Setelah dua tahun tak beraktivitas secara luring akibat Pandemi Covid-10, perhelatan Festival Asia Tri kembali digelar di Omah Petroek, Hargobinangun, Pakem, Sleman, 27-29 September 2022.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS - Kondisi dunia yang belum sepenuhnya pulih akibat Pandemi Covid-19 membuat para seniman dari sejumlah negara tidak bisa hadir dalam Festival Asia Tri 2022 yang digelar di Yogyakarta, pada 27-29 September 2022. Meski demikian, festival seni pertunjukan tahunan ini tetap digelar dengan melibatkan sejumlah seniman Indonesia dan mahasiswa asing jurusan seni yang tinggal di Yogyakarta.
Sejumlah negara yang masih ketat membatasi pergerakan warganya ke luar negeri, antara lain Jepang dan Korea Selatan. Di Jepang, pada Rabu (28/9/2022) kemarin masih terdata 693.773 kasus aktif Covid-19, sedangkan di Korea Selatan tercatat masih ada 733.070 kasus aktif.
“Mereka masih terjebak serangan virus korona yang belum reda. Waktu beberapa hari lalu kami tampil di Jepang, pembatasan di sana masih ketat sekali,” kata salah satu pemrakarsa Festival Asia Tri, Bambang Paningron, Rabu.
Selain pandemi, konflik perang Rusia dan Ukraina yang berimbas pada lesunya perekonomian Eropa juga turut menghambat keinginan para seniman untuk hadir ke Indonesia. Meski demikian, beberapa seniman asing yang kebetulan sedang menempuh studi di Indonesia bisa turut berkolaborasi di pameran ini.
Bertolak dari kondisi di atas, Asia Tri Jogja 2022 kali ini mengambil tema “Sesaji Bhumi” sebagai penggugah ingatan akan situasi dunia yang semakin tidak menentu. “Bumi tempat kita berpijak yang selalu mengingatkan kita akan awal dan akhir kehidupan. Tempat di mana kita terikat dalam laku urip lan nguripi, hidup dan menghidupi. Maka Bumi harus kita hormati, kita jaga dan kita rawat, selayaknya kita menjaga dan merawat hidup kita sendiri,” papar Paningron.
Total ada 18 penampil yang hadir pada Asia Tri Jogja 2022 yang digelar di Omah Petroek, Hargobinangun, Sleman, DI Yogyakarta. Para penampil terdiri dari individu maupun komunitas seniman musik, tari, dan teater. Mereka berasal dari sejumlah daerah di Indonesia dan beberapa mahasiswa asing jurusan seni di Yogyakarta.
Beberapa seniman yang tampil, antara lain Romo Adhi dari Banyuwangi, Cristina Duque dari Equador, Nani Topeng dari Cirebon, Rianto Dewandaru dan Rodrigo Parejo dari Banyumas serta Spanyol, Wangi Indriya dari Indramayu, Yuuka Koyama dari Jepang, Siska Prisia dari Padang, Puri Senja dari Surabaya dan Sri Krishna & Friends dari Yogyakarta. Tampil juga beberapa komunitas seniman seperti Nalitari dari Yogyakarta, Megatruh Banyu Mili dari Surakarta, dan Malang Dance dari Malang.
Pada hari kedua Asia Tri Jogja 2022, tampil Romo Adhi, Siska Aprisia, Yuuka Koyama, Puri Senja, Wangi Indriya, Pulung Jati, Nani Topeng, serta Anter Asmorotedjo. Mereka tampil di pelataran Candi Perdamaian, Kompleks Omah Petroek yang dikonsep menjadi panggung terbuka dengan permainan cahaya dekoratif.
Romo Adhi membawakan pertunjukan berjudul “Corpus” yang menggambarkan tentang peristiwa dukacita. Di tengah keterpurukan, ada sebuah pemberian diri yang seutuhnya seperti halnya bejana tanah liat yang siap dibentuk kapan pun.
Iringan musik meditatif yang dikalaborasi dengan nyanyian cengkok khas Banyuwangi dari seorang sinden mengiringi seniman sekaligus rohaniwan Banyuwangi itu. Sementara itu, penari asal Padang, Siska Aprisia menampilkan koreografi karyanya berjudul “The Breathe” dengan iringan musik serta dialeg khas Minang.
Siska menyuguhkan tarian dinamis seorang diri. Penggambarannya tentang napas ia visualisasikan dengan apik ketika ia menari berbalutkan selubung plastik yang berakhir dengan sobekan plastik, simbolisasi kebebasan napas.
Festival Asia Tri pertama kali diadakan pada tahun 2005 di Seoul, Korea Selatan yang kemudian dilanjutkan di Yogyakarta pada tahun 2006. Festival ini diprakarsai oleh beberapa seniman dari tiga negara, meliputi Yang Hye Jin dari Korea Selatan, Soga Masaru dari Jepang, dan Bambang Paningron serta Bimo Wiwohatmo dari Indonesia (Yogyakarta).
Meskipun diprakarsai oleh seniman dari tiga negara, pada dasarnya festival ini terbuka bagi artis-artis dari negara manapun tanpa memandang latar belakang suku, ras, dan agama. Di tahun-tahun sebelumnya, telah hadir artis-artis dari berbagai negara seperti Jepang, Korea, Amerika, Kanada. India, China, Taiwan, Singapura, Malaysia, Filipina, Belanda, Ukraina, Srilanka, Australia, Jerman, Austria, Lebanon, Perancis, Spanyol dan Italia. Total ada 31 negara yang pernah terlibat dalam festival ini.
Menurut Paningron, Asia Tri Jogja bukan sekedar sebuah festival seni pertunjukan, tetapi lebih dari itu, sebagai penghormatan akan kemanusiaan serta dorongan tumbuhnya kehidupan yang harmonis di antara bangsa-bangsa di dunia. Festival ini bertujuan membangun solidaritas di antara para seniman, khususnya di Asia, yang diharapkan dapat menciptakan pengertian serta penghargaan dari berbagai budaya yang berbeda.
Karena itulah, Asia Tri Jogja memberi ruang bagi para peserta untuk berkolaborasi, berdiskusi, menggelar workshop, dan mengembangkan jejaring antar seniman. Selain program-program pertunjukan, diselenggarakan juga sarasehan dan latihan bersama sehingga terbentuk pertukaran pengalaman kebudayaan di antara seniman.
“Para seniman tidak pernah merasa rendah atau malu sepanggung dengan seniman muda yang masih belajar. Justru di sana para seniman saling belajar dari kebudayaan yang berbeda-beda. Pengalaman budaya tidak pernah mengukur soal kualitas pertunjukan tetapi kemanusiaannya. Tidak ada kelas-kelas di situ,” ujarnya.
Dalam pertemuan pejabat tinggi bidang kebudayaan G20, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mendorong dukungan bagi pelaku budaya negara-negara G20 yang terdampak pandemi. Upaya itu diwujudkan dengan penggalangan Dana Global untuk Pemulihan Seni dan Budaya (Global Arts and Culture Recovery).
“Negara-negara anggota G20 secara sukarela akan mengeksplorasi platform pendanaan ini, yang harapannya akan menyediakan dukungan yang diperlukan untuk memulihkan sektor ekonomi budaya yang telah sangat terdampak oleh pandemi,” kata Direktur Kebudayaan, Kemendikbudristek, Hilmar Farid beberapa waktu lalu.