Intervensi Nonbedah untuk Penanganan Penyakit Jantung Bawaan
Dengan perkembangan teknologi kedokteran yang semakin canggih, intervensi penyakit jantung bawaan bisa dilakukan dengan teknik nonbedah. Teknik ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan teknik bedah.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknik intervensi nonbedah bisa menjadi pilihan dalam tatalaksana intervensi penyakit jantung bawaan. Jika dibandingkan dengan tindakan bedah, intervensi ini dinilai lebih baik, antara lain, karena minim bekas luka, biaya yang lebih rendah, serta menurunkan risiko kematian.
Ketua Kelompok Staf Medik Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan RS Jantung Nasional Harapan Kita Oktavia Lilyasari, di Jakarta, Kamis (22/9/2022), mengatakan, perkembangan teknologi kedokteran saat ini membuat intervensi nonbedah untuk penyakit jantung bawaan semakin canggih. Pasien pun semakin nyaman untuk memilih intervensi ini dibandingkan dengan intervensi bedah.
”Intervensi bedah itu pasti akan meninggalkan bekas luka, sementara intervensi nonbedah, karena menggunakan kateterisasi, bisa tidak menimbulkan luka. Jika ada luka pun, hanya karena sayatan kecil,” katanya.
Keunggulan lain dari intervensi nonbedah ialah lama waktu perawatan yang lebih singkat dibandingkan dengan intervensi bedah. Biaya perawatan pun menjadi lebih rendah. Intervensi nonbedah juga diyakini dapat menurunkan risiko kematian dan kesakitan.
Terdapat beberapa teknik yang bisa dilakukan dalam intervensi nonbedah untuk penyakit jantung bawaan. Antara lain, teknik zero fluoroscopy. Teknik ini merupakan intervensi nonbedah yang dilakukan dengan bantuan ekokardioagraf. Teknik ini dapat mengeliminasi penggunaan fluoroskopi atau radiasi sehingga lebih aman untuk pasien anak.
Selain itu, ada pula teknik RVOT (right ventricular outflow tract) stenting. Teknik ini dapat menjadi alternatif intervensi nonbedah dengan membesarkan dinding pembuluh darah dan pemasangan stent (cincin jantung) pada alur keluar bilik kanan jantung. Teknik ini bisa dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi untuk operasi bedah jantung terbuka.
Intervensi bedah itu pasti akan meninggalkan bekas luka, sementara intervensi nonbedah karena menggunakan kateterisasi bisa tidak menimbulkan luka. Jika ada luka pun, hanya karena sayatan kecil. (Oktavia Lilyasari)
Oktavia menyampaikan, berbagai perkembangan teknologi dalam tatalaksana pasien dengan penyakit jantung bawaan tersebut diharapkan bisa semakin luas dimanfaatkan oleh masyarakat. Ketersediaan dokter spesialis jantung, terutama yang fokus pada penyakit jantung bawaan, di Indonesia masih minim. Selain itu, alat dan fasilitas penunjang lain yang dibutuhkan juga belum tersedia di seluruh wilayah.
Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Radityo Prakoso menyampaikan, persoalan keterbatasan dokter spesialis jantung di Indonesia perlu diatasi dengan kerja sama berbagai pihak. Selain organisasi profesi, peran pemerintah termasuk pemerintah daerah serta masyarakat diperlukan.
Saat ini, rasio dokter jantung dengan jumlah penduduk di Indonesia sebesar 1:200.000 penduduk. Namun, rasio dokter jantung di DKI sebesar 1:38.000 penduduk. Sementara itu, terdapat beberapa daerah yang bahkan belum memiliki atau hanya ada satu dokter jantung, seperti Papua, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara.
”Kita perlu bekerja sama agar masalah distribusi dokter ini bisa lebih merata. Masalah ini perlu diselesaikan untuk mendukung kemajuan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan di Indonesia,” kata Radityo.
Deteksi
Keterbatasan sumber daya kesehatan itu pula, menurut Oktavia, yang membuat upaya deteksi dini penyakit jantung bawaan belum optimal dijalankan di tengah masyarakat. Padahal, deteksi dini amat penting agar penanganan lebih lanjut bisa segera dilakukan. Data menunjukkan, 85,1 persen pasien penyakit jantung bawaan terlambat terdiagnosis.
Di Indonesia, setiap tahun setidaknya terdapat 80.000 bayi lahir dengan penyakit jantung bawaan. Satu dari empat bayi tersebut merupakan pasien penyakit jantung bawaan kritis yang memerlukan intervensi segera.
”Identifikasi gejala dan tanda dari PJB (penyakit jantung bawaan) dini dapat membuat rujukan menjadi lebih cepat dan tatalaksana pun bisa lebih tepat. Hasil penanganan PJB pun bisa diperbaiki,” kata Oktavia.
Ia mengatakan, penapisan penyakit jantung bawaan bisa dilakukan sejak masa persiapan kehamilan. Identifikasi dilakukan dengan melihat faktor risiko yang dimiliki. Adapun faktor risiko yang perlu diwaspadai, yaitu riwayat keluarga dengan PJB, diabetes melitus, merokok, dan tertular rubella, cytomegalovirus , dan toksoplasma.
Selanjutnya, penapisan juga bisa dilakukan pada masa kehamilan melalui pemeriksaan ultrasonografi (USG) antenatal untuk melihat adanya malformasi jantung pada janin. Pemeriksaan untuk penapisan PJB pada ibu hamil dapat dilakukan pada usia kandungan 18-26 minggu.
Penapisan lebih lanjut juga perlu dijalankan pada bayi baru lahir. Ini dilakukan untuk mengidentifikasi PJB kritis yang dilakukan dengan alat pulse oximetry. Cara ini akan lebih optimal apabila dilakukan ketika bayi berusia minimal 24 jam atau setidaknya sebelum bayi dipulangkan dari fasilitas kesehatan.