Sejumlah anak muda menyuarakan keresahan mereka terkait dampak krisis iklim yang terjadi di lndonesia. Pemerintah diminta untuk berkomitmen terhadap pembangunan yang berkelanjutan melalui aksi yang nyata.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak muda menuntut komitmen pemerintah dalam mewujudkan keadilan iklim dan transisi energi yang berkelanjutan. Tanpa adanya kebijakan yang tegas, masa depan generasi muda akan dipertaruhkan akibat dampak krisis iklim yang kian masif.
Kegelisahan akan dampak krisis iklim tersebut disuarakan oleh setidaknya 300 anak muda dalam Pawai Youth20ccuppy di Jakarta, Kamis (21/7/2022). Pawai yang dilakukan anak-anak muda dari enam provinsi di Pulau Jawa tersebut dilakukan dengan long march dari Kementerian Pemuda dan Olahraga menuju Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Kita ini sudah berada di ambang krisis iklim. Tidak ada waktu lagi untuk memikirkan apakah krisis iklim itu benar atau tidak. Jika tidak ada gerakan yang kuat untuk memeranginya, bukan tidak mungkin kita kehilangan bumi ini sebagai tempat tinggal yang nyaman. Kita, generasi muda, yang menerima dampaknya,” ujar Adhinda Maharani Rahardjo (20), anggota Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon (Karbon).
Adhinda, yang juga turut dalam pawai Youth20ccupy, mengatakan, dampak krisis iklim yang terjadi akibat eksploitasi lingkungan juga dirasakan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya di Citemu, Cirebon. Di daerah tersebut, eksploitasi lingkungan berbasis batubara dan PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) serta pembangunan industri semakin gencar dilakukan.
Akibatnya, polusi udara di lingkungan tersebut semakin buruk. ”Kami sudah coba pantau dengan alat pantau udara. Polusi udara di lingkungan tempat tinggal kami sudah pada taraf bahaya sehingga seharusnya sudah tidak layak huni,” tutur Adhinda.
Hal serupa disampaikan Novi Kurniati (21). Anak muda dari Winong, Cilacap, ini secara langsung telah merasakan dampak aktivitas PLTU di lingkungan tempat tinggalnya. Selain dampak ekologi berupa kekeringan, pencemaran udara, pencemaran air yang menyebabkan gagal panen, dampak kesehatan juga dialami oleh warga.
Sejumlah warga mengalami gangguan pernapasan, bahkan ada yang meninggal karena tuberkulosis paru (TB paru). Abrasi yang terjadi di pesisir laut pun dinilai terjadi akibat aktivitas PLTU di daerah tersebut.
”Melihat kondisi yang terjadi saat ini tentu membuat kami sebagai anak muda sangat khawatir. Kami belum tua saja lingkungan sudah rusak. Lantas, bagaimana masa depan kami? Besok kami tinggal di mana dan apakah kami masih bisa merasakan pesisir pantai?” ucap Novi.
Pemerintah terus mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan industri ekstraktif sehingga masyarakat semakin merasakan dampak buruk dari kebijakan itu.
Untuk itu, ia pun mengajak generasi muda lainnya untuk bersuara dan bergerak bersama dalam memperjuangkan keadilan iklim di Indonesia, terutama di masing-masing tempat tinggalnya. Apabila anak muda tetap tinggal diam, kondisi keterpinggiran, intimidasi, serta ketidakadilan akan terus berlanjut.
Kenyamanan yang dirasakan oleh generasi saat ini atau generasi sebelumnya tidak akan dirasakan oleh generasi muda di masa depan. Hal ini menimbulkan ketidakadilan antargenerasi.
”Kita sebagai kaum muda yang memiliki intelektual yang lebih baik dan tenaga yang jauh lebih kuat dari orang tua harus bisa melakukan perlawanan yang lebih kritis, terutama pada kebijakan yang dibuat pemerintah. Dampaknya sudah kita rasakan di banyak daerah,” tutur Novi.
Deklarasi
Fahmi Bastian (32), anggota Walhi Jawa Tengah, menuturkan, dalam pawai Youth20ccupy, anak-anak muda yang terlibat juga sekaligus melahirkan deklarasi untuk mendorong komitmen pemerintah dalam mencegah krisis iklim. Ada 15 tuntutan yang disampaikan dalam deklarasi tersebut.
Deklarasi itu berisi, antara lain, dorongan agar proses pengambilan kebijakan pemerintah bebas dari kepentingan politik praktis, lebih berbasis partisipasi masyarakat yang inklusif, partisipatif, dan adil jender. Anak muda juga menuntut agar pemerintah menjamin ketersediaan energi bersih dan berkeadilan bagi generasi selanjutnya dengan memperhatikan sumber energi yang terbarukan dan melimpah.
Fahmi mengatakan, di tengah krisis iklim yang semakin mengancam, Pemerintah Indonesia justru terus mengumbar jargon palsu dalam transisi energi untuk mengatasi krisis iklim. Kenyataannya, pemerintah terus mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan industri ekstraktif sehingga masyarakat semakin merasakan dampak buruk dari kebijakan itu.
Selain tuntutan dalam deklarasi pencegahan iklim, ucap Fahmi, anak muda yang melakukan pawai Youth20ccupy mengkritisi pula forum Youth of 20 (Y20) yang merupakan bagian dari rangkaian G20. Forum tersebut dinilai tidak merepresentasikan realita dan aspirasi kaum muda Indonesia.
”Forum seharusnya inklusif dan bisa merepresentasikan keresahan anak muda mengenai masa depan mereka akibat krisis iklim dan ekologi yang berlangsung saat ini. Tidak ada pula keterbukaan pemilihan delegasi sehingga tidak menjangkau anak muda di akar rumput yang menjadi korban industri ekstraktif,” kata Fahmi.
Ia mengatakan, tuntutan yang disampaikan sejumlah anak muda dalam pawai Youth20cuppy akan disampaikan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Harapannya, komitmen pemerintah untuk mencegah krisis iklim bisa lebih kuat sehingga masa depan generasi muda bisa lebih baik.