Paparan gas air mata dalam jangka waktu lama dengan dosis yang tinggi dapat berakibat fatal, terutama jika terjadi di dalam ruangan tertutup. Selain sesak napas, seseorang bisa berisiko mengalami henti napas.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gas air mata sebagai pengendali kerusuhan perlu digunakan secara bijaksana. Pasalnya, paparan gas air mata yang berlangsung lama dengan jumlah yang tinggi dapat berakibat fatal seperti sesak napas hingga meninggal.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto, ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (2/10/2022), menuturkan, sebagian besar komponen pada gas air mata merupakan gas iritan yang dapat menyebabkan peradangan pada jaringan tubuh, Jika gas air mata terhirup secara terus-menerus dan masuk ke dalam paru, itu akan menyebabkan gangguan pertukaran oksigen dalam tubuh sehingga dapat merusak jaringan paru secara akut.
”Konsep dasar pada semua gas iritan apabila terhirup dalam konsentrasi besar itu akan menyebabkan kerusakan pada paru karena iritasi dari bahan kimia. Akibatnya, bisa fatal hingga kematian,” katanya.
Agus menyampaikan, keluhan yang umum terjadi jika terpapar gas air mata, yakni mata merah dan perih. Pada beberapa kasus dikeluhkan pandangan kabur. Sementara jika gas air mata sampai terhirup, dampaknya bisa menyebabkan iritasi pada saluran napas yang ditandai dengan hidung berair dan tenggorokan terasa panas.
Semua gas iritan apabila terhirup dalam konsentrasi besar itu akan menyebabkan kerusakan pada paru karena iritasi dari bahan kimia. Akibatnya, bisa fatal hingga kematian. (Agus Dwi Susanto)
Dampak lebih lanjut akan menyebabkan batuk serta terasa tercekik. Pada kondisi berat dapat mengalami sesak napas. ”Karena itu harus segera menghindar. Jika lebih dari 20 menit terpapar gas air mata dampaknya bisa bahaya yang dapat berlanjut pada kondisi gagal napas,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Tjandra Yoga Aditama menyampaikan, paparan gas air mata akan makin berat dirasakan pada orang dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Paparan gas air mata dapat menyebabkan serangan sesak napas akut yang bisa berujung pada gagal napas.
Selain itu, pada keadaan tertentu paparan gas air mata dapat menyebabkan dampak kronik berkepanjangan. ”Dampak ini terutama kalau paparan berkepanjangan dengan dosis tinggi dan apalagi di ruangan tertutup,” ujarnya.
Efek parah
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menjelaskan, efek dari paparan gas air mata atau yang juga disebut agen pengendali kerusuhan (riot control agents) bisa terjadi hanya dalam beberapa detik setelah terpapar. Efek tersebut seperti iritasi pada mata, kulit, dan hidung. Namun, dampak dari paparan tersebut biasanya hanya sebentar sekitar 15-30 menit setelah orang yang terpapar dipindahkan dari sumbernya dan membersihkan diri.
Akan tetapi, apabila paparan terjadi dalam jangka panjang dengan dosis besar, terutama di tempat tertutup bisa menimbulkan efek parah, seperti kebutaan, kematian karena luka bakar kimia di tenggorokan dan paru-paru, serta kematian akibat gagal napas. Pada orang yang terpapar gas air mata dalam jangka panjang juga bisa mengalami efek kesehatan yang berkelanjutan, seperti glaukoma, katarak, dan asma.
Oleh sebab itu, seseorang harus segera menghindari area yang menjadi sumber dari paparan gas air mata. Pakaian yang terpapar gas air mata pun mesti segera dilepas. Pertolongan medis pun perlu segera diberikan, khususnya jika efek dari paparan gas air mata masih dirasakan dalam jangka waktu lama.
Terkait dengan tragedi Kanjuruhan, Agus menyampaikan, analisis lebih lanjut perlu dilakukan untuk memastikan penyebab kematian dari para korban dari insiden tersebut. Ada kemungkinan lain yang jadi penyebab kematian tersebut selain karena paparan gas air mata. Kondisi yang amat padat juga dapat membuat seseorang kesulitan bernapas. Risiko pingsan pun bisa terjadi. Pada kondisi lemas juga rentan membuat seseorang terinjak dan terhimpit dalam kerumunan.
“Kejadian ini juga perlu menjadi pembelajaran akan pentingnya persiapan medis yang baik untuk kondisi pengumpulan massa berskala besar, seperti pertandingan, konser, atau kegiatan lainnya. Fasilitas kesehatan harus dipersiapkan betul untuk menghadapi kondisi kegawatdaruratan sehingga tidak ada korban,” tutur Agus.
Merujuk pada laporan Kementerian Kesehatan per 2 Oktober 2022 pukul 14.53, korban meninggal yang dilaporkan dari tragedi Kanjuruhan sebanyak 131 orang. Sementara itu, sebanyak 253 orang mengalami luka ringan dan 31 orang mengalami luka berat. Korban luka untuk sementara sudah ditangani di rumah sakit dan puskesmas setempat.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, pemantauan terus dilakukan pada korban yang masih dirawat di fasilitas kesehatan. Kebutuhan obat dan tenaga kesehatan juga dipastikan tersedia. Ia pun memastikan semua biaya perawatan ditanggung oleh pemerintah.
Meski begitu, sejumlah kendala ditemui dalam penanganan korban, baik korban meninggal maupun korban luka. “Terdapat kendala dalam identifikasi jenazah karena ada korban yang tidak beridentitas. Sementara ini, pengumpulan data masih dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Malang dan Dinas Kesehatan Kota Malang,” katanya.