Senyumlah meski Bermasker
Pemakaian masker demi menghindari penularan Covid-19 membuat kita tak bisa melihat senyum indah semua orang. Padahal, senyum bukan hanya jadi alat komunikasi non-verbal, melainkan juga bisa menyejahterakan semua orang.
Hampir dua tahun terakhir, separuh wajah bagian bawah kita tak lagi bisa dilihat orang-orang yang tak tinggal serumah. Pemakaian masker demi menghindari penularan dan penyebaran Covid-19 membuat kita tak bisa melihat senyum indah semua orang. Padahal, senyum bukan hanya menjadi alat komunikasi non-verbal, melainkan juga bisa menyejahterakan semua orang.
Senyum adalah cerminan jiwa yang bahagia dan sejahtera. Senyum juga jadi simbol keramahan dan kehangatan hingga bisa mendekatkan interaksi sosial dan mengurangi ketegangan. Senyuman tulus, bukan palsu, mampu memberi rasa nyaman dan tidak terancam.
Senyuman juga punya daya tular yang kuat, memberi emosi positif, serta menebarkan kebahagiaan bagi sekitar. Menurut peneliti ekspresi wajah dan emosi dari Universitas Humboldt, Berlin, Jerman, seperti dikutip dari Scientific American, 1 Juni 2020, senyuman adalah salah satu perilaku mimikri sosial.
Artinya, jika seseorang tersenyum, orang yang melihatnya cenderung akan ikut tersenyum. Jika mereka yang melihat senyum itu tidak meniru perilaku tersebut, di antara orang yang tersenyum dan melihat senyuman itu akan merasa ada yang salah dalam interaksi mereka.
Ahli neurosains dan perilaku sosial, Taufiq Pasiak, yang kini menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, seperti dikutip Kompas, 3 Oktober 2020, mengatakan, proses meniru senyuman itu dipicu oleh neuron cermin (mirror neuron) yang ada di otak.
Di kala pandemi sekarang, senyuman menjadi sangat berarti. Senyuman yang menunjukkan kebahagiaan adalah salah satu pendorong imunitas tubuh guna menghalau berbagai penyakit. Hati yang tenang dan damai yang melahirkan senyuman juga bisa jadi pengurang rasa sakit dan penangkal berbagai masalah psikologis yang banyak muncul selama masa yang penuh ketidakpastian ini.
Peneliti ekspresi emosi dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Nida Ul Hasanat, menambahkan, meski senyum adalah cerminan emosi bahagia, kita bisa memanipulasi ekspresi wajah hingga seolah senantiasa tersenyum. Jika dilakukan berulang, tindakan ini diyakini bisa memicu emosi positif dan membuat bahagia.
Pentingnya senyuman di kala pandemi itu membuat peringatan Hari Senyum Dunia yang dirayakan tiap Jumat pertama bulan Oktober atau tahun ini jatuh pada 1 Oktober 2021 bisa dijadikan momentum untuk terus mengembangkan senyum meski hidung dan mulut kita terhalang masker.
Baca juga : Kurban Egoisme untuk Ketahanan Sosial
Ekspresi wajah
Memakai masker adalah bukti empati dan tanggung jawab kita secara sosial demi menjaga kesehatan dan keselamatan bersama. Saat kasus Covid-19 melandai seperti sekarang, kepatuhan sebagian orang unutk bermasker mengendur. Tidak praktis, sulit bernapas lega, atau lupa sering dijadikan alasan untuk menutupi keegoisan diri.
Namun, pemakaian masker membuat kemampuan manusia memahami ekspresi wajah berkurang, khususnya karena tidak terlihatnya ekspresi bibir. Padahal, kemampuan ini diperlukan untuk membangun relasi sosial.
”Sama seperti makan dan minum, kontak sosial juga penting untuk menjaga kelangsungan hidup,” kata profesor neurosains kognitif di Universitas Maastricht, Belanda, Bea de Gelder seperti dikutip The Washington Post, 12 Oktober 2020. Kontak sosial mampu meningkatkan kesehatan fisik dan mental, meningkatkan daya tahan tubuh, serta mengurangi stres.
Disadari atau tidak, lanjut profesor psikologi di Universitas Negeri Arizona, Amerika Serikat, Michelle Shiota, ”Saat kita tersenyum dan terhubung dengan orang lain, keterhubungan itu membuat kita merasa lebih baik, termasuk bagi mereka yang introvert,” katanya.
Penggunaan masker yang benar yang menutup mulai dari bawah mata hingga dagu memang mengurangi kemampuan kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, terutama saat bertemu orang yang jarang kita temui atau baru pertama kali kenal. Tidak terlihatnya bibir membuat orang lebih sulit membaca ekspresi wajah maupun gerakan mulut.
”Manusia memproses informasi paling baik ketika melihat seluruh wajah daripada hanya mengandalkan satu fitur tertentu di wajah secara terpisah, baik itu mulut, hidung, atau mata saja,” kata peneliti rekognisi emosi dan identitas wajah dari Universitas London, Inggris, Rebecca Brewer kepada The Guardian, 18 Juli 2020.
Kondisi itu berdampak pada interaksi sosial kita, terutama dalam memahami ekspresi emosi yang halus, seperti rasa geli. Ekspresi terkejut dan takut, menurut Hess, juga akan sulit dibedakan karena kedua emosi ini sama-sama ditunjukkan dengan melebarkan mata. Bedanya, saat terkejut orang hanya membuka mulut, sedangkan saat takut mulut menjadi lebih lebar.
Tertutupnya bagian bawah wajah juga membuat kita sulit memastikan apakah orang yang kita ajak berbicara bosan atau benar-benar tertarik dengan obrolan kita. Sementara orang dengan gangguan pendengaran, yang mengandalkan membaca gerakan bibir untuk memahami omongan orang, atau penderita autisme yang butuh melihat ekspresi wajah dipastikan akan jadi sulit berkomunikasi jika lawan bicara mereka bermasker.
Senyum tulus
Dalam komunikasi, setiap indera di wajah memiliki fungsi berbeda. Emosi marah akan terlihat lebih dominan di mata, sedangkan bahagia atau jijik lebih banyak ditunjukkan lewat mulut. Meski demikian, saat seseorang mengekspresikan emosinya melalui satu indera tertentu, maka indera yang lain akan bereaksi pula.
Orang yang tersenyum dengan tulus dari dalam hati atau disebut senyum Duchenne, maka ekspresi bahagia itu juga akan tecermin di mata. Senyum Duchenne yang dianggap sebagai standar emas senyuman ditemukan oleh ilmuwan Perancis, Guillaume Duchenne, pada abad ke-19 yang berhasil memetakan otot yang mengendalikan ekspresi wajah manusia.
Senyum Duchenne ditandai dengan bibir yang melebar dan ujung bibir sedikit naik karena di tarik oleh otot zigomatik mayor yang ada di ujung bibir hingga ujung mata. Sementara otot orbikularis okuli yang mengelilingi mata akan mengangkat pipi serta menurunkan kelopak mata hingga mata menyipit. Senyum Duchenne ini membuat seluruh wajah tampak cerah dan ceria.
Menurut Nida, tarikan otot zigomatik mayor itu akan memperlebar pembuluh darah hingga membuat asupan oksigen dalam tubuh, termasuk otak, jadi optimal. Kondisi ini akan mendinginkan temperatur otak sehingga menimbulkan rasa nyaman dan bahagia.
Tak hanya senyum Duchenne yang lebar, lanjut Shiota, senyum lembut pun bisa memberi dampak seperti senyum Duchenne asalkan senyum lembut itu diulang-ulang hingga memicu otot-otot di sekitar mata mengerut.
Dengan demikian, meski bermasker, seseorang yang tersenyum lebar dan tulus tetap akan terlihat dari mata mereka. Karena mata adalah jendela jiwa, senyum yang terlihat dari pancaran mata atau yang oleh model Tyra Banks disebut sebagai smizing tetap akan bisa dikenali orang lain.
Shiota mengatakan, manusia nyatanya juga pandai membaca mata. Saat bertemu seseorang, maka kita akan cenderung menatap matanya dan melihat pancaran senyum di matanya. Mata manusia telah berevolusi bukan hanya sebagai indera penglihatan, melainkan juga alat komunikasi nonverbal.
Gillian Sandstrom, psikolog dari Universitas Essex, Inggris, mengatakan, tatapan mata saja bisa meningkatkan kesejahteraan seseorang. Saat menatap mata seseorang, otak akan mengeluarkan oksitosin alias ”hormon cinta” yang akan bertambah jumlahnya seiring waktu hingga menimbulkan rasa bahagia.
Namun, garis mata yang menandakan seseorang tersenyum itu tidak akan terlihat jika orang tersebut tersenyum tidak dari hati alias senyum palsu. David Matsumoto, profesor psikologi di Universitas Negeri San Francisco, AS, seperti dikutip The New York Times, 23 Juni 2020, menyebut senyuman itu adalah senyuman sosial yang banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, diberikan kepada orang tak dikenal, atau dilakukan orang karena tuntutan pekerjaan.
Senyum sosial hanya melibatkan otot di ujung bibir, tetapi tidak mengikutkan otot di sekitar mata. Karena itu, orang yang tersenyum palsu dan tidak tulus juga akan terlihat dari tatapan matanya yang datar. Senyum tulus memang tidak bisa dipaksakan karena senyum yang membawa kebahagiaan hanya bisa muncul dari jiwa yang juga bahagia.
Selain tatapan mata, untuk mempemudah interaksi sosial selama bermasker juga bisa dilakukan dengan dukungan bahasa tubuh. Saat menyapa seseorang, selain memanggil dengan artikulasi dan intonasi yang jelas, lambaian tangan juga bisa digunakan. Leher dan bahu juga bisa digunakan untuk mengekspresikan emosi lainnya.
Baca juga : Tertawa Itu Sehat
Dengan demikian, memakai masker untuk mencegah penularan dan penyebaran Covid-19 seharusnya tidak menghalangi kita dalam menjalin kontak sosial, tersenyum dan membahagiakan orang lain. Masker bukanlah penghalang bagi kita untuk terus berinteraksi dan memanusiakan orang lain.