Pada dasarnya vitiligo bukan penyakit berbahaya yang mengancam jiwa. Namun, kemunculan vitiligo secara umum mengindikasikan ada penyakit lain dalam tubuh penderita.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stigma terhadap penyakit vitiligo yang menyebabkan bercak putih pada kulit masih melekat di antara masyarakat. Alhasil, tantangan itu berdampak buruk pada kualitas kehidupan penderita vitiligo. Penderita membutuhkan dukungan sosial yang lebih baik agar bisa tetap produktif dan sembuh.
Penyakit vitiligo diyakini terjadi karena kerentanan genetik sehingga memicu penyakit autoimun yang menghancurkan sel pigmen kulit (depigmentasi). Diperkirakan, prevalensi vitiligo sebesar 0,5-2 persen dari populasi di seluruh dunia (Bergqvist dan Ezzedine, 2020).
Di Indonesia, belum ada angka pasti terkait jumlah penderita penyakit ini. Kondisi ini diperparah karena masih banyak stigma salah tentang penderita. Penyakit ini dianggap menular, bersifat turunan, dan tidak bisa disembuhkan. Anggapan tidak tepat ini berujung pada diskriminasi pada penderita hanya berdasarkan penampilan kulit.
Menurut Ketua Kelompok Staf Medik (KSM) Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, dr Hanny Nilasari, penderita vitiligo bisa mengalami gangguan pada aspek psikososial. Mereka berpotensi merasa stres, cemas, menarik diri dari lingkungan sosial, bahkan depresi.
”Ini adalah penyakit kronis sehingga membutuhkan pengobatan jangka panjang agar mendapat kesembuhan yang paling sempurna. Untuk itu, dibutuhkan dukungan dari keluarga, lingkungan eksternal seperti teman, dan orang-orang terdekatnya,” kata Hanny dalam konferensi pers virtual ”Peluncuran Gerakan Self-Love Movement bagi Penderita Vitiligo”, Senin (21/6/2021).
Hanny melanjutkan, dokter akan menyarankan pasien ke psikolog klinis atau psikiater apabila kondisi mental penderita vitiligo sudah sangat terganggu. Pendampingan ini bisa dibarengi dengan pengobatan vitiligo sehingga perawatan pasien bisa dilakukan secara komprehensif.
Ketua Dermatologi KSM Departemen Dermatologi dan Venereologi FKUI-RSCM, dr Sondang MHA Pandjaitan Sirait, menambahkan, vitiligo bisa menyerang segala usia dan jenis kelamin. Pada dasarnya ini bukan penyakit berbahaya yang mengancam jiwa. Namun, kemunculan vitiligo secara umum mengindikasikan ada penyakit lain dalam tubuh penderita.
”Bisa ada autoimun kulit atau pada organ lainnya, misalnya berhubungan dengan gangguan tiroid, makanya penyakit vitiligo tidak berdiri sendiri. Vitiligo malah bisa muncul lebih dulu dari penyakit lainnya,” ujar Sondang.
Ada beberapa cara, lanjut Sondang, dalam mengatasi vitiligo. Pada tahap yang masih ringan, vitiligo bisa ditangani dengan obat krim khusus dari dokter. Pada tahap lainnya, penderita harus menjalani terapi sinar hingga prosedur bedah untuk cangkok kulit. Proses pengobatan vitiligo bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Sondang menyebutkan, penyakit vitiligo bisa disembuhkan selama pengobatan dilakukan secara konsisten dan penderita tidak menggaruk bercak agar tidak meluas.”Tingkat re-pigmentasi ada yang mendekati 100 persen dan ada juga yang tidak, tetapi biasanya selalu ada hasil,” ujarnya.
Kampanye bagi penderita
Guna mendukung penderita vitiligo, General Manager Regenesis Indonesia Ron Pirolo menyatakan, perusahaan meluncurkan Gerakan Self-Love Movement sebagai program dari tanggung jawab sosial perusahaan. Tujuannya, agar penderita tidak merasa sendirian dan meningkatkan potensi diri. Apalagi, dunia merayakan Hari Vitiligo Sedunia pada 25 Juni.
”Melalui kampanye ini, kami berkomitmen untuk berkontribusi sebagai support system yang baik bagi para sahabat vitiligo di Indonesia untuk membangun kepercayaan diri,” ujar Pirolo. Adapun Regenesis adalah perusahaan distributor peralatan estetika.
Sales & Marketing Director Regenesis, Emmy Noviawati, mencontohkan, model Kanada bernama Winnie Harlow adalah contoh penderita vitiligo yang berprestasi. ”Dukungan dengan sharing dan cerita sukses, di mana pasien bisa eksis dengan kondisinya, dapat membangun kepercayaan diri sesama penderita vitiligo,” ujarnya.