Gas air mata menjadi sumber petaka di tragedi Kanjuruhan. FIFA telah melarang penggunaannya karena sejarah mencatat gas air mata memberikan dampak buruk pada penanganan suporter sepak bola.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
”Sejarah mengulang dirinya sendiri” adalah sebuah frasa yang cocok menggambarkan penyebab utama hadirnya ratusan korban jiwa pada tragedi Kanjuruhan seusai laga pekan ke-11 BRI Liga 1 2022-2023 antara Arema FC versus Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) malam, di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Penggunaan gas air mata untuk membubarkan suporter Arema yang ricuh di akhir pertandingan mengakibatkan ratusan orang sesak napas sehingga menyebabkan mereka meninggal. Gas air mata itu tidak hanya diarahkan untuk membubarkan massa pendukung Arema yang menginvasi lapangan, tetapi juga ke arah tribune penonton, utamanya sisi utara dan selatan stadion.
Hasilnya, ribuan pendukung menjadi panik di tribune Kanjuruhan. Mereka mengalami sesak napas dan masalah di mata setelah terkena efek gas air mata.
Fatalnya lagi, situasi mencekam itu diperparah karena keharusan ribuan orang berdesakan untuk keluar stadion karena pintu keluar yang sangat terbatas. Hal itu mengakibatkan korban jiwa yang disebabkan sesak napas hingga terinjak karena pengaruh efek gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan.
Merujuk Pasal 19 poin (b) Regulasi Keselamatan dan Keamanan Stadion FIFA, penggunaan gas air mata diharamkan di dalam stadion pada sebuah laga sepak bola. ”Tidak ada senjata api atau ’gas pengendali massa’ yang boleh dibawa atau digunakan (petugas keamanan/polisi),” tulis aturan itu.
Oleh karena itu, koordinator Save Our Soccer, Akmal Marhali, menilai, aparat keamanan yang bertugas di Kanjuruhan telah melanggar aturan FIFA itu. Alhasil, kekeliruan penanganan massa yang dilakukan aparat menjadi penyebab utama korban jiwa berjatuhan.
”Telah terjadi pelangaran regulasi FIFA. Massa yang tidak mengantisipasi gas air mata menjadi panik dan mengalami sesak napas. Ini sangat ironis karena senjata api dan gas air mata jelas-jelas sudah dilarang di stadion,” ujar Akmal, Minggu (2/10/2022).
Adapun penggunaan gas air mata yang dilakukan aparat kepolisian menunjukkan mereka menjalankan prosedur tentang penanganan peristiwa anarki. Itu tertuang dalam Prosedur Tetap Kepala Polri Nomor: PROTAP/1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki.
Dalam protap itu, personel Polri diizinkan menghadapi gangguan nyata untuk menghentikan situasi anarki dengan kendali tangan kosong keras serta kendali senjata tumpul atau senjata kimia, antara lain gas air mata.
Peraturan teknis penggunaan gas air mata untuk mengendalikan huru-hara diatur pula pada Peraturan Kepala Polri Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru-Hara. Dalam aturan itu, penembakan gas air mata dilakukan ketika massa tidak menghiraukan imbauan aparat atau peristiwa semakin memuncak.
”Kami mendesak Kepala Polri melakukan evaluasi secara tegas atas tragedi ini. Polri dan TNI harus memeriksa dugaan pelanggaran profesionalisme dan kinerja anggota yang bertugas pada peristiwa itu,” kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur.
Telah terjadi pelangaran regulasi FIFA. Massa yang tidak mengantisipasi gas air mata menjadi panik dan mengalami sesak napas. Ini sangat ironis karena senjata api dan gas air mata jelas-jelas sudah dilarang di stadion.
Berdasarkan pemantauan Kompas selama ini, gas air mata selalu disiapkan aparat keamanan pada laga-laga ”panas” Liga 1. Sebaliknya, pada laga tim nasional Indonesia atau klub Indonesia di kancah Piala AFC, aparat kepolisian lebih patuh pada regulasi FIFA karena tidak pernah terlihat membawa gas air mata ketika mengamankan pertandingan internasional.
Sebagai contoh, pada laga derbi Nusantara antara Indonesia versus Malaysia, 5 September 2019, aparat kepolisian tidak menggunakan gas air mata ketika ada pendukung tim ”Garuda” masuk ke dalam lapangan kala Indonesia tertinggal 2-3 dari Malaysia. Namun, gas air mata tetap digunakan aparat kepolisian untuk membubarkan massa di luar Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, ketika itu.
Tragedi terburuk
FIFA tentu punya pertimbangan besar untuk melarang hadirnya gas air mata. Bahkan, ketika pendemo yang melakukan protes di Brasil bertindak vandalisme pada ajang Piala Konfederasi 2013, FIFA menegaskan akan menghentikan pertandingan jika asap gas air mata masuk ke dalam stadion.
Alasan utama FIFA melarang gas air mata didasari pengalaman panjang dalam mengamati beberapa tragedi terbesar di dunia sepak bola. Dua tragedi terbesar sebelumnya yang tercipta di laga sepak bola juga disebabkan keputusan aparat keamanan untuk menembakkan gas air mata kepada massa pendukung yang ricuh di dalam stadion.
Dua tragedi itu ialah Tragedi Stadion Nasional Lima di Peru (1964) dan Tragedi Accra di Ghana (2001). Tragedi itu masing-masing menyebabkan 318 dan 126 korban jiwa. Di luar itu, ada pula ratusan orang lainnya mengalami cedera atau luka-luka.
Pada dua tragedi terbesar di dunia sepak bola itu, aparat keamanan menembakkan gas air mata dalam jumlah banyak sehingga stadion dipenuhi asap putih. Hal itu menyebabkan puluhan ribu orang panik lalu mengalami sesak napas dan terinjak-injak ketika mencari pintu keluar stadion.
Akibat peristiwa itu, otoritas Peru mengurangi kapasitas stadion utama mereka dari 53.000 menjadi 42.000 orang. Adapun tragedi di Ghana menyebabkan kompetisi dihentikan selama satu bulan.
Untuk Tragedi Kanjuruhan yang didasari kekalahan Arema dari Persebaya pada derbi Jawa Timur, PSSI dan PT Liga Indonesia Baru memutuskan untuk menghentikan kompetisi selama satu pekan. Selain itu, Ketua Komisi Disiplin PSSI Erwin Tobing mengungkapkan, pihaknya akan melakukan investigasi dengan memulai penyelidikan kepada panitia pelaksana (panpel) pertandingan Arema.
”Selain memberikan hukuman kepada Arema yang tidak bisa menjalani laga kandang di sisa musim ini, kami akan menjatuhi hukuman kepada pihak-pihak terkait lainnya. Kami juga mendukung penyelidikan (pidana) yang dilakukan kepolisian,” kata Erwin.
Salah satu hal yang berpotensi memberatkan panpel Arema adalah kelalaian dalam mengatur jumlah suporter pada laga derbi Jatim itu. Menurut data PT Liga Indonesia Baru, pendukung Arema yang menyaksikan langsung derbi Jatim itu berjumlah 42.588 orang. Jumlah itu mencapai 102 persen dari total kapasitas Stadion Kanjuruhan.
Hal itu bisa menyebabkan pihak yang bertanggung jawab pada laga Arema versus Persebaya berpotensi dikenakan Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kealpaan yang menyebabkan orang lain meninggal.
Hukuman maksimal dari pasal itu ialah 5 tahun pidana penjara.
Yang pasti, penanganan aparat keamanan yang menggunakan gas air mata di Kanjuruhan mengulang sejarah kelam sepak bola yang pernah terjadi di Peru dan Ghana. Tragedi Kanjuruhan menjadi bencana terbesar bagi sepak bola Indonesia.