Hasil studi terbaru menunjukkan bahwa terlambat makan dapat meningkatkan risiko obesitas. Pola makan yang konsisten diperlukan untuk mencegah risiko ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Seseorang yang terlambat makan terbukti dapat menyebabkan peningkatan rasa lapar, mengurangi kalori terbakar, dan mengubah jaringan lemak. Semua kondisi tersebut pada akhirnya dapat meningkatkan risikoobesitas.
Demikian hasil studi yang dilakukan para peneliti dari Brigham and Women’s Hospital, Amerika Serikat. Laporan lengkap berjudul ”Late Isocaloric Eating Increases Hunger, Decreases Energy Expenditure, and Modifies Metabolic Pathways in Adults eith Overweight and Obesity” juga diterbitkan di jurnal Cell Metabolism, 4 Oktober 2022.
Direktur Program Kronobiologi Medis di Divisi Gangguan Tidur dan Sirkadian Brigham, Frank AJL Scheer, mengemukakan, studi ini dilakukan karena para peneliti ingin menguji mekanisme yang dapat menjelaskan terkait penyebab terlambat makan dalam meningkatkan risiko obesitas. Dalam riset sebelumnya, tim peneliti telah mengungkap keterkaitan ini, tetapi belum ditemukan penjelasan secara detail.
”Penelitian sebelumnya dari kami telah menunjukkan bahwa makan terlambat dikaitkan dengan peningkatan risiko obesitas, peningkatan lemak tubuh, dan keberhasilan penurunan berat badan yang terganggu. Dalam studi ini, kami ingin memahami mengapa hal ini bisa terjadi,” ujarnya dikutip dari situs resmi Brigham and Women’s Hospital, Kamis (6/10/2022).
Selain sebagai tindak lanjut penelitian sebelumnya, studi ini dilakukan karena obesitas telah menjadi salah satu persoalan kesehatan, terutama di Amerika Serikat dan negara lain. Data menunjukkan, obesitas menimpa sekitar 42 persen populasi orang dewasa AS dan berkontribusi pada timbulnya penyakit kronis, termasuk diabetes dan kanker.
Dalam studi ini, tim peneliti mempelajari 16 pasien dengan indeks massa tubuh (BMI) dalam kisaran kelebihan berat badan atau obesitas. Setelah itu, tiap peserta diminta menyelesaikan dua protokol laboratorium, yaitu makan dengan jadwal ketatdan menu yang sama. Setiap hari, waktu makan dilakukan setiap berselang 4 jam.
Dalam dua hingga tiga minggu terakhir sebelum memulai masing-masing protokol di laboratorium, peserta juga diminta mempertahankan jadwal tidur dan bangun yang tetap. Kemudian saat tiga hari terakhir sebelum memasuki laboratorium, mereka secara ketat mengikuti diet dan jadwal makan yang sama di rumah.
Di laboratorium, peserta secara teratur mendokumentasikan sejumlah hal, seperti rasa lapar dan nafsu makan, memberikan sampel darah kecil sepanjang hari, serta mengukur suhu tubuh dan pengeluaran energi. Dokumentasi ini diperlukan untuk mengukur bagaimana waktu makan memengaruhi jalur molekuler yang terlibat dalam adipogenesis.
Studi ini menunjukkan dampak terlambat makan dengan waktu makan cepat. Kami mengisolasi efek ini dengan mengontrol variabel pengganggu, seperti asupan kalori, aktivitas fisik, tidur, dan paparan cahaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa makan lebih lambat memiliki efek mendalam pada rasa lapar dengan hormon pengatur nafsu makan leptin dan ghrelin. Secara khusus, kadar hormon leptin, yang menandakan rasa kenyang, menurun selama 24 jam dalam kondisi makan terlambat dibandingkan dengan kondisi makan awal.
Selain itu, peserta yang terlambat makan membakar kalori pada tingkat lebih lambat. Hal ini menunjukkan ekspresi gen jaringan adiposa menuju peningkatan adipogenesis dan penurunan lipolisis yang mendorong pertumbuhan lemak. Secara khusus, temuan ini sekaligus menunjukkan mengenai mekanisme fisiologis dan molekuler konvergen yang berkolerasi antaraterlambat makanterhadap peningkatan risiko obesitas.
”Studi ini menunjukkan dampak terlambat makan denganwaktu makan cepat. Kami mengisolasi efek ini dengan mengontrol variabel pengganggu, seperti asupan kalori, aktivitas fisik, tidur, dan paparan cahaya. Akan tetapi, dalam kehidupan nyata, banyak dari faktor ini sendiri mungkin dipengaruhi oleh waktu makan,” kata Frank Scheer.
Pola makan konsisten
Nina Vujovic, penulis pertama studi ini, menjelaskan, seluruh tahapan tersebut bertujuan menjawab pertanyaan terkait pentingnya waktu dan pola makan secara konsisten. Peneliti menemukan, makan 4 jam kemudian membuat perbedaan yang signifikan untuk tingkat rasa lapar, cara membakar kalori setelah makan, dan cara menyimpan lemak.
Menurut Nina, temuan ini juga menjabarkan tentang risiko obesitas terhadap aktivitas makan yang dilakukan secara berulang dalam jangka waktu yang cepat. Para peneliti dapat mendeteksi perubahan sistem kontrol berbeda dalam keseimbangan energi. Hal ini merupakan penanda bagaimana tubuh seseorang menggunakan makanan yang dikonsumsi.
Dalam studi lanjutan ke depan, tim peneliti berencana melibatkan lebih banyak perempuan untuk meningkatkan generalisasi temuan mereka ke populasi yang lebih luas. Selain itu, peneliti tertarik untuk lebih memahami efek hubungan antara waktu makan dan waktu tidur pada keseimbangan energi.