JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia termasuk dalam tingkat terendah di dunia. Dalam setahun, masyarakat Indonesia mengonsumsi kurang dari 5 kilogram daging. Pendapatan per kapita yang rendah serta pengetahuan yang minim dinilai sebagai penyebab.
Berdasarkan data Meat and Livestock Australia (MLA), lembaga penelitian dan pengembangan serta pemasaran daging merah, tingkat pendapatan per kapita menentukan jumlah konsumsi daging masyarakat. Pendapatan per kapita masyarakat Indonesia masih di bawah 10.000 dollar AS. Jumlah konsumsi daging sapi masyarakat di bawah 5 kilogram atau sekitar 3 kilogram per tahun. Jumlah tersebut termasuk yang terendah di dunia.
Rendahnya konsumsi daging juga berpengaruh pada rendahnya konsumsi zat besi. Akibatnya, sejumlah besar masyarakat menderita anemia, salah satunya ibu hamil.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan dalam Profil Kesehatan Indonesia 2016, sebanyak 37,1 persen dari total ibu hamil di Indonesia menderita anemia. Sebanyak 36,4 persen dari mereka berada di perkotaan, sedangkan 37,8 persen berada di perdesaan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman menyebutkan, minimnya konsumsi daging disebabkan oleh harga yang mahal. Oleh karena itu, konsumsinya pun belum merata.
Kondisi tersebut semakin buruk karena pengetahuan mengenai daging minim. Masyarakat cenderung memakan daging yang tidak berkualitas karena budaya mengenal kualitas daging yang keliru.
”Masyarakat menganggap daging yang panas (hot meat) kualitasnya lebih baik ketimbang daging beku. Padahal, di negara-negara maju, sudah dilarang penjualan daging tanpa disimpan di dalam lemari pendingin,” ucap Adhi di Jakarta, Kamis (12/4/2018).
Chief Representative MLA Indonesia Valeska mengatakan, pengetahuan masyarakat Indonesia juga masih kurang dalam beternak sapi, khususnya mengenai pakan. MLA yang telah bekerja sama dengan peternak di Indonesia selama lebih dari 30 tahun menemukan bahwa pakan yang digunakan peternak sebagian besar hanya rumput. Padahal, kandungan nutrisi yang ada di rumput tidak cukup untuk menghasilkan sapi berkualitas. Sapi membutuhkan jenis pakan lain yang lebih bernutrisi.
Oleh karena itu, sebagian masyarakat lebih memilih memakan daging impor, salah satunya dari Australia. Berdasarkan catatan MLA, pada 2017, Australia mengekspor 500.000 sapi dan 49.000 ton daging.
”Keinginan masyarakat untuk membeli daging impor tidak bisa dicegah karena mereka ingin membeli barang yang bermutu,” ujar Adhi.
Tingkatkan inovasi
Selain pengetahuan mengenai daging, menurut Adhi, inovasi dalam ranah industri juga perlu ditingkatkan. Selama ini inovasi dalam industri makanan dan minuman, termasuk daging, masih minim. Tidak banyak akademisi yang menyumbangkan hasil penelitiannya untuk pengembangannya.
Penelitian dan pengembangan industri makanan dan minuman tidak mendapat dana yang besar. Pada 2016, anggaran penelitian dan pengembangan sebesar 0,3 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). ”Kementerian Perindustrian menargetkan kenaikan anggaran penelitian menjadi 2 persen pada 2020,” ujar Adhi.
Dia melanjutkan, minimnya inovasi melemahkan daya saing Indonesia di kancah global. Apalagi, saat ini dunia tengah memasuki masa industri 4.0.