Pemasungan Tidak Mengatasi Gangguan Kesehatan Jiwa
Stigma negatif masih melekat pada orang dengan gangguan kesehatan jiwa. Hal ini memicu pemasungan yang justru memperburuk kondisi yang bersangkutan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS – Sejumlah orang dengan gangguan kesehatan jiwa masih dipasung kendati hal ini dilarang karena melanggar hak asasi manusia. Padahal, orang dengan gangguan kesehatan jiwa dapat pulih dengan penanganan medis yang tepat, bukan dengan pemasungan yang justru akan memperburuk kondisi.
”Masih banyak yang mengalami gangguan jiwa lalu dipasung. Ini tidak memperbaiki kondisi yang bersangkutan, malah memperburuk karena akan berakibat pada gangguan kesehatan yang lain. Kami ingin menyampaikan bahwa kondisi ini bisa disembuhkan,” kata Menteri Sosial Tri Rismaharini menjelang peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) di Bekasi, Kamis (6/10/2022). HKJS diperingati setiap tanggal 10 Oktober.
Pemasungan umumnya terjadi karena masyarakat tidak paham bagaimana menangani orang dengan gangguan kesehatan jiwa. Selain itu, orang dengan gangguan kesehatan jiwa juga masih mendapat stigma negatif dari masyarakat.
Pada 2021, Kemensos membebaskan sekitar 4.700 orang yang dipasung. Sementara tahun ini ada 56 orang yang dibebaskan dari pasung. Pemerintah menargetkan Indonesia Bebas Pasung pada 2019. Target ini pernah ditetapkan pada 2014, tetapi tidak tercapai.
Menurut Risma, pemasungan kadang disembunyikan pihak keluarga sehingga tidak terdata Kemensos. Pembebasan orang yang dipasung akan terus dilakukan. Ia juga meminta agar keluarga atau masyarakat segera melapor ke pemerintah daerah jika ada penyandang disabilitas mental yang butuh bantuan. Laporan bisa disampaikan ke Command Center Kemensos di nomor 171.
”Jika tidak mampu melakukan pengobatan, silakan datang ke pemerintah. Kami akan bantu uruskan BPJS-nya,” kata Risma.
Masih banyak yang mengalami gangguan jiwa lalu dipasung. Ini tidak memperbaiki kondisi yang bersangkutan, malah memperburuk karena akan berakibat pada gangguan kesehatan yang lain.
Penanganan medis
Laporan itu diharapkan membuat orang dengan gangguan kesehatan jiwa bisa segera mendapat penanganan medis. Anggota Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), Agus Sugianto, mengatakan, dirinya pernah dipasung di sebuah puskesmas di Jawa Timur pada 1999. Sebelumnya, ia mengalami depresi dan akhirnya didiagnosis mengalami skizofrenia lantas didiagnosis mengalami bipolar.
Ia pulih setelah rutin berobat, melibatkan diri di kegiatan komunitas, serta mendapat dukungan dari keluarga dan komunitas. Ia bahkan berhasil menyelesaikan studi pascasarjana di Australia dan lulus pada 2021.
”Berobat ke psikiater itu tidak apa-apa. Minum obat untuk pulih itu tidak apa-apa. Buktinya saya bisa pulih. Selain itu, dukungan keluarga sangat penting. Keluarga juga mesti diedukasi bahwa orang yang mengalami masalah kejiwaan butuh dukungan dan perlu dimanusiakan,” kata Agus.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, proporsi rumah tangga yang memiliki anggota dengan gangguan jiwa berat sebesar 7 persen. Dari jumlah ini, cakupan pengobatan bagi orang dengan gangguan jiwa berat tergolong rendah, ada sekitar 15 persen orang yang tidak berobat.
Dari 85 persen orang yang berobat, 51 persen di antaranya tidak rutin minum obat. Alasannya, antara lain, tidak mampu membeli obat secara rutin, merasa sudah sehat, dan merasa dosis obat tidak sesuai.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Pepen Nazaruddin menambahkan, pemerintah memberi bantuan Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi) senilai Rp 1,85 miliar kepada 2.032 orang. Rincian bantuan yang diberi berupa perekaman identitas terhadap 420 orang, vaksinasi Covid-19 untuk 402 orang, pemeriksaan kesehatan fisik dan psikiatri kepada 748 orang, serta pengembalian 431 orang dengan gangguan kesehatan jiwa ke keluarganya.