada 1967.
Saat kejadian empat tahun silam, ditetapkan status darurat bencana asap di enam provinsi, meliputi Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, dan Kalsel. Presiden Jokowi yang saat itu melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat, bahkan memutuskan mempercepat kepulangannya untuk memimpin penanganan bencana asap.
Dalam kejadian kali ini, belum satu pun daerah di Tanah Air yang meningkatkan statusnya menjadi darurat bencana asap. Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera Amral Fery, saat dihubungi di Pekanbaru, menilai, pemerintah perlu segera menetapkan darurat bencana.
”Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dalam kondisi Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) berbahaya, pengambil keputusan di daerah segera menetapkan status darurat pencemaran udara. Dalam kondisi ISPU berbahaya, bayi dan wanita hamil mesti dievakuasi ke tempat aman,” kata Amral.
Upaya memadamkan kebakaran yang dilakukan pemerintah belum mampu menghentikan meluasnya kebakaran. Tercatat sejak Januari 2019, luasan areal yang terbakar mencapai 326.728 hektar atau lima kali luas DKI Jakarta. Penegakan hukum juga dilakukan, antara lain menyegel lahan yang dikuasai 11 korporasi di Riau.
(SAH/RAM/ESA/JOL/CIP/ITA/AIK/BKY/FRD/ADH/AFP/REUTERS)