Anak dengan Penyakit Jantung Bawaan Lebih Berisiko Alami Perburukan
Penyakit kelainan jantung pada anak bisa menjadi komorbid dalam penyakit Covid-19. Kehati-hatian dengan menerapkan protokol kesehatan diharapkan terus dilakukan agar tak terjadi dampak fatal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
Kompas/Priyombodo
Anak-anak mempersiapkan layangan koang mereka di lapangan bola di kawasan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (9/7/2020). Sosialisasi dan imbauan terus dilakukan agar warga disiplin dan menyadari penggunaan masker demi mencegah penularan penyakit Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak termasuk dalam kelompok rentan terhadap penularan Covid-19. Hal ini terutama pada anak dengan komorbid atau penyakit penyerta, seperti anak dengan penyakit jantung bawaan.
Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan struktur jantung atau pembuluh jantung yang didapatkan seseorang sejak lahir. Di dunia, anak dengan penyakit jantung bawaan sekitar 6 sampai 8 per 1.000 kelahiran. Di Indonesia, setidaknya tercatat ada sekitar 40.000 sampai 50.000 bayi dengan penyakit jantung bawaan (PJB) lahir setiap tahun.
Staf pengajar dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM), Piprim Basarah Yanuarso, mengatakan, anak dengan penyakit jantung bawaan sangat rentan mengalami perburukan apabila terinfeksi virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19. Gejala sesak napas yang bisa ditimbulkan dari penularan Covid-19 dapat semakin memperburuk penyakit jantung yang dialami seseorang.
Pasien yang sudah memiliki gangguan pada fungsi jantung akan semakin berat, bahkan bisa menimbulkan fatalitas.
”Pasien yang sudah memiliki gangguan pada fungsi jantung akan semakin berat, bahkan bisa menimbulkan fatalitas (kematian) apabila mengalami gagal napas, seperti hipoksemia (kadar oksigen dalam darah rendah). Gagal napas ini biasanya dialami oleh pasien Covid-19 dengan gejala berat,” ujarnya di Jakarta, Senin (13/7/2020).
Ia menambahkan, protokol kesehatan terkait Covid-19 yang ketat sangat penting dilakukan untuk mencegah penularan penyakit tersebut, termasuk penularan pada anak-anak. Kasus penularan Covid-19 pada anak masih terus terjadi. Hal ini terutama karena sudah banyak anak yang mulai beraktivitas di luar rumah.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Anak-anak mengenakan masker dan pelindung wajah saat berolahraga pada hari bebas kendaraan bermotor di Jalan Raden Inten, Jakarta Timur, Minggu (5/7/2020).
Selain itu, Piprim juga mengimbau agar orangtua memastikan bahwa pemberian vaksinasi pada anak tetap dilakukan sesuai jadwal. Salah satu vaksinasi yang diperlukan adalah pneumococcal conjugate vaccine atau vaksin untuk mencegah pneumonia. Anak dengan penyakit jantung bawaan yang tidak mendapatkan vaksinasi lengkap akan sembilan kali lebih berisiko mengalami pneumonia atau peradangan paru akibat infeksi.
Aritmia
Guru Besar Bidang Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Yoga Yuniadi menambahkan, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah tata laksana Covid-19 pada pasien dengan komorbid gangguan irama jantung (aritmia). Efek samping dari penggunaan obat-obatan yang menjadi rekomendasi sementara untuk pasien Covid-19 perlu diperhatikan pada pasien dengan gangguan jantung.
”Pada penggunaan hidroklorokuin untuk tata laksana pasien Covid-19, khususnya pasien dengan komorbid aritmea, dapat menimbulkan perpanjangan dalam interval QT. Ini perlu lebih diperhatikan untuk mencegah kondisi yang justru berdampak buruk bagi pasien,” katanya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS) 05-03-2020
Peserta Klub Jantung Sehat Hang Tuah, Jakarta, saat senam jantung sehat, Kamis (5/3/2020), di Taman Hang Tuah, Jakarta Selatan.
Interval QT merupakan lama waktu yang dibutuhkan jantung untuk melakukan repolarisasi atau fase istirahat setelah terjadinya depolarisasi atau perangsangan pada sel reseptor. Apabila interval QT memanjang, berisiko meningkatkan terjadinya torsade de pointes atau bilik jantung yang memompa terlalu cepat sehingga dapat berakibat fatal.
Oleh karena itu, Yoga menuturkan, pasien dengan aritmia perlu melakukan tes EKG (elektrokardiogram) untuk melihat aktivitas fungsi jantung. Pemeriksaan dengan tes ini perlu dilakukan secara berkala, mulai dari sebelum pemberian obat dilakukan, dua hari pemberian obat, hingga lima hari obat diberikan.
”Monitoring yang ketat dengan tes EKG dan elektrolit sangat diperlukan selama klorokuin diberikan sebagai terapi pasien Covid-19 dengan gangguan fungsi jantung,” katanya.