Peringatan Dini Berbasis Komunitas Kunci Mengurangi Risiko Bencana
Jutaan penduduk Indonesia berada di zona bahaya dan sebagian besar tidak bisa direlokasi ke tempat aman. Sistem peringatan dini dan aksi cepat masyarakat menjadi kunci mengurangi jatuhnya korban.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki musim hujan 2022, masyarakat perlu mewaspadai ancaman bencana longsor. Sedikitnya 40 juta penduduk di Indonesia tinggal di daerah longsor yang secara sosial sulit direlokasi sehingga sistem peringatan dini longsor berbasis komunitas menjadi kunci untuk mengurangi risiko korban jiwa.
”Daerah rawan longsor di Indonesia sangat banyak dan sifatnya lokal. Sekitar 40 juta penduduk telanjur tinggal di daerah tersebut, tidak mungkin direlokasi semua,” kata Kepala Subkoordinator Gerakan Tanah Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Sumaryono dalam Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas XV, Kamis (6/9/2022).
Mengacu data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), setiap tahun rata-rata terjadi 1.000 bencana gerakan tanah dengan korban jiwa mencapai 100-150 orang. ”Untuk mengurangi risiko, yang bisa dilakukan adalah mengembangkan sistem peringatan dini longsor sehingga masyarakat di daerah rawan tanah longsor lebih siap,” katanya.
Komponen peralatan peringatan dini longsor yang canggih hingga saat ini masih impor. Di sisi lain, daerah rentan longsor ini umumnya berada di derah terpencil sehingga jika ada kerusakan perawatannya tidak mudah.
Menurut Sumaryono, Badan Geologi dan BNPB telah memasang alat peringatan dini longsor di sejumlah daerah sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI). Namun, secara teknis, standar ini masih belum ada informasi ambang batas curah hujan, salah satunya karena sifat ancaman longsor sangat lokal.
”Beda kelerengan bisa berbeda ambangnya. Hal ini membuat pemasangan alat menjadi tidak mudah,” katanya.
Sumaryono menambahkan, peralatan peringatan dini di Indonesia sejauh ini masih terfokus dengan gerakan tanah yang dipicu curah hujan dan deformasi. Sementara bencana longsor yang terjadi akibat aliran material di bagian hulu, yang biasanya terjadi di aliran sungai, masih belum diatur dalam SNI.
Padahal, longsor tipe ini, menurut Sumaryono, bisa memicu korban sangat banyak. Untuk mencegah longsor akibat aliran bahan rombakan atau banjir bandang ini, di antaranya, dengan membangun sabo dam atau dam.
”Di beberapa daerah, seperti Bawakaraeng (Makassar), masyarakatnya sangat aktif memantau aliran Sungai Jeneberang karena mereka punya pengalaman pernah mengalami bencana di masa lalu dengan teknologi sederhana memanfaatkan kentongan dan HT (handy talky) untuk saling menginformasikan ketika terjadi perubahan aliran sungai,” katanya.
Sumaryono mengatakan, apa yang dilakukan masyarakat di Bawakaraeng bisa menjadi contoh partisipasi masyarakat dalam mengurangi ancaman bencana. ”Keterpaduan teknis dan sosial sangat dibutuhkan untuk mengurangi risiko,” kataya.
Untuk memperkuat kemampuan komunitas ini, menurut Sumaryono, Badan Geologi berencana membagikan alat penakar curah hujan dan pemantauan gerakan tanah secara sederhana. ”Bisa menggunakan tali atau bambu jika ada pergerakan berapa meter bisa dicatat. Harapannya dengan pemantauan ini, ambangnya bisa diketahui sehingga jika ada fenomena yang melebihi ambang ini masyarakat bisa waspada,” katanya.
Sumaryono menambahkan, komponen peralatan peringatan dini longsor yang canggih, hingga saat ini masih impor. Di sisi lain, daerah rentan longsor ini umumnya berada di derah terpencil, sehingga jika ada kerusakan perawatannya tidak mudah. Maka, peralatan peringatan dini longsor yang sederhana dan bisa dioperasionalkan sendiri oleh masyarakat dinilai lebih sesuai.
Peran komunitas
Direktur Peringatan Dini BNPB Afrial Rosya mengatakan, lebih dari 200 juta penduduk Indonesia berada di kawasan rentan bencana. ”Sesuai Undang-Undang 24 Tahun 2007, salah satu cara untuk mencegah bencana adalah sistem peringatan dini. Dua lainnya adalah mitigasi dan kesiapsiagaan,” katanya.
Menurut Rosya, di dalam sistem peringatan dini bencana ini ada dua komponen, yaitu struktur dan kultur atau komunitas. Namun, saat ini ada perubahan cara pikir, yaitu dari peringatan dini menjadi aksi dini.
”Dalam pemahaman saya, aksi dini, termasuk kesiapsiagaan dan respons cepat masyarakat yang perlu lebih ditingkatkan. Jadi tidak perlu lagi menunggu peringatan dini, tapi begitu ada kejadian masyarakat bisa merespons secara cepat,” katanya.
Anggota Pengawas Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) Kharisma Nugroho mengatakan, aspek teknis dan teknologi dalam sistem peringatan dini untuk mengatasi bahaya maupun risiko bencana tidak cukup. ”Penerimaan dan otoritas masyarakat menjadi unsur yang justru sangat penting,” ujarnya.
Dalam diskusi ini, sejumlah anggota komunitas di berbagai daerah juga menyampaikan pengalaman mereka mengurangi risiko bencana dengan berbasis pengetahuan lokal. Misalnya, Intan Maslida dari Komunitas Rumpun Simoloel Bersatu menyampaikan tentang pengetahuan lokal tentang smong, bahasa Simeulue yang berarti tsunami, yang menyelamatkan masyarakat Pulau Simeulue, Aceh saat tsunami pada 26 Desember 2004.
”Kenapa di Simuelue korban tsunami 2004 sangat sedikit karena masyarakat tahu untuk segera menjauh dari pantai begitu ada gempa. Ini karena pengetahuan tentang smong diceritakan secara turun-temurun melalui seni tutur nandong dan nanga-nanga (nyanyian untuk menidurkan anak),” katanya.