Pameran Pendar Cahaya, Potret Kesehatan Jiwa Indonesia dari Masa ke Masa
Museum Kebangkitan Nasional mengadakan pameran virtual Pendar Cahaya pada 10 Oktober-30 November 2022. Pameran ini berisi sejarah serta tokoh pionir layanan kesehatan jiwa di Indonesia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Layanan kesehatan jiwa di Indonesia (dulu Hindia Belanda) bermula dari Resolusi 21 Mei 1831. Resolusi itu menyebutkan bahwa setiap rumah sakit besar di Weltevreden (Jakarta), Semarang, dan Surabaya akan menyediakan kamar untuk orang dengan gangguan jiwa. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Peraturan tentang Pengidap Sakit Jiwa yang mengatur bangsal perawatan kesehatan jiwa untuk pasien bumiputra dan Eropa.
Beberapa tahun setelahnya, pemerintah kolonial mengadakan penelitian terhadap orang dengan gangguan jiwa di Hindia Belanda. Penelitian dilakukan dokter FH Bauer dan WM Smit pada 1862.
Hasilnya, ada 550 orang dengan gangguan kesehatan jiwa yang dipasung, ditelantarkan, atau dirawat di rumah sakit militer yang peruntukannya bukan untuk perawatan jiwa. Sebelumnya, orang dengan gangguan kejiwaan memang dirawat di rumah sakit militer. Pasien pada umumnya adalah mantan prajurit Belanda yang menderita gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Kesadaran untuk menangani penderita gangguan kesehatan jiwa secara manusiawi pun tumbuh. Pemerintah lantas membuat layanan kesehatan jiwa pertama, yaitu Hetkrankzinnigengestich Buitenzorg (sekarang RS Jiwa dr H Marzoeki Mahdi, Bogor). RS ini mulanya hanya menerima pasien Belanda, tapi setelahnya menerima pula pasien bumiputra.
Rumah sakit jiwa kemudian berkembang di sejumlah tempat, yaitu Lawang (Jawa Timur), Magelang (Jawa Tengah), dan Sabang (Aceh). Pemerintah juga mendirikan sejumlah klinik kejiwaan, seperti di Batavia, Banjarmasin, Palembang, Medan, Manado, Makassar, dan Bali. Pasien akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa jika kondisinya tak kunjung membaik setelah dirawat di klinik.
Selain klinik, pemerintah juga membuat koloni pertanian untuk perawatan okupasi. Salah satu koloni pertanian untuk pasien jangka panjang didirikan pada 1930-an di Lenteng Agung, dekat Batavia.
Layanan kesehatan jiwa mendorong timbulnya kesadaran publik sadar akan isu tersebut. Gangguan kesehatan jiwa perlahan tak lagi diasosiasikan dengan hal mistis seperti sebelumnya.
Namun, kesadaran ini umumnya muncul di perkotaan karena layanan kesehatan jiwa relatif mudah diakses. Sementara penanganan orang dengan gangguan kesehatan jiwa di desa masih dengan pemasungan.
Perjalanan layanan kesehatan jiwa Indonesia dimuat dalam pameran virtual Pendar Cahaya. Pameran diselenggarakan oleh Museum Kebangkitan Nasional (Muskitnas) bekerja sama dengan RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat, Lawang, dan komunitas kesehatan mental Social Connect.
Kedudukan semua manusia sama. Itu sebabnya orang dengan gangguan kesehatan jiwa mesti diperlakukan secara manusiawi.
Pameran berlangsung pada 10 Oktober-30 November 2022 di laman pendarcahaya.com. Publik dapat memperoleh penjelasan secara tertulis dan audio di laman tersebut. Ada pula materi lain berupa video, foto, dan gim.
Selain sejarah, pameran ini juga menyorot tujuh alumnus Stovia (dulu Sekolah Dokter Djawa) yang dianggap sebagai pionir di bidang kesehatan jiwa Indonesia. Mereka adalah dr R Soemeroe, Dr KRT Radjiman Wediodiningrat, Dr Roland Tumbelaka, Prof Dr Jonas Andreas Latumeten, dr Marzoeki Mahdi, dan Prof Dr Victor Lycurgus Ratumbuysang.
”Itu adalah tujuh tokoh yang bisa kami telusuri dan dapatkan datanya. Banyak tokoh dokter di Stovia yang tidak ada catatan sejarahnya. Yang kami coba angkat adalah (mereka) yang punya kiprah di bidang kedokteran, khususnya kedokteran jiwa, atau pergerakan nasional,” kata kurator Muskitnas Swa S Adinegoro pada pembukaan pameran di Jakarta, Senin (10/10/2022). Pembukaan pameran bertepatan dengan Hari Kesehatan Mental Sedunia.
Jonas Andreas Latumeten (1888-1948), misalnya, dikenal sebagai ahli kesehatan jiwa generasi pertama di Indonesia yang memperjuangkan kesetaraan orang bumiputra. Ia pernah mengajak dokter bumiputra mogok kerja lantaran pemerintah kolonial melarang mereka praktik.
Ia juga pernah menyanggah pernyataan dosennya di Stovia, FH van Loon, yang dinilai tidak obyektif dan rasis. FH van Loon kala itu menyatakan bahwa ”amok” terjadi karena manusia di Hindia masih primitif dan tidak bisa menahan emosi. Sanggahan itu ditulis dan dimuat di surat kabar Het Vaderland pada 23 Februari 1924.
Latumeten menulis bahwa jika orang bumiputra berkelahi akan disebut ”amok”, sementara jika itu orang Belanda akan disebut ”ekspresi budaya”. Adapun ”amok” diartikan sebagai ledakan kekerasan secara tiba-tiba. Serangan dapat berlangsung beberapa jam, tetapi orang yang melakukan ”amok” akan mengalami amnesia setelahnya.
Cucu ke-10 Jonas Andreas Latumeten, Antoneta Louise Latumeten, mengatakan, kakeknya menekankan bahwa kedudukan semua manusia sama. Itu sebabnya orang dengan gangguan kesehatan jiwa mesti diperlakukan secara manusiawi.
Media belajar
Pameran diharapkan jadi media belajar generasi masa kini tentang sejarah dan tokoh layanan kesehatan jiwa. Pemahaman lebih jauh soal kesehatan mental pun diharapkan diperoleh generasi muda.
”Kami harap Muskitnas menjadi sumber dokumentasi dan ilmu pengetahuan, sekaligus sumber pendidikan generasi muda agar tahu sejarah perjalanan bangsa Indonesia, termasuk di sini (Stovia) sebagai salah satu tempat penggodokan (ilmu) kedokteran jiwa di abad ke-18 hingga ke-19,” ucap Pelaksana Tugas Kepala Muskitnas Pustanto.
Perwakilan Museum Kesehatan Jiwa di Lawang, Widyastuti, mengatakan, layanan kesehatan jiwa di Indonesia telah jauh berkembang saat ini. Dulu, layanan kesehatan jiwa bersifat tertutup dan berada jauh dari kota. Pasien yang masuk pun bisa dirawat seumur hidup. Kini, layanan kesehatan jiwa lebih terbuka dan melibatkan peran keluarga.