Senyum tak hanya menandakan kebahagiaan, tetapi juga bisa memicu kebahagiaan. Karena itu, menyambut Hari Senyum Sedunia, 7 Oktober 2022, teruslah tersenyum meski harimu berat. Senyummu adalah cerminan kesehatan mentalmu.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Hidup memang tak selamanya mudah. Segala apa yang kita inginkan seringkali sulit tercapai. Banyak hal tak terduga membuat rencana yang kita susun dengan penuh perhitungan tak berjalan sesuai harapan. Namun, seberat apapun hari-hari yang kamu lalui, tetaplah tersenyum karena senyummu tak hanya meringankan beban hidupmu, tetapi juga bisa membuatmu lebih bahagia.
Senyum adalah ekspresi kegembiraan, keramahan, emosi positif, suasana hati yang baik hingga membuat orang yang tersenyum lebih sejahtera. Senyum juga bisa membuatmu terlihat lebih muda, lebih kurus, menginduksi lebih banyak kesenangan di otak, serta menunjukkan kesopanan dan kompetensi. Bahkan, senyum itu menular yang membuat kita bisa menyebarkan kebahagiaan kepada orang lain hanya dengan senyuman.
"Jika kamu suka membantu orang lain dan membangkitkan semangatnya, maka tersenyumlah," tulis Meg Selig, motivator dan penulis di The Psychology Today, 25 Mei 2016.
Bagi sebagian orang, situasi saat ini sangatlah tidak nyaman akibat meningkatnya beban hidup, tekanan sosial politik, konflik keluarga, bencana alam, atau cita-cita yang belum terwujud. Di tengah kondisi itu, senyum bisa menjadi pilihan sadar untuk tetap menjaga semangat dan motivasi. Senyummu akan memperingan beban hidupmu.
Setiap hari Jumat pertama di bulan Oktober diperingati sebagai Hari Senyum Sedunia (HSS). Berarti tahun 2022 ini, HSS jatuh pada 7 Oktober 2022. HSS pertama kali digagas oleh penemu emoji tersenyum, Harvey Ball pada 1999 di Worcester, Massachusetts, Amerika Serikat, berupa lingkaran kuning dengan lengkungan lebar di bawah dan dua mata berbinar di atasnya.
Ketika hati kita sedang berbahagia, maka otak akan melepaskan hormon endorfin, zat kimia yang memberikan rasa senang dang menghilangkan rasa sakit, dan menarik otot-otot wajah sehingga kita akhirnya tersenyum. Sebaliknya, saat bibir kita tersenyum, meski dipaksakan, akan mengirimkan sinyal ke otak untuk meningkatkan kadar endorfin hingga kita menjadi lebih bahagia.
Meski senyuman kita mampu menyembunyikan rasa malu dan frustasi, senyuman secara universal diakui sebagai ekspresi kegembiraan dan kebahagiaan. "Saat melihat orang lain tersenyum, akan menimbulkan rasa nyaman pada kita dan meningkatkan rasa suka dan percaya kepada orang yang tersenyum tersebut," kata peneliti senyuman di Sekolah Ilmu Psikologi, Universitas Australia Barat Lynden Miles di situs universitas tersebut, 15 Oktober 2020.
Namun, pandemi yang belum usai membuat masyarakat masih menggunakan masker di tempat kerja atau tempat umum lainnya. Masker itu menutupi lebih separuh wajah kita hingga hanya menyisakan kening dan mata. Wilayah sekitar mulut yang bisa menunjukkan orang sedang tersenyum bahagia justru tertutup.
Meski demikian, senyum sejatinya tidak hanya melibatkan otot di sekitar mulut saja, yaitu otot bibir, hidung, dan tulang pipi. Seperti dikutip dari Kompas, 3 Oktober 2020, otot utama yang terlibat saat kita tersenyum justru adalah otot yang melingkari mata bernama musculus orbicularis oculi.
Jika nilai agama mengajarkan senyum adalah ibadah, maka senantiasalah tersenyum untuk dirimu dan orang-orang di sekitarmu. Karena senyummu adalah cerminan kesehatan mentalmu.
Otot musculus orbicularis oculi hanya akan bergerak saat seseorang betul-betul tersenyum dari hati. Gerakan otot ini akan membuat saat orang tersenyum dan mulutnya melebar, maka matanya justru mengecil. Jika bibir seseorang dalam posisi tersenyum tetapi matanya biasanya saja atau justru melotot, maka senyum itu adalah senyum palsu (masking smile).
"Otot lingkar mata yang bergerak saat tersenyum tidak bisa dimanipulasi. Sebaliknya, tarikan bibir ke atas atau kenaikan tulang pipi saat tersenyum justru bisa dimanipulasi," kata ahli otak dan perilaku sosial yang kini menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Taufiq Pasiak.
Kondisi itulah yang membuat meski saat ini kita masih menggunakan masker di tempat umum, kita tetap bisa membagikan senyum kepada orang di sekitar kita. Senyum yang tulus masih bisa ditunjukkan melalui ekspresi mata yang oleh model ternama Tyra Banks, seperti dikutip Kompas, 27 Oktober 2021, disebut smizing. Di sinilah mata benar-benar menjadi jendela jiwa.
Senyum dan melihat senyuman itu tak hanya membuat bahagia. Peneliti ekspresi emosi dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Nida Ul Hasanat mengatakan, senyum juga membuat kita makin tambah sehat. Saat tersenyum, tarikan otot yang membuat ujung bibir ke atas atau tulang pipi naik akan memperlebar pembuluh darah.
Konsekuensinya, asupan oksigen ke tubuh kita, termasuk ke otak, menjadi optimal. Proses ini akan mendinginkan otak sehingga menimbulkan rasa nyaman dan bahagia. Kebahagiaan itu akan meningkatkan imunitas tubuh yang sangat penting ditengah musim pancaroba saat ini atau di kala ancaman Covid-19 masih ada.
Senyum tak wajar
Meski dalam budaya Indonesia senyum dianggap sebagai bentuk keramahan dan kesopanan, namun hal itu tidak berlaku di negara-negara lain. Di sejumlah negara Barat atau negara-negara maju lainnya, senyum kepada orang yang tak dikenal adalah hal janggal.
Di negara-negara bekas Uni Soviet, senyum kepada orang yang tak dikenal bisa dianggap mencurigakan, tidak jujur, serta naif. Bahkan, senyuman juga dianggap bahwa orang tersebut tidak memahami situasi yang sebenarnya sedang terjadi.
Ekspresi keramahan dan kebahagiaan memang tidak selalu diwujudkan dengan senyum, tetapi juga bisa lewat komunikasi verbal atau bahasa, seperti ucapan salam atau sapaan. Karena itu, tidak tersenyum bukan berarti tidak ramah.
Di sisi lain, senyum yang terus menerus atau tidak pada tempatnya juga akan dianggap janggal. Pada sejumlah kasus, senyuman justru menjadi tanda sejumlah penyakit seperti sindroma Angelman yang membuat seseorang sulit berhenti tersenyum atau tertawa. Adapula pseudobulbar affect seperti yang dialami Arthur Fleck dalam film Joker (2019) yang membuatnya tidak bisa mengendalikan tawa hingga tertawa tidak pada tempatnya.
Sedangkan pada penderita stroke, khususnya yang mengalami kerusakan otak bagian tengah, juga akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan senyum dan tawa. Demikian pula orang yang mengalami kerusakan sistem saraf ekstrapiramidal yang membuatnya tertawa spontan dan sulit berhenti walau sebenarnya tidak ada hal lucu yang bisa ditertawakan.
Selain itu, Selig mengingatkan, sejumlah senyuman bisa dikaitkan dengan ketidaknyamanan atau ketidakpastian. Bagi perempuan korban pelecehan seksual di tempat kerja, seringkali terpaksa harus tetap tersenyum meski harus menanggung beban dan trauma. Senyum kecut ini tidak akan menghasilkan bahan kimia yang menyenangkan seperti senyum kebahagiaan pada umumnya.
Senyum yang dipaksakan hanya agar seseorang terlihat memiliki emosi positif bisa menimbulkan kerugian psikologis besar. Karena itu, setiap orang perlu mengenali dirinya dan menyadari emosi yang sesungguhnya dia rasakan. Sah-sah saja jika seseorang mengutarakan emosi negatifnya pada orang lain, namun upaya itu perlu dilakukan dengan baik, tanpa menyinggung orang lain hingga tidak mengundang masalah baru.
Meski senyum memiliki makna yang berbeda di setiap budaya dan negara, janganlah berhenti tersenyum dengan tulus. Jika nilai agama mengajarkan senyum adalah ibadah, maka senantiasalah tersenyum untuk dirimu dan orang-orang di sekitarmu. Karena senyummu adalah cerminan kesehatan mentalmu.