Banyaknya korban meninggal dalam tragedi Kanjuruhan diduga terjadi akibat sesak napas dari paparan gas air mata. Hasil studi menunjukkan, terdapat efek jangka panjang dari paparan gas air mata, seperti cacat permanen.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Lebih dari 180 suporter sepak bola dinyatakan meninggal seusai terjadi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/10/2022) malam. Berdasarkan informasi sementara, banyaknya suporter yang meninggal diduga akibat sesak napas dan terinjak saat keluar dari stadion setelah tribun penonton dipenuhi gas air mata yang ditembakkan polisi.
Informasi sementara terkait dugaan meninggalnya suporter tersebut disampaikan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Nico Afinta saat memberikan keterangan pers di Malang, Minggu. Menurut Nico, besarnya jumlah korban yang meninggal terjadi akibat penumpukan massa, khususnya di pintu gerbang masuk stadion, hingga menyebabkan sesak napas karena kehabisan oksigen.
Informasi tersebut juga ditegaskan kembali oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Dalam keterangannya, Mahfud menegaskan bahwa tragedi di Stadion Kanjuruhan bukan akibat bentrokan suporter Persebaya Surabaya dengan Arema Malang.
Gas air mata memang kerap digunakan polisi untuk mengendalikan hingga membubarkan kerusuhan. Senyawa yang terdapat dalam gas air mata ini juga sangat efektif memukul mundur para perusuh karena akan menyebabkan beberapa organ tubuh kesakitan apabila terhirup.
Tragedi Kanjuruhan telah membuktikan bahwa gas air mata merupakan alat yang bisa mengendalikan sekaligus mematikan jika digunakan sembarangan tanpa melihat situasi ataupun kondisi di lapangan.
Dari beberapa pengalaman langsung Kompas saat meliput kerusuhan, gas air mata yang dilepaskan polisi menyebabkan sejumlah reaksi pada tubuh. Reaksi paling umum yang dirasakan adalah mata menjadi perih dan berair. Menghirup gas air mata dalam jumlah banyak bahkan bisa menyebabkan sesak napas.
Merujuk penjelasan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), gas air mata (tears gas) juga dikenal sebagai riot control agents atau alat pengendali kerusuhan. Ini merupakan senyawa kimia yang bertujuan untuk membuat beberapa organ tidak berfungsi dengan menyebabkan iritasi pada mata, mulut, tenggorokan, paru-paru, dan kulit.
Melansir Annals of the New York Academy of Sciences, gas air mata pertama kali ditemukan oleh dua ilmuwan Amerika pada 1928 dan awalnya dikembangkan sebagai senjata kimia untuk penggunaan militer. Namun, senjata kimia ini sekarang telah dilarang dalam peperangan. Setelah itu, pada 1959, Angkatan Darat AS mengadopsi gas air mata untuk mengendalikan kerusuhan.
Beberapa senyawa yang umum digunakan untuk gas air mata ialah kloroasetofenon (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), kloropikrin (PS), bromobenzilsianida (CA), dan dibenzoxazepine (CR). Terdapat juga gas air mata yang dibuat dengan beberapa kombinasi bahan kimia berbeda.
Selain senyawa yang umum digunakan untuk kerusuhan skala besar, terdapat pula jenis gas air mata untuk pengendalian diri. Jenis tersebut di antaranya oleoresin capsicum (semprotan merica), dibenzoxazepine (gas CR), dan chloroacetophenone (gas CN). Semua jenis tersebut umumnya menyebabkan iritasi mata ringan.
Menurut CDC, efek gas air mata akan bekerja ketika terhirup oleh seseorang. Oleh karena itu, hal terpenting saat terpapar gas air mata ialah menjauh dari area kerumunan dan mencari udara segar. Pakaian yang terpapar gas air mata juga perlu segera dilepas dan dicuci agar bahan kimia yang melekat tidak terus terhirup.
Tingkat keparahan
Selama ini, kebanyakan orang memang dapat pulih dari paparan gas air mata tanpa gejala yang signifikan. Namun, sebuah studi yang dilakukan peneliti di University of California San Francisco menemukan satu dari 15 kemungkinan adanya gejala parah setelah paparan gas air mata. Hal ini terungkap setelah peneliti menganalisis 4.544 kasus semprotan merica.
Hasil studi lain yang telah diterbitkan di jurnal BMC Public Health, Oktober 2017, juga menunjukkan adanya efek jangka panjang dari paparan gas air mata. Berdasarkan data yang dikumpulkan selama 25 tahun, peneliti mengungkap bahwa efek gas air mata pada tubuh menyebabkan cedera parah, cacat permanen, dan kematian.
Dalam penelitian ini, disebutkan dua orang meninggal dan 58 orang melaporkan cacat atau gangguan kesehatan permanen setelah terpapar gas air mata. Kecacatan dan gangguan kesehatan permanen itu, antara lain, berupa kebutaan, kerusakan otak, masalah pernapasan, efek kesehatan mental, hingga kehilangan beberapa kemampuan anggota tubuh.
Sementara hasil penelitian dari University of Minnesota, AS, yang terbit di jurnal Inhalation Toxicology, September 2021, menyebut bahwa laporan yang ada saat ini tidak secara akurat merekapitulasi keadaan paparan gas air mata pada manusia.
”Selama ini terdapat laporan bahwa penderita asma mengalami gejala dada yang lebih parah setelah terpapar gas air mata. Bahkan, ada laporan kematian akibat kombinasi asma dan paparan gas air mata. Gejala-gejala tersebut muncul setelah paparan sehingga kerap tidak tercatat di laporan,” kata Jennifer Brown, penulis utama studi tersebut sekaligus peneliti ilmu saraf, dikutip dari situs resmi University of Minnesota Medical School.
Jennifer pun menekankan agar semua pihak terus meningkatkan kesadaran tentang masalah terkait dampak paparan gas air mata ini. Berbagai kajian juga perlu dilakukan agar memberikan bukti konkret sekaligus membuat pengawasan yang lebih baik pada penggunaan dan pembuatan senjata kimia ini.
Mengingat efeknya yang cukup berbahaya bagi tubuh, sudah sepatutnya penggunaan gas air mata oleh aparat keamanan benar-benar dilakukan sesuai prosedur. Tragedi Kanjuruhan telah membuktikan bahwa gas air mata merupakan alat yang bisa mengendalikan sekaligus mematikan jika digunakan sembarangan tanpa melihat situasi ataupun kondisi di lapangan.