Deteksi dini pada bayi dengan penyakit jantung bawaan kritis diperlukan guna mencegah komplikasi lebih berat yang dapat menyebabkan kematian. Penanganan yang cepat dapat meningkatkan kualitas hidup anak di masa depan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Delapan dari sepuluh bayi mengalami keterlambatan diagnosis penyakit jantung bawaan kritis. Akibatnya, bayi terlambat dirujuk dan terlambat mendapat penanganan. Risiko kematian pun menjadi tinggi. Karena itu, amat penting dilakukan penapisan penyakit jantung bawaan kritis pada bayi baru lahir.
Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Kardiologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Rizky Adriansyah, di Jakarta, Senin (13/12/2021), mengatakan, satu dari 100 bayi lahir mengalami penyakit jantung bawaan. Dari jumlah itu, 25 persen di antaranya merupakan penyakit jantung bawaan kritis.
”Di Indonesia diperkirakan ada sekitar 2.000 anak yang mengalami PJB (penyakit jantung bawaan) kritis dalam setahun. Sebagian besar meninggal karena mengalami tetralogi terlambat,” katanya.
Tetralogi terlambat tersebut yakni terlambat terdeteksi, terlambat terdiagnosis, terlambat dirujuk, dan terlambat ditangani. Jika bayi dengan PJB kritis mengalami tetralogi terlambat, bayi berisiko untuk meninggal tanpa diketahui penyebabnya. Selain itu, bayi juga berisiko meninggal karena tidak mendapatkan pengobatan yang optimal dan komplikasi yang lebih berat.
Padahal, dengan penanganan yang tepat, bayi dengan PJB bisa bertahan dengan baik hingga usia dewasa. Karena itu, deteksi dini pada bayi dengan PJB kritis menjadi sangat penting.
Rizky mengatakan, deteksi dini bisa dilakukan dengan pemeriksaan saturasi oksigen dengan alat pulse oximeter. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada setiap bayi sehat usia 24-48 jam atau sebelum dipulangkan dari fasilitas kesehatan.
Pada bayi yang sebelumnya menggunakan alat bantu oksigen juga perlu dilakukan penapisan ulang setelah 24-48 jam setelah alat bantu tidak digunakan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh dokter, bidan, atau perawat yang sudah terlatih.
Apabila dari hasil pemeriksaan dengan oksimeter yang dilakukan di tangan kanan atau kaki menunjukkan kadar oksigen dalam darah kurang dari 90 persen, bayi perlu segera dibawa ke rumah sakit. Pemeriksaan lebih lanjut dengan ekokardiografi atau USG jantung guna mendiagnosis adanya penyakit jantung bawaan atau penyakit jantung bawaan kritis.
Ketua Unit Kerja Koordinasi Neonatologi IDAI yang juga anggota staf Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Risma Kerina Kaban, menambahkan, penapisan dengan pulse oksimeter diperlukan karena banyak bayi dengan PJB kritis tidak ditemukan gejala saat lahir. Dengan penapisan, identifikasi dan penegakan diagnosis bisa cepat dilakukan sehingga pengobatan juga dapat segera diberikan.
Dengan begitu, kecacatan atau gangguan yang dapat berakibat fatal bisa dicegah sejak dini. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) antenatal dan pemeriksaan klinis bayi baru lahir tidak cukup untuk mendeteksi adanya PJB. Hal inilah yang menyebabkan 30 persen kasus PJB dipulangkan sebelum terdiagnosis PJB kritis. Tingkat mortalitas pun bisa meningkat hingga 50 persen.
”Pemeriksaan sebelum memutuskan untuk hamil juga penting guna mencegah berbagai kelainan bawaan pada bayi. Ibu yang mengalami infeksi rentan mengalami berbagai masalah dalam kehamilan. Perlu dipastikan ibu tidak kekurangan gizi, baik sebelum hamil maupun saat hamil,” tutur Risma.
Berdasarkan data Sistem Registrasi Sampel Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2018, kelainan kongenital sistem sirkulasi, termasuk penyakit jantung bawaan, merupakan penyebab kematian tertinggi pada bayi dengan kelainan kongenital. Sebanyak 54 persen kasus kematian pada bayi dengan kelainan kongenital terjadi karena kelainan pada sistem sirkulasi.
Pemeriksaan sebelum memutuskan untuk hamil juga penting guna mencegah berbagai kelainan bawaan pada bayi. Ibu yang mengalami infeksi rentan mengalami berbagai masalah dalam kehamilan.
Kebijakan
Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Erna Mulati mengatakan, upaya peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan menjadi upaya untuk menekan angka kematian pada ibu dan bayi. Berbagai pelatihan pun dilakukan untuk meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan guna mendeteksi gangguan pada ibu dan bayi, termasuk adanya risiko penyakit jantung bawaan.
Ia menambahkan, Kementerian Kesehatan juga telah menyusun kebijakan dan strategi dalam pencegahan dan penanggulangan kelainan bawaan. Itu dilakukan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas terkait dengan kelainan bawaan sekaligus untuk meningkatkan kualitas hidup anak.
Adapun kebijakan yang disusun, antara lain, menekankan upaya pencegahan dan deteksi dini, memberikan prioritas pada kelainan bawaan yang berdampak besar pada kesehatan masyarakat serta kelainan yang dapat dicegah dan dikenali, juga memantapkan sistem informasi kelainan bawaan. Selain itu, upaya pencegahan dan penanggulangan akan difokuskan pada delapan kelainan bawaan prioritas.
Kelainan bawaan yang menjadi prioritas, antara lain, neural tube defect (NTD), celah bibir dan langit-langit, sindrom rubella kongenital, club foot (congenital talipes equinovarus), talasemia, sifilis kongenital, hipotiroid kongenital, dan penyakit jantung bawaan kritis.
Seluruh kelainan bawaan tersebut dinilai memiliki dampak besar terhadap kesehatan masyarakat dan dapat dicegah dengan melakukan upaya pencegahan primer. Diagnosis serta tindakan dini terhadap kelainan bawaan sangat berpengaruh pada derajat kesehatan dan kualitas hidup dari penderita.
”Saat ini, Kementerian Kesehatan tengah berupaya untuk memperkuat surveilans kelainan bawaan prioritas dan memantapkan mekanisme pemantauan dan evaluasi. Integrasi upaya pencegahan kelainan bawaan prioritas dengan program kesehatan masyarakat terkait juga dipastikan bisa berjalan optimal,” ujar Erna.