Pesona Bibir Merah Merona
Laki-laki memandang merahnya bibir perempuan sebagai gairah seksual dan kesiapan untuk berpasangan. Namun, perempuan justru memandang lipstik merah sebagai inspirasi kecantikan, kekuatan, perjuangan, hingga kemakmuran.
Bibir merah yang tebal, penuh dan berisi pernah menjadi standar kecantikan bibir perempuan ala Barat. Seiring berkembangnya tren kecantikan ala Korea, bibir yang lebih tipis dan lebar jadi pilihan. Namun, apa pun bentuk bibirnya, bibir merah merona dan terlihat basah hingga bersinar masih menjadi idaman banyak perempuan agar terlihat cantik dan menarik.
Bibir menjadi salah satu bagian terpenting di wajah untuk menunjang kecantikan paripurna dan kepercayaan diri perempuan. Dari bibir, banyak penilaian terhadap manusia bermula. Tak hanya jadi sumber pancaran senyuman, bibir juga jadi pusat perhatian saat berlangsungnya percakapan. Dengan bibir pula, manusia bisa makan, berbicara, bernapas, hingga berciuman.
Secara universal, tanpa memandang ras ataupun warna kulit, bibir yang terlihat merah dengan rentang gradasi warna merah yang panjang dianggap jauh lebih menarik secara seksual. Banyak perempuan menyukainya, mulai dari model, bintang film, politisi, pekerja kantoran, buruh pabrik, pedagang pasar, pemetik teh di pegunungan, hingga peserta kegiatan keagamaan.
Secara alamiah, bibir manusia memang berwarna merah. Bahkan, dibandingkan dengan bagian wajah lainnya, warna bibir jelas terlihat berbeda.
Noel Cameron, profesor biologi manusia seperti dikutip Livescience, Selasa (7/6/2022), mengatakan, kulit bibir memiliki lapisan yang sangat tipis dibandingkan dengan kulit bagian wajah lainnya. Kulit bibir tersusun atas 3-5 lapisan seluler, sedangkan kulit bagian wajah yang lain tersusun dari 16 lapisan seluler.
Pada kulit terang, kulit bibirnya akan mengandung lebih sedikit melanosit, yaitu sel yang menghasilkan pigmen melanin yang memberi warna pada kulit. ”Akibatnya, pembuluh darah muncul melalui kulit bibir sehingga membuat bibir berwarna merah menyala dibandingkan dengan bagian wajah lainnya,” katanya.
Baca juga : Ciuman Bibir Tidak Universal
Namun, pada kulit yang lebih gelap, efek merah dari pembuluh darah pada bibir menjadi tidak terlalu mencolok. Pada kondisi ini, bibir justru lebih banyak mengandung melanin sehingga secara visual bibir terlihat lebih gelap.
Selain tipis, kulit bibir tidak memiliki kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Tanpa kedua kelenjar itu, bibir tidak memiliki lapisan pelindung yang menghasilkan keringat dan minyak untuk mengatur suhu tubuh, menghambat patogen, dan menghaluskan kulit. Konsekuensinya, kulit bibir menjadi mudah kering dan pecah-pecah, serta rapuh saat disentuh.
Sama seperti telapak tangan dan telapak kaki, kulit bibir juga tidak memiliki folikel rambut. Akibatnya, rambut tidak bisa tumbuh pada bagian tubuh tersebut. Kondisi itu justru menguntungkan karena bibir yang berambut akan lebih sulit digunakan untuk berbicara. Demikian pula telapak tangan berbulu akan sulit digunakan untuk mengambil barang.
Linimasa Penggunaan Lipstik Merah
Daya tarik
Dalam banyak budaya yang terentang dalam waktu dan kondisi geografis berbeda, bibir merah telah dianggap sebagai salah satu daya tarik utama perempuan. Dari kacamata laki-laki dan budaya patriarki, ketertarikan yang lebih besar pada bibir merah itu sering dikaitkan dengan warna merah pada bibir vagina atau labia saat perempuan terangsang secara seksual.
Namun, pada perempuan, pemerah bibir dianggap bisa mempercantik diri dan memudahkan proses pencarian pasangan. Karena itu, penggunaan pemerah bibir sudah dilakukan sejak lama. Bukti arkeologis menunjukkan ratu di Mesopotamia, wilayah Irak sekarang, sudah menggunakan pemerah bibir dari batu tanah pada tahun 2500 Sebelum Masehi.
Ian D Stephen dan Angela M McKeegan dari Departemen Psikologi Eksperimental, Universitas Bristol, Inggris, dalam jurnal Perception, 2010, menemukan meningkatnya kontras kemerahan pada wajah perempuan akan meningkatkan feminitas. Sebaliknya, peningkatan kontras kemerahan pada laki-laki justru menurunkan maskulinitas pada wajah laki-laki.
Kondisi itu membuat produk kecantikan untuk mempermerah bibir atau bagian wajah lainnya umumnya menyasar kaum hawa, bukan laki-laki. Meski saat ini laki-laki berdandan makin umum demi alasan kesehatan dan penghargaan diri, penggunaan pemerah bibir untuk laki-laki tetap sangat jarang. Umumnya laki-laki hanya menggunakan pelembab agar bibir terlihat sehat dan segar.
Baca juga : Konsumerisme Kecantikan dan Otonomi Atas Tubuh...
Studi Sarah E Johns, ahli antropologi evolusioner dari Universitas Kent, Inggris, dan rekan di jurnal PLoS ONE, 6 April 2012, juga membantah ketertarikan laki-laki pada bibir merah atau baju merah yang dikenakan perempuan terkait dengan warna bibir vagina. Dalam uji, laki-laki menilai warna vagina yang terlalu merah justru kurang menarik dibandingkan dengan vagina berwarna merah muda (pink).
”Ketertarikan terhadap warna merah itu adalah sinyal bagi laki-laki, bukan sinyal yang menandakan perempuan sedang bergairah secara seksual,” kata Johns seperti dikutip dari Science Daily, 11 April 2012.
Penelitian Nicolas Gueguen dari Universitas Bretagne Sud, Perancis, dalam InternationalJournal of Psychological Studies, Mei 2012, menemukan laki-laki lebih suka dan menghabiskan waktu lebih lama dengan pramusaji perempuan di bar yang menggunakan lipstik merah. Namun, ketertarikan laki-laki itu bukan karena bibirnya, melainkan karena warna merahnya.
Ketertarikan terhadap warna merah itu adalah sinyal bagi laki-laki, bukan sinyal yang menandakan perempuan sedang bergairah secara seksual.
Sementara itu, perempuan memandang perempuan lain berbaju merah juga menarik. Namun, eksperimen Adam D Pazda dari Universitas Rochester, New York, AS, dan rekan yang dipublikasikan di Personality and Social Psychology Bulletin, 11 Juli 2014, menunjukkan perempuan memandang perempuan berbaju merah sebagai individu dengan kesetiaan seksual yang lebih rendah dan kurang memiliki tekad menjaga pasangan romantisnya.
Karena itu, meski laki-laki dan perempuan sama-sama tertarik dengan sesuatu yang berwarna merah, kedua jenis kelamin ini memiliki reaksi atau tafsir berbeda terhadap warna. Laki-laki memandang perempuan berbaju merah sebagai isyarat penerimaan secara seksual, tetapi perempuan melihatnya lebih negatif, dikaitkan dengan persaingan dalam pencarian pasangan.
Sejak lama, warna memang diyakini tidak hanya membentuk perasaan estetis secara individual, tetapi juga memiliki makna psikologis. Merah adalah warna yang menarik karena hangat dan cerah.
Merah juga dikaitkan dengan emosi yang kuat, baik tentang cinta, hasrat, maupun seksualitas. Namun, emosi berlebih dari merah juga dikaitkan dengan agresivitas, kemarahan, kekerasan, dominasi dalam kompetisi, dan tanda bahaya.
Kekuatan dan kelembutan
Meski laki-laki memandang bibir merah sebagai simbol gairah seksual, nyatanya perempuan sejak dulu memandang bibir merah lebih dari sekadar urusan kecantikan atau menarik pasangan.
Ratu Mesir kuno Cleopatra pada abad ke-1 Sebelum Masehi menggunakan pemerah bibir dari kumbang tanah sebagai simbol kekuatan dan kemakmuran. ”Untuk membuat pemerah bibir itu digunakan banyak kumbang tanah sehingga biayanya menjadi sangat mahal,” kata Rachel Felder, wartawan kecantikan dan mode dalam siaran Radio BBC 4.
Sementara Ratu Elizabeth I yang memerintah Inggris tahun 1558-1603 menyukai pemerah bibir karena diyakini mampu mengusir roh jahat. Gincu merah juga digunakan perempuan Amerika Serikat saat berdemonstrasi di New York pada tahun 1912 untuk menuntut hak pilih yang sama seperti laki-laki. Unjuk rasa dengan menggunakan pewarna bibir merah itu menjadi inspirasi perjuangan menuntut kesetaraan dan kesamaan hak.
Gincu merah juga pernah dijadikan senjata lunak selama Perang Dunia II. Saat itu, seperti dikutip dari The New York Post, 1 Januari 2022, Adolf Hittler dari Jerman dan Benito Musolini dari Italia melarang penggunaan lipstik merah. Namun, militer AS justru membekali tentara perempuannya dengan lipstik merah sebagai upaya yang mereka sebut ”melawan fasisme dengan gaya”.
Pemerah bibir juga digunakan sebagai simbol solidaritas dan dukungan untuk bangkit dari keterpurukan dan menjaga kenormalan hidup. Palang Merah Internasional memberikan lipstik untuk tawanan perang perempuan di kamp Bergen-Belsen, Jerman, yang dibebaskan tentara Inggris pada 1945. Pemakaian lipstik diharapkan mampu mengurangi tekanan pascapenderitaan yang mereka alami serta semangat untuk siap menyongsong hidup baru.
Namun, setiap zaman memiliki semangatnya. Penerimaan masyarakat terhadap lipstik tak selamanya mulus. Di masa Yunani kuno, seperti dikutip dari CNN, 12 Maret 2020, penggunaan pemerah bibir diidentikkan dengan pelacur. Ratu Victoria yang memerintah Inggris pada 1837-1901 juga tidak menggunakan lipstik. Demikian pula masyarakat Inggris era itu.
Di awal kemerdekaan AS hingga awal abad ke-20, penggunaan lipstik ditentang pemuka agama dan anggota legislatif pernah berusaha melarang pemakaiannya karena dianggap sembrono, jahat, dan tidak berjiwa Amerika alias terlalu mendorong nilai-nilai Perancis. Sementara pada 1970-an, penggiat feminisme modern gencar mengampanyekan bahwa pemakaian lipstik adalah bentuk penindasan patriarki.
BBC pun pernah melarang pembawa acara anak-anaknya untuk memakai lipstik merah atau pakaian yang provokatif. Upaya itu, seperti dikutip dari The Guardian, 30 Januari 2014, dilakukan untuk mencegah seksualisasi pada anak perempuan serta mencontohkan pada anak-anak yang sedang tertarik untuk membangun relasi agar memiliki relasi yang positif.
Naik turun sejarah lipstik di negara-negara yang menjunjung kebebasan dan kesetaraan itu dinilai Madeleine Marsh, penulis buku Compacts and Cosmetics (2014), dalam wawancaranya di Public Radio International yang dituliskan di The World, 22 Juni 2014, menunjukkan dalamnya simbolisme lipstik. Lipstik menjadi penanda tentang apa yang diharapkan masyarakat di masa itu terhadap perempuan.
”Lipstik sejatinya bukan untuk menarik perhatian laki-laki, melainkan tentang bagaimana perempuan memahami perasaannya dan membuat dirinya menarik,” katanya.
Sebagian perempuan menyukai lipstik yang berkilau, tetapi banyak pula perempuan lebih gemar warna merah yang redup. Sejumlah perempuan juga tidak percaya diri menggunakan warna lipstik merah menyala dan memilih warna merah yang lembut. Terlebih, saat ini sudah ada lebih dari 50 variasi warna merah.
Namun, terkadang pilihan itu bisa berubah saat dipadupadankan dengan riasan wajah, warna baju, serta kegiatan atau acara yang akan dihadiri. Meski demikian, banyak pula perempuan yang memilih tak menggunakan lipstik atau riasan wajah yang mencolok, termasuk saat menghadiri acara-acara resmi dan mereka tetap percaya diri.
Dengan makna positif dan negatif yang melekat pada lipstik, lantas seberapa penting bagi perempuan menggunakan lipstik, riasan wajah atau baju merah?
Wendy L Patrick di The Psychology Today, 24 September 2021, menegaskan, hubungan romantis yang langgeng membutuhkan banyak hal, lebih dari sekadar warna yang ditampilkan melalui riasan wajah ataupun pakaian. Perempuan berhak menggunakan lipstik merah atau baju merah dan tidak ada yang salah dengan pilihan tersebut agar terlihat lebih cantik dan menarik.
Namun, tekad dan upaya untuk terlihat menarik itu seharusnya tidak mengabaikan pentingnya membangun karakter, hati yang baik, kecocokan, hingga rasa kasih sayang dan bukan sekadar nafsu seksual. Kualitas kecantikan batin atau pribadi seseorang melekat lebih kuat dan lama dalam kepribadian, tidak mudah terhapus seperti lipstik merah atau dilepas seperti baju merah.