Sistem Penginderaan Jauh Perkuat Pemantauan Kebakaran Hutan
Penggunaan teknologi penginderaan jauh masih sangat terbatas sekitar 30 tahun lalu. Namun, dalam satu dekade terakhir, penginderaan jauh semakin berkembang dengan beragam kegunaan, termasuk memetakan karhutla.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Peneliti dan teknisi mengawasi tampilan data penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), di Jakarta, Kamis (25/7/2013).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menggunakan sistem penginderaan jauh didukung dengan teknologi satelit sejak 30 tahun lalu untuk berbagai keperluan, termasuk memantau kebakaran hutan dan lahan. Kini, teknologi tersebut kian mutakhir dan jadi andalan untuk memperkuat pemantauan kebakaran hutan.
Kepala Subdirektorat Penanggulangan Karhutla Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Israr Albar mengatakan, penggunaan teknologi penginderaan jauh masih sangat terbatas sekitar 30 tahun lalu. Namun, dalam satu dekade terakhir, penginderaan jauh berkembang dengan beragam kegunaan, termasuk memetakan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
”Sekitar tahun 1990-an, satu-satunya hal yang sangat susah adalah mendapat data terkait burn area (area terbakar). Saat itu, data yang didapat hanya catatan berupa surat yang disampaikan daerah jika ingin melihat burn area dan ini sangat bias,” ujarnya dalam diskusi daring tentang penggunaan penginderaan jauh untuk karhutla di Jakarta, Jumat (30/9/2022).
Pemantauan titik api untuk karhutla di Indonesia selama ini menggunakan sejumlah teknologi satelit. Pada 1996, Indonesia mulai menggunakan satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) milik Amerika Serikat untuk prakiraan cuaca.
Selanjutnya pada 2004, penguatan dengan satelit Terra-Aqua dilakukan, dilanjutkan dengan penggunaan Suomi National Polar-orbiting Partneship (Suomi NPP) pada 2015 sampai saat ini. Satelit lainnya yang juga digunakan untuk pemantauan titik panas adalah Landsat dan Himawari dengan resoluasi spasial mencapai 2 kilometer persegi.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Warga memanfaatkan aplikasi (Sistem Pemantauan Bumi Nasional Berbasis Android (Siapndora) di Jakarta, Kamis (31/1/2019). Aplikasi Sipandora yang diluncurkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) kini bisa dinikmati masyarakat.
”Penggunaan satelit Sentinel juga dapat merekam dengan baik bagaimana kejadian kebakaran di Jambi pada September 2019. Citra dari satelit kemudian disandingkan dengan kebakaran yang diambil dari tingkat tapak,” kata Israr.
Selain untuk pemantauan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengembangkan aplikasi Spartan sebagai prakiraan terjadinya karhutla. Aplikasi tersebut berguna untuk memprediksi karhutla pada tiga hingga enam bulan ke depan.
Sementara terkait hasil pemantauan karhutla selama beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan penurunan deteksi api setelah karhutla besar tahun 2019. Namun, penurunan yang terjadi selama tiga tahun terakhir ini tidak terlepas dari adanya kemarau basah yang membuat intensitas hujan masih tinggi.
Penggunaan satelit Sentinel dapat merekam dengan baik bagaimana kejadian kebakaran di Jambi pada September 2019. Citra dari satelit kemudian disandingkan dengan kebakaran yang diambil dari tingkat tapak.
Meski sistem penginderaan jauh dan teknologi terbaru semakin mutakhir, Israr menekankan bahwa upaya terbaik mengatasi karhutla ialah dengan meningkatkan kegiatan pencegahan. Selain efektif mencegah karhutla, biaya untuk upaya pencegahan juga lebih terjangkau dibandingkan dengan penanganan atau pemadaman.
”Upaya pencegahan tetap lebih dibandingkan dengan pemadaman. Upaya pencegahan tahun 2018 di Sumatera Selatan membutuhkan Rp 1 triliun. Kemudian pada 2019, kita memerlukan Rp 3,5 triliun hanya untuk pemadaman dan total kerugian mencapai Rp 75 triliun,” ucapnya.
Dihasilkan ”real time”
Peneliti Pusat Riset Penginderaan Jauh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Indrajad mengutarakan, para peneliti BRIN juga memantau titik panas penyebab karhutla dengan berbagai citra satelit. Bahkan, informasi titik panas ini dihasilkan secara langsung (real time) dengan interval waktu 30 menit setelah data diakuisisi oleh satelit.
SHARON UNTUK KOMPAS
Citra satelit Himawari berguna untuk menunjukkan sebaran awan yang diperbarui setiap 10 menit.
”Setelah satelit Terra-Aqua melewati wilayah tersebut sekitar pukul 12.00, setengah jam kemudian informasi titik panas akan dihasilkan. Pada pagi hari, satelit melewati wilayah Indonesia timur dan lintasan kedua di Indonesia barat,” tuturnya.
Andy menjelaskan, deteksi informasi titik panas menggunakan data penginderaan jauh dilakukan dengan memanfaatkan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 4 mikro. Cara pengukuran titik panas ini salah satunya dengan menerapkan ambang batas (threshold) pada nilai temperatur kecerahan.
”Titik panas yang terdeteksi memang belum menginformasikan luasannya. Namun, informasi titik panas ini tetap bisa digunakan sebagai dasar atau tanda penghitungan luasan kebakaran dari data Sentinel-2 dan Landsat-8,” tambahnya.