Mengurangi Asupan Kalori Bisa Memperpanjang Kesehatan Lanjut Usia
Diet rendah kalori tidak hanya dapat menunda perkembangan penyakit metabolisme, tetapi juga memiliki efek positif pada sistem kekebalan tubuh dan memperpanjang rentang kesehatan manusia.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Aneka makan, minuman, dan camilan yang kerap dibeli di mal dan kedai kaki lima. Perlu diperhatikan besar kalori tiap makanan yang dianjurkan untuk dikomsumsi setiap hari agar dapat meminimalisir risiko penyakit akibat makan berlebihan.
JAKARTA, KOMPAS — Pengurangan asupan kalori telah terbukti meningkatkan kesehatan dan umur pada hewan laboratorium. Penelitian terbaru menunjukkan, pengurangan asupan kalori juga bisa bermanfaat untuk memperpanjang rentang kesehatan manusia.
Dalam sebuah studi baru yang dipublikasikan di jurnal Immunity edisi Agustus 2022, para peneliti dari Yale University menunjukkan, pembatasan kalori moderat pada manusia bisa mengurangi produksi protein yang disebut SPARC. Hal ini kemudian membantu mengendalikan peradangan berbahaya dan meningkatkan kesehatan di usia lanjut.
Studi yang dipimpin Vishwa Deep Dixit, profesor Patologi Waldemar Von Zedtwitz dan Direktur Yale Center for Research on Aging, merupakan studi lanjutan dari laporan yang diterbitkan awal tahun ini. Risetnya mengidentifikasi manfaat kesehatan utama dari pengurangan kalori sedang pada hewan laboratorium dan manusia.
Fakta bahwa organ ini dapat diremajakan, menurut saya, menakjubkan karena sangat sedikit bukti yang terjadi pada manusia.
Dalam studi baru ini, Dixit dan rekan penulisnya menganalisis lebih lanjut data dari uji klinis yang dikenal sebagai Penilaian Komprehensif Efek Jangka Panjang Pengurangan Asupan Energi (CALERIE). Dalam program ini, beberapa peserta penelitian diminta mengurangi asupan kalori mereka sebesar 14 persen selama dua tahun, sementara yang lain makan seperti biasa. Peneliti kemudian melacak efek kesehatan jangka panjang.
Secara khusus, Dixit dan rekan-rekannya menganalisis data percobaan untuk mengidentifikasi molekul yang bertanggung jawab atas efek positif dari pengurangan kalori dan dapat menjadi target untuk pengobatan terapeutik.
Grafis yang menggambarkan kaitan pengurangan asupan kalori untuk memperpanjang rentang kesehatan manusia.
Dengan mencari perubahan genetik pada jaringan lemak peserta setelah satu dan dua tahun, mereka menemukan peserta penelitian yang mengonsumsi lebih sedikit kalori telah mengurangi jumlah protein yang disebut SPARC. Protein ini disekresikan asam dan kaya sistein, yang telah dikaitkan dengan obesitas, diabetes, dan peradangan.
”Karena peradangan memainkan peran besar dalam penurunan kesehatan terkait usia, kami ingin lebih memahami apakah intervensi jangka panjang seperti pembatasan kalori bekerja melalui SPARC dalam mengendalikan peradangan dan respons kekebalan,” kata Dixit.
Untuk menggali lebih dalam kontribusi SPARC terhadap peradangan, para peneliti kemudian mempelajari efek protein pada sel kekebalan tikus dan kesehatan tikus. Mereka menemukan bahwa SPARC memicu peradangan dengan mengubah sel-sel kekebalan anti-inflamasi yang disebut makrofag menjadi keadaan pro-inflamasi.
Menurunkan produksi SPARC oleh sel-sel lemak pada tikus mengurangi peradangan, meningkatkan metabolisme, dan memperpanjang rentang kesehatan mereka seiring bertambahnya usia. Temuan ini dapat mengarah pada pencegahan penurunan terkait usia.
KOMPAS/KRISTI D UTAMI
Santri lanjut usia bersiap mengikuti upacara dalam rangka HUT Kemerdekaan Ke-77 RI di Pesantren Lansia IZI Roodhiyatam Mardiyyah, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (17/8/2022). Riset menunjukkan diet rendah kalori memiliki manfaat kesehatan yang baik bagi lansia.
”Kami sekarang memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana SPARC memengaruhi peradangan dan rentang kesehatan dengan bertindak pada makrofag. Dan itu mungkin menjadi target yang berguna untuk mendorong manfaat kesehatan dari pembatasan kalori tanpa harus benar-benar mengubah asupan kalori,” kata Dixit.
Dalam penelitian Dixit dan tim yang sebelumnya dipublikasikan di jurnal Science pada 10 Februari 2022, mereka mengidentifikasi protein kunci yang dapat dimanfaatkan untuk memperpanjang kesehatan manusia melalui pembatasan asupan kalori.
Untuk penelitian tersebut, tim peneliti menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) untuk menentukan perbedaan fungsional antara kelenjar timus dari mereka yang membatasi kalori dan mereka yang tidak. Mereka menemukan bahwa kelenjar timus pada peserta dengan asupan kalori terbatas memiliki lebih sedikit lemak dan volume fungsional yang lebih besar setelah dua tahun pembatasan kalori, yang berarti mereka memproduksi lebih banyak sel T daripada di awal penelitian. Tetapi, peserta yang tidak membatasi kalori mereka tidak mengalami perubahan volume fungsional.
”Fakta bahwa organ ini dapat diremajakan, menurut saya, menakjubkan karena sangat sedikit bukti yang terjadi pada manusia,” kata Dixit.
Dengan efek dramatis pada timus, Dixit dan rekan-rekannya berharap juga menemukan efek pada sel-sel kekebalan yang diproduksi timus, perubahan yang mungkin mendasari manfaat keseluruhan dari pembatasan kalori. Tetapi, ketika mereka mengurutkan gen dalam sel-sel itu, mereka menemukan tidak ada perubahan dalam ekspresi gen setelah dua tahun pembatasan kalori.
Pengamatan ini mengharuskan para peneliti untuk melihat lebih dekat, yang mengungkapkan temuan baru bahwa hal itu benar-benar terjadi di lingkungan mikro jaringan bukan sel T darah.
Perubahan mikrobioma usus
Diet rendah kalori tidak hanya dapat menunda perkembangan penyakit metabolisme, tetapi juga memiliki efek positif pada sistem kekebalan tubuh. Tim peneliti lainnya, dalam publikasi di jurnal Microbiome pada Maret 2022, menemukan bahwa diet rendah kalori juga mengubah mikrobioma usus dan berikutnya memperlambat kerusakan sistem kekebalan di usia tua (penuaan kekebalan).
Dalam penelitian ini, para peneliti menganalisis bagaimana diet sangat rendah kalori (800 kkal/hari selama delapan minggu) memengaruhi mikrobioma usus seorang wanita gemuk. Pada langkah selanjutnya, para peneliti mentransplantasikan mikrobiota usus sebelum dan sesudah intervensi diet ke tikus bebas kuman untuk membuat model tikus gnotobiotik.
”Dengan cara ini, kami dapat menentukan satu-satunya efek mikrobioma usus berbentuk diet pada metabolisme dan sistem kekebalan tubuh,” kata Reiner Jumpertz von Schwartzenberg, penulis terakhir studi dan ilmuwan di Institute of Diabetes Research and Metabolic, Universitas Tübingen, Jerman. Dia memimpin penelitian bersama dengan Hans-Dieter Volk dan Joachim Spranger dari Charité.
Dengan mentransplantasikan mikrobiota yang diubah pola makannya, metabolisme glukosa meningkat dan deposisi lemak menurun. Selain itu, sitometri massa menunjukkan bahwa tingkat memori spesifik sel T dan B juga berkurang. Temuan ini menunjukkan bahwa efek positif dari diet rendah kalori pada metabolisme dan sistem kekebalan tubuh dimediasi melalui mikrobioma usus.