Sebagian orang mengalami penurunan fungsi kulit akibat penuaan, gaya hidup tidak sehat, dan paparan polutan. Butuh riset untuk memetakan jenis dan kondisi kulit orang Indonesia agar masalah itu bisa diatasi dengan tepat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia belum memiliki data demografi yang memadai tentang kondisi kulit orang Indonesia. Selain berfungsi sebagai bentuk surveilans penyakit kulit, penelitian tentang kondisi kulit juga dibutuhkan agar penanganan masalah kulit bisa dilakukan dengan lebih tepat.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) M Yulianto Listiawan, Selasa (20/9/2022), sebagian orang mengalami penyakit kulit degeneratif atau penurunan fungsi kulit. Salah satu cirinya adalah kulit menjadi lebih reaktif terhadap rangsangan dibandingkan dengan sebelumnya, seperti lebih mudah gatal, mudah mengalami alergi, dan mudah muncul bercak merah pada kulit. Kendati tidak berdampak fatal, kondisi tersebut dapat mengganggu individu dan menurunkan kualitas hidup.
Penyakit kulit degeneratif bisa terjadi karena berbagai faktor, seperti penuaan, keturunan, pola makan tidak sehat, paparan polutan, dan paparan sinar ultraviolet. Penurunan fungsi kulit ini bisa diatasi. Namun, kondisi kulit pasien mesti ditelaah dulu karena sensitivitas kulit setiap orang berbeda. Kecenderungan mereka terhadap penyakit kulit pun berbeda.
”Masalahnya kita tidak punya data demografi kondisi masalah kulit di Indonesia. Bahkan, tipe kulit (orang Indonesia) saja baru mau kita teliti,” kata Yulianto, di Jakarta.
Indonesia adalah negara multietnis. Kami rasa belum ada penelitian di Indonesia yang memetakan jenis kulit orang Indonesia di daerah perkotaan. Pemetaan ini penting untuk menentukan perawatan kulit yang dipersonalisasi.
Ia menambahkan, gangguan kulit termasuk tiga besar penyakit yang ditemukan di banyak puskesmas di Indonesia. Gangguan ini umumnya karena infeksi bakteri akibat masalah kebersihan dan sanitasi. ”Dulu, pola penyakit (kulit) disebabkan infeksi. Dengan pergeseran zaman, pola penyakitnya juga akan berubah,” kata Yulianto. ”Penelitian bisa menjadi bahan surveilans penyakit. Surveilans membuat kita tahu pola atau distribusi masalah (kesehatan) di masyarakat,” ucapnya.
Sejumlah pihak pun mendorong penelitian kondisi kulit dan rambut orang Indonesia. Program filantropi Hair and Skin Research Grant 2022 yang merupakan hasil kerja sama L’oréal, Perdoski, dan Universitas Indonesia, misalnya, memberikan dukungan dana Rp 375 juta bagi lima tim peneliti terpilih untuk melakukan riset. Hasil penelitian diproyeksikan untuk diterbitkan di jurnal internasional.
Medical Director L’Oréal Research, Innovation, and Technologies Michèle Verschoore mengatakan, program ini untuk mendukung pengetahuan soal fisiologi rambut dan kulit orang Indonesia. Ia juga berharap agar paradigma kecantikan di masyarakat berbasis pada sains.
Tahun ini, panitia menerima 29 proposal penelitian. Setelah dinilai tim juri, ada lima proposal yang dinyatakan sebagai pemenang. Proposal pertama tentang potensi bawang hitam sebagai obat antijerawat. Kedua, efektivitas obat finasterid dan minoksidil topikal untuk terapi kebotakan pada laki-laki. Ketiga, peran vitamin D terhadap kebotakan laki-laki. Keempat, studi awal profil mikrobiota untuk kulit berminyak-sensitif orang Indonesia. Terakhir, pemetaan jenis kulit penduduk perkotaan Indonesia.
Perwakilan salah satu tim pemenang, Henry Tanojo, mengatakan, timnya akan memetakan jenis kulit penduduk kota dengan kuesioner Baumann Skin Type Indicator (BSTI). Studi akan dilakukan di 14 kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, Palembang, dan Malang. Ia berharap bisa mencapai, setidaknya, 2.000 subyek penelitian.
”Indonesia adalah negara multietnis. Kami rasa belum ada penelitian di Indonesia yang memetakan jenis kulit orang Indonesia di daerah perkotaan. Pemetaan ini penting untuk menentukan perawatan kulit yang dipersonalisasi. Kami rasa penelitian ini juga akan berguna sebagai data ke depan,” kata Henry yang juga dokter spesialis kulit dan kelamin dari Surabaya.
Sedangkan Farah Fulin al Fauz Lubis, dokter perwakilan tim peneliti lainnya, mengatakan akan meneliti efektivitas dan keamanan kombinasi obat finasterid dan minoksidil topikal untuk perawatan androgenetic alopecia (kebotakan/AGA) para lelaki. Selama ini, terapi AGA yang diizinkan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) ialah finasterid oral dan minoksidil topikal. Namun, ini berdampak ke turunnya libido dan disfungsi ereksi. Ia berharap hasil penelitian timnya dapat menjadi solusi.