Isu Krisis Iklim Perlu Lebih Banyak Disuarakan di Ranah Politik
Sejumlah pihak termasuk generasi muda didorong untuk lebih banyak menyuarakan isu krisis iklim di ranah politik. Mereka juga disarankan untuk memberikan hak suara bagi perwakilan yang fokus terhadap isu tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Isu krisis iklim, lingkungan, hingga keberlanjutan masih kurang mendapat dukungan di level pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, sejumlah pihak termasuk generasi muda yang fokus terhadap isu ini perlu lebih banyak menyuarakannya di ranah politik.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk ”A World with Net Zero Emissions: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?” secara daring, Kamis (29/9/2022). Diskusi ini menjadi salah satu agenda dalam rangkaian acara konferensi Muda Bersuara 2022 yang diselenggarakan oleh Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI).
Co-chair Youth 20 (Y20) Indonesia Rahayu Saraswati mengatakan, selama ini banyak pihak seperti aktivis, termasuk generasi muda, yang fokus menyuarakan isu iklim, lingkungan, ataupun keberlanjutan. Namun, ia menyayangkan bahwa pihak-pihak yang fokus terhadap isu tersebut kurang berminat untuk terjun ke dunia politik.
”Saat masih berada di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), kita yang memperjuangkan isu keberlanjutan, net zero, dan krisis iklim itu masih minoritas di level pengambilan kebijakan. Sayangnya, tidak semua yang memiliki idealisme tentang isu ini mau masuk ke dunia politik,” ujarnya.
Rahayu yang menjadi anggota DPR periode 2014-2019 ini menyatakan, politik bukan hanya terkait dengan pemilihan umum (pemilu). Akan tetapi, politik juga berperan besar dalam pengambilan kebijakan level nasional yang mencakup hidup masyarakat luas.
Menurut Rahayu, dalam dunia politik juga memungkinkan untuk melakukan diplomasi internasional, termasuk yang berkaitan dengan isu lingkungan dan ekonomi.
Sebagai contoh, Indonesia dapat berdiplomasi dengan negara lain dalam konteks memperbaiki perilaku atau permintaan konsumen khususnya terkait produk sawit. Hal ini diperlukan mengingat Indonesia sebagai salah satu pemasok produk sawit terbesar di dunia kerap disudutkan karena terus menghasilkan produk penyebab deforestasi.
Guna memastikan isu iklim dan lingkungan ini terus disuarakan di ranah politik, Rahayu juga menyarankan agar generasi muda turut memberikan hak suaranya saat pemilu untuk perwakilan yang fokus terhadap isu tersebut. Tidak adanya dukungan para pemilih pada akhirnya akan membuat legislatif terus diisi oleh orang yang apatis terhadap isu iklim.
Saat masih berada di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), kita yang memperjuangkan isu keberlanjutan, net zero, dan krisis iklim itu masih minoritas di level pengambilan kebijakan. Sayangnya, tidak semua yang memiliki idealisme tentang isu ini mau masuk ke dunia politik.
”Upaya untuk mencapai emisi bersih butuh kebijakan di level yang lebih tinggi. Daripada membuang tenaga untuk meyakinkan para penyangkal krisis iklim yang tidak membawa perubahan, akan lebih strategis bila kita melakukan advokasi di ranah politik,” tuturnya.
Aksi nyata
Komitmen Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim kembali ditegaskan dengan memperbarui dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (NDC) sesuai Kesepakatan Paris 2015. Pembaruan NDC tersebut juga telah diserahkan dan dipublikan di situs Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCC) pada 23 September.
Dalam NDC, Indonesia meningkatkan target penurunan emisi dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri. Sementara target penurunan emisi dengan dukungan internasional juga ditingkatkan dari 41 persen menjadi 43,2 persen.
Youth Climate Reality LeaderLaetania Belai Djandam memandang upaya mengatasi perubahan iklim tidak hanya dilihat dari peningkatan target penurunan emisi yang ambisius. Namun, hal terpenting ialah melakukan aksi nyata untuk mendukung target tersebut.
Salah satu upaya mencapai target tersebut, menurut Belaim dengan menghentikan secara bertahap proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang tidak ramah lingkungan. Di sisi lain, pada sektor kehutanan dan tata guna lahan lainnya (FoLU) juga perlu kolaborasi sekaligus melibatkan masyarakat adat yang mengelola kawasan tersebut.
”Kita harus lebih banyak melihat sinergi kebijakan dari tingkat nasional sampai lokal sehingga implementasi dari target-target ini bisa terjadi di tingkat tapak. Kita juga perlu melihat kolaborasi lebih banyak baik multilateral maupun multisektoral,” ucapnya.
Belai juga menekankan pentingnya melibatkan generasi muda untuk menanggulangi krisis iklim, termasuk dalam proses pembuatan kebijakan. Sebab, kebijakan yang dihasilkan akan berpengaruh besar terhadap generasi muda saat ini ataupun ke depan.