Ganti Konsumsi Daging dengan Ikan untuk Kesehatan Diri dan Bumi
Data sains terbaru menunjukkan, mengganti konsumsi daging dengan beberapa jenis makanan laut dapat membantu orang mengurangi jejak karbon tanpa mengorbankan nutrisi.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
Data sains terbaru menunjukkan, mengganti konsumsi daging dengan beberapa jenis makanan laut dapat membantu orang mengurangi jejak karbon mereka tanpa mengorbankan nutrisi. Sebagai negara kepulauan yang kaya sumber daya laut, temuan ini bisa jadi peluang Indonesia untuk mengejar defisit protein di masyarakat tanpa harus meningkatkan ketergantungan pada impor daging.
Produksi makanan telah menyumbang sekitar sepertiga dari emisi gas rumah kaca global, sebagian besar dari metana dan karbon dioksida. Kajian Xiaoming Xu dari University of Illinois dan tim yang terbit di jurnal Nature Food, September 2021, menunjukkan, dari 17 miliar metrik ton emisi per tahun dari sektor makanan, 57 persen berasal dari peternakan. Sementara makanan nabati menyumbang 29 persen.
Data ini menunjukkan, pola makan nabati menawarkan alternatif berdampak lebih rendah daripada makan daging. Kampanye pengurangan konsumsi daging pun mulai digencarkan, terutama di Eropa, yang menjadi konsumen utama.
Baru-baru ini, kota Haarlem di Belanda menjadi kota pertama yang mengumumkan bakal melarang iklan daging di area publik. Larangan yang akan diberlakukan mulai 2024 ini disebut sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengurangi konsumsi daging dan emisi gas rumah kaca.
Namun, solusi ini tidak tepat untuk diterapkan di banyak wilayah lain di dunia, termasuk Indonesia yang hingga saat ini masih defisit protein. Bahkan, menurut ahli gizi IPB University, Drajat Martianto, dalam orasi pengukuhannya sebagai guru besar pada Sabtu (17/9/2022), konsumsi pangan hewani di Indonesia sangat kurang.
”Berdasarkan Global Food Security Index (EIU 2021), salah satu permasalahan terbesar ketahanan pangan di Indonesia adalah rendahnya kualitas konsumsi pangan masyarakat akibat rendahnya asupan protein hewani,” katanya.
Banyak sumber makanan laut yang menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca dan lebih padat nutrisi daripada daging sapi, babi, atau ayam.
Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan, konsumsi daging masyarakat Indonesia pada 2017 rata-rata 1,8 kilogram (kg) daging sapi, 7 kg daging ayam, 2,3 kg daging babi, dan 0,4 kg daging kambing. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, jumlah itu jauh tertinggal.
Dalam periode yang sama, data OECD menunjukkan, di negara tetangga, seperti Malaysia, rata-rata tingkat konsumsi daging sapinya mencapai 4,8 kg, daging ayam 46 kg, daging babi 2,6 kg, dan daging kambing 1 kg. Sementara Filipina rata-rata 3,1 kg daging sapi, 12,6 kg daging ayam, 15,4 kg daging babi, dan 0,5 kg daging kambing. Di Thailand, rata-rata konsumsi daging sapi mencapai 1,7 kg, daging ayam 14,5 kg, dan daging babi 10,4 kg. Adapun di Vietnam, rata-rata konsumsi daging sapi 9,9 kg, daging ayam 13 kg, daging babi 30,4 kg, dan daging kambing 1,7 kg.
Rendahnya tingkat konsumsi daging ini jelas berpengaruh pada rendahnya tingkat asupan protein hewani masyarakat Indonesia, terutama golongan ekonomi menengah ke bawah. Padahal, protein hewani, termasuk daging, merupakan sumber pangan yang dibutuhkan untuk masa pertumbuhan anak, termasuk untuk mengatasi tengkes (stunting) yang masih menjadi persoalan besar di Indonesia.
Masalahnya, ketersediaan protein dari daging di Indonesia masih belum mencukupi sehingga harus bergantung pada impor. Data Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2021, impor daging sapi Indonesia senilai 785,1 5 juta dollar AS dengan volume 211.430 ton. Berdasarkan nilainya, impor daging sapi naik 26,51 persen dari tahun 2020 yang sebesar 585,99 juta dollar AS.
Protein biru
Meski demikian, protein hewani sebenarnya tidak hanya berasal dari daging. Bahkan, sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keberlimpahan protein hewani berbasis makanan laut atau ”makanan biru”. Tak hanya bisa menjadi alternatif sumber protein yang baik, makanan laut juga ramah bagi iklim.
Studi di Communications Earth & Environment pada 8 September 2022 menunjukkan, banyak sumber makanan laut yang menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca dan lebih padat nutrisi daripada daging sapi, babi, atau ayam.
Penelitian yang dilakukan Peter Tyedmers, ekonom ekologi di Universitas Dalhousie di Halifax, Kanada, dan tim ini menunjukkan bahwa kebijakan untuk mempromosikan makanan laut sebagai pengganti protein hewani lainnya dapat meningkatkan ketahanan pangan di masa depan dan membantu mengatasi perubahan iklim.
Dalam kajian ini, para peneliti menganalisis 41 spesies makanan laut dan menetapkan skor kepadatan nutrisi dengan memperhitungkan nutrisi penting, seperti lemak dan vitamin tertentu. Spesies yang disurvei termasuk ikan budidaya dan tangkapan liar, krustasea, bivalvia dan cephalopoda (kelompok yang mencakup gurita dan cumi-cumi).
Tim kemudian menggunakan data emisi yang tersedia untuk 34 spesies tersebut untuk membandingkan kepadatan nutrisia dengan emisi yang terkait dengan produksi atau penangkapan mereka.
Hasilnya, setengah dari spesies makanan laut menawarkan lebih banyak nutrisi dalam hal emisi. Salmon merah (Oncorhynchus gorbuscha) tangkapan liar dan salmon sockeye (Oncorhynchus nerka), bersama dengan ikan pelagis kecil, seperti herring dan makarel, ikan teri, dan bivalvia yang ditangkap di alam liar, adalah pilihan terbaik untuk sumber protein padat nutrisi dan rendah emisi.
Setengah dari spesies makanan laut yang dianalisis memiliki kepadatan nutrisi lebih tinggi dan mengeluarkan lebih sedikit gas rumah kaca daripada daging sapi, babi, dan ayam. Perbedaan dalam metode produksi dan pemanenan ditemukan untuk menciptakan variabilitas besar dalam dampak iklim tiap spesies.
Ikan kod (Gadus sp) juga memiliki dampak iklim yang rendah, tetapi termasuk makanan yang paling tidak padat nutrisi. Krustasea atau udang tangkapan liar memiliki emisi tertinggi dengan jejak karbon yang hanya dapat disaingi oleh daging sapi. Para penulis mencatat bahwa data emisi ini tidak termasuk emisi pascaproduksi yang dihasilkan oleh pendinginan atau transportasi.
”Analisis tersebut menambahkan lebih banyak perspektif tentang peran makanan laut dalam sistem pangan,” kata Zach Koehn, ilmuwan kelautan di Stanford Center for Ocean Solutions di California, kepada Nature.
Hasil kajian ini mengonfirmasi bahwa makanan laut adalah sumber makanan yang berdampak relatif rendah pada iklim sekaligus makanan bergizi tinggi. Ini menunjukkan keuntungan pengurangan emisi bisa dilakukan sejalan dengan upaya mencapai manfaat nutrisi.
Meski demikian, jejak karbon di antara spesies makanan laut bahkan dalam kelompok spesies yang sama pun berbeda, tergantung pada metode produksinya. Konsumsi spesies pelagis kecil, salmon, dan bivalvia hasil tangkapan liar yang meningkat akan sangat mengurangi emisi gas rumah kaca dari konsumsi makanan laut secara umum sekaligus meningkatkan manfaat nutrisi.
Makanan laut dikenal sebagai sumber protein, asam lemak, vitamin, dan mineral yang baik. Bahkan, dibandingkan daging merah, yang dalam banyak studi terkait dengan risiko beragam kanker, hasil laut memberi lebih banyak keunggulan dari aspek kesehatan.
Dalam konteks Indonesia, hasil temuan ini bisa jadi referensi untuk mengkaji lebih lanjut mana dari jenis-jenis hasil tangkap dan budidaya kita yang memiliki kepadatan nutrisi paling baik sekaligus paling minim jejak karbonnya. Perlu dicatat bahwa jejak karbon akan semakin kecil jika produksi lokal. Jadi, sekalipun dalam penelitian ini salmon liar direkomendasikan yang terbaik, jejak karbonnya bisa tinggi jika dikonsumsi di Indonesia.
Selain pekerjaan rumah untuk mengidentifikasi sumber laut kita yang terbaik untuk memenuhi nutrisi dan ramah iklim, pada saat yang sama harus ada kesadaran bersama untuk menjaga kualitas makanan laut kita dari pencemaran, termasuk dari mikroplastik yang kian mengkhawatirkan. Karena lautan adalah masa depan kita.