Pangan yang Sehat Buat Diri dan Lingkungan
Menghindari daging merah dan beralih ke ikan serta protein nabati merupakan salah satu cara untuk mengurangi jejak karbon dalam makanan. Selain baik bagi iklim, pola diet ini juga baik bagi kesehatan.
Seperti kebanyakan hal yang berhubungan dengan manusia, makanan yang kita makan juga memiliki jejak karbon. Mulai dari pembukaan lahan, pengolahan tanah, pemupukan, hingga pemanenan dan pengirimannya menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bisa semakin memanaskan Bumi.
Riset oleh Xiaoming Xu dari University of Illinois dan tim yang terbit di jurnal Nature Food pada pertengahan September 2021 menunjukkan, produksi pangan global telah menyumbang lebih dari 17 miliar metrik ton per tahun. Sebanyak 57 persen emisi ini disumbang oleh makanan hewani, sedangkan makanan nabati menyumbang 29 persen.
Meskipun penelitian sebelumnya telah memperkirakan emisi dari pertanian, kajian Xu ini lebih rinci dan komprehensif. Tim peneliti menggunakan data dari 171 tanaman dan 16 produk hewani di lebih dari 200 negara. Menggunakan pemodelan komputer, mereka kemudian menghitung jumlah karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida yang disumbangkan oleh elemen individual dari sistem pangan global, termasuk konsumsi dan produksi.
Xu dan tim menghitung, perbedaan emisi antara produksi daging dan tanaman sangat mencolok. Misalnya, untuk menghasilkan 1 kg gandum, dikeluarkan 2,5 kg gas rumah kaca. Adapun untuk memproduksi 1 kg daging sapi mengeluarkan 70 kg emisi. Penghasil emisi terbesar di antara produk hewani setelah daging sapi adalah susu sapi, daging babi, dan daging ayam.
Baca juga : Mencari Sistem Pangan yang Menjawab Masa Depan
Secara keseluruhan, produksi daging sapi menjadi penyumbang emisi tertinggi dengan selisih yang lebar, terhitung 25 persen dari total. Sementara dalam kategori tanaman pangan, pertanian padi sawah menjadi kontributor utama emisi dan merupakan kontributor tertinggi kedua di antara semua produk, menyumbang 12 persen dari total. Padi sawah mengeluarkan sekitar 30 kg emisi untuk memproduksi 1 kg beras.
Peringkat beras yang relatif tinggi berasal dari bakteri penghasil metana yang tumbuh subur dalam kondisi anaerobik di sawah yang tergenang. Setelah beras, emisi tertinggi yang terkait dengan produksi tanaman berasal dari gandum, tebu, dan jagung.
Studi ini juga merinci emisi yang disebabkan oleh berbagai aspek produksi dan konsumsi pangan. Kegiatan pertanian, seperti membajak tanah atau menggunakan jenis peralatan lain, bersama dengan konversi lahan dari hutan atau lanskap alam lainnya menjadi padang rumput dan lahan pertanian, secara kolektif menyumbang dua pertiga emisi.
Peneliti juga menemukan, mengurangi penggunaan pupuk atau menggunakan metode tanpa pengolahan tanah dapat mengurangi emisi. Semakin tinggi penggunaan pupuk dan pestisida, jejak karbon dalam pangan juga semakin tinggi.
Menyehatkan tubuh
Harry Freitag Luglio Muhammad, dosen dari Divisi Gizi Molekuler, Fakultas Kedokteran-Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, mengatakan, jika selama ini kita hanya memperhitungkan nutrisi dalam memilih pola diet, ke depan juga wajib memperhitungkan aspek lingkungan.
”Di tengah perubahan iklim seperti sekarang, sistem pangan kita harus memperhitungkan aspek emisinya,” kata Harry, yang juga pendiri Gizigama.com, laman edukasi tentang gizi ini.
Kabar baiknya, pola diet yang sehat untuk tubuh ternyata juga baik untuk lingkungan. Misalnya, dari aspek kesehatan, konsumsi daging merah berlebih banyak diasosiasikan dengan meningkatkan risiko berbagai penyakit, di antaranya kanker.
Menurut perhitungan Global Burden of Disease Project, sebuah organisasi penelitian akademis independen, diet tinggi daging merah bertanggung jawab atas 50.000 kematian akibat kanker per tahun di seluruh dunia, khususnya kanker usus.
Di tengah perubahan iklim seperti sekarang, sistem pangan kita harus memperhitungkan aspek emisinya.
Menurut Harry, ada banyak pilihan protein lain yang bisa menggantikan daging merah, di antaranya daging ayam. ”Selain menghasilkan emisi gas metan, ternak sapi juga perlu waktu lama untuk mendapatkan dagingnya. Beda dengan ayam, yang lebih pendek siklus hidupnya. Semakin lama produksinya, jejak karbonnya akan makin panjang,” katanya.
Alternatif protein lain, yang secara nutrisi juga lebih baik adalah ikan dan aneka ragam sumber pangan dari perairan. Kajian Jessica A Gephart dari Department of Environmental Science, American University, di jurnal Nature pada September 2021 lalu menemukan, makanan berbasis akuatik dapat memainkan peran yang lebih besar dalam memberikan pola makan yang sehat dan sistem pangan yang lebih ramah untuk iklim.
Dia mengusulkan, untuk lebih memberi porsi bagi makanan akuatik atau blue food dalam beberapa dekade mendatang untuk mengatasi kekurangan gizi, menurunkan jejak karbon dari sistem pangan, dan menyediakan mata pencarian yang lebih baik.
Baca juga : Sedikit Mengubah Diet Membuat Hidup Kita Sehat dan Ramah Lingkungan
Banyak spesies makanan dari dari perairan kaya nutrisi penting. Misalnya, dibandingkan dengan ayam, ikan trout memiliki sekitar 19 kali lebih banyak asam lemak omega-3, tiram, dan kerang memiliki 76 kali lebih banyak vitamin B-12 dan lima kali lebih banyak zat besi, serta ikan mas memiliki kalsium sembilan kali lebih banyak.
Adapun untuk karbohidrat, menurut Harry, kita harus mengurangi ketergantungan pada beras yang memiliki jejak emisi tertinggi dari sektor tanaman pangan. ”Kita punya banyak pilihan sumber karbohidrat, di antaranya yang sangat baik adalah umbi-umbian. Intinya, semakin beragam karbohidrat yang dikonsumsi, semakin baik,” ujarnya.
Selama ini, ketergantungan Indonesia yang membesar terhadap beras juga telah menjadi banyak sumber masalah. Selain persoalan kesehatan dan lingkungan, dengan tren cetak sawah baru di beberapa daerah, secara ekonomi hal ini juga merugikan karena membuat Indonesia bergantung pada impor beras setiap tahunnya.
Untuk sayuran, secara umum jejak emisinya relatif kecil sekaligus sangat baik untuk kesehatan. Para peneliti di Rush University Medical Center telah menemukan bahwa orang yang menerapkan diet MIND dapat menurunkan risiko terkena Alzheimer. Dikembangkan oleh mendiang Martha Clare Morris, ahli epidemiologi nutrisi Rush, dan rekan-rekannya, diet MIND adalah gabungan dari diet Mediterania dan DASH (dietary approaches to stop hypertension).
Diet MIND ini memiliki 15 komponen diet, termasuk 10 ”kelompok makanan yang menyehatkan otak” dan lima kelompok yang tidak sehat, seperti daging merah, mentega dan margarin batangan, keju, kue kering dan manisan, serta makanan yang digoreng atau cepat saji. Pengikut diet ini perlu makan setidaknya tiga porsi biji-bijian, sayuran berdaun hijau, dan satu sayuran lainnya setiap hari. Selain itu, juga mengonsumsi makanan ringan hampir setiap hari dengan kacang-kacangan, makan unggas dan buah beri setidaknya dua kali seminggu dan ikan setidaknya sekali seminggu.
Baca juga : Pilih Produk Hewani yang Aman dan Sehat untuk Perangi Covid-19
Tak hanya dari jenis pangannya, menurut Harry, emisi karbon di sektor pangan juga bisa didapatkan dari proses pengirimannya. ”Semakin jauh sumber bahan pangannya, transportasinya akan mengeluarkan lebih banyak karbon. Misalnya, daging sapi impor bisa berlipat jejak karbonnya. Bahkan, tempe juga bisa tinggi jejak karbonnya kalau kedelainya diimpor,” ujarnya.
Maka, sebagai upaya menurunkan emisi, pangan lokal semakin memiliki urgensinya. Semakin lokal bahan pangannya, semakin ramah bagi lingkungan. Sekali lagi, ini juga baik bagi kesehatan. ”Karena semakin dekat jarak antara panen dengan waktu konsumsi, kualitas nutrisinya akan semakin baik,” kata Harry.
Jelas bahwa solusi untuk mengatasi kebutuhan nutrisi bagi tubuh kita sebenarnya sejalan dengan upaya untuk menekan laju emisi. Dengan memilih pangan beragam, proses produksi alami, hingga dari lingkungan terdekat, selain menyehatkan, juga bisa menyelamatkan lingkungan.