Pelabelan Bisphenol-A pada Kemasan Galon Perlu Segera Diterapkan
Pelabelan Bisphenol-A pada kemasan air minum dalam kemasan perlu segera diterapkan. Hal ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat agar mengetahui risiko BPA serta mendorong produsen beralih ke kemasan yang aman.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Obat dan Makanan perlu segera menerapkan pelabelan Bisphenol-A atau BPA pada kemasan air minum dalam kemasan. Upaya ini sebagai tindak lanjut temuan kontaminasi BPA dalam kemasan galon di enam daerah sekaligus mengedukasi masyarakat terkait bahaya senyawa ini.
Desakan penerapan pelabelan BPA ini diutarakan anggota Gerakan Percepatan Labelisasi BPA dalam Kemasan Air Minum dalam Kemasan (AMDK), Alfred Sitorus. Desakan ini disampaikan menyusul banyaknya temuan studi yang menunjukkan bahaya dari BPA bagi kelompok dewasa dan usia produktif, termasuk anak-anak.
”Berbagai publikasi ilmiah mutakhir menunjukkan berbagai dampak fatal akibat toksisitas BPA pada kelompok dewasa dan usia produktif. Bahaya itu, antara lain, dapat memengaruhi fertilitas, menyebabkan keguguran dan komplikasi persalinan, obesitas, serta berbagai penyakit metabolik,” ujarnya, di Jakarta, Rabu (14/9/2022).
Sejumlah hasil penelitian juga menunjukkan bahwa paparan BPA mempengaruhi fisiologi yang dikendalikan oleh endokrin, kelenjar prostat, dan perkembangan otak pada janin, bayi, dan anak-anak. Hal ini pada akhirnya akan memengaruhi kesehatan dan perilaku anak. Dalam penelitian lainnya disebutkan kemungkinan hubungan antara BPA dan peningkatan tekanan darah, diabetes tipe 2, dan penyakit kardiovaskular.
Alfred menyatakan, penerapan pelabelan BPA dalam kemasan AMDK akan lebih baik apabila segera diterapkan dalam waktu dekat. Sebab, pelabelan ini merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi berbagai masalah kesehatan akibat masifnya konsumsi air minum kemasan dalam galon polycarbonates.
Berbagai publikasi ilmiah mutakhir menunjukkan berbagai dampak fatal akibat toksisitas BPA pada kelompok dewasa dan usia produktif. Bahaya itu, antara lain, dapat memengaruhi fertilitas, menyebabkan keguguran dan komplikasi persalinan, obesitas, serta berbagai penyakit metabolik,
Pekan lalu, Alfred dan komponen masyarakat sipil yang tergabung dalam Net Zero Waste Management Consortium, Koalisi Pejalan Kaki, dan JejakSampah juga berunjuk rasa di depan kantor Badan POM untuk mendukung pelabelan BPA dalam kemasanAMDK.
”Pelabelan juga bertujuan untuk mengedukasi masyarakatagar mengetahui risiko BPAserta mendorong produsen segera beralih ke kemasan yang lebih aman dan sehat. Masyarakat perlu disadarkan terkait bahaya yang mengancam dari konsumsi hariannya,” ujarnya.
Dalam rilis beberapa waktu lalu, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) juga mendukung regulasi pelabelan BPA pada kemasan plastik demi keamanan dan perlindungan kesehatan masyarakat. Pelabelan diperlukan karena selama ini masyarakat kerap mengabaikan pengaruh kemasan makanan atau minuman serta kandungan senyawanya terhadap kesehatan.
Sekretaris Jenderal PB IDI Ulul Albab mengingatkan semua pihak untuk menerapkan visi ekonomi plastik baru sesuai dengan rekomendasi Program Lingkungan PBB (UNEP). Visi itu meliputi, antara lain, mengeliminasi plastik yang tidak dibutuhkan, berinovasi agar plastik dapat digunakan atau didaur ulang kembali, dan menyirkulasikan semua barang plastik.
Selain itu, PB IDI memberikan rekomendasi bagi produsen dan pelaku industri untuk konsultasi mengenai kandungan dan aturan pelabelan pada BPOM demi keselamatan masyarakat. Sementara bagi konsumen diharapkan dapat memilih kemasan plastik yang memiliki label bebas BPA dan menghindari, menggunakan, menyimpan, ataupun mencuci botol berkali-kali dalam suhu tinggi.
Kewajiban produsen
Hingga Rabu (14/9/2022) malam, Kepala Badan POM Penny Lukito belum memberikan keterangannya meski sudah sempat dihubungi melalui sambungan telepon dan pesan singkat.
Sebelumnya, pada awal Juni lalu, Penny menyatakan bahwa BPOM akan segera mewajibkan produsen untuk memasang label peringatan bahaya senyawa BPA yang terkandung dalam plastik kemasan makanan dan minuman jenis polikarbonat. Pernyataan ini disampaikan seusai Badan POM mengadakan pertemuan dengan para akademisi, legislasi, praktisi, dan pihak terkait lainnya.
Menurut Penny, sejumlah negara sudah merespons bahaya BPA dengan beragam cara, mulai dari penetapan standar hingga pelarangan penggunaan polikarbonat. Sementara di Indonesia, BPOM merespons bahaya BPA dengan level paling ringan, yaitu pelabelan, sehingga masyarakat teredukasi dan jeli dalam memilih produk yang baik untuk kesehatan.
Penny juga memastikan bahwa regulasi ini berlaku bagi semua pihak yang memproduksi kemasan mengandung BPA, termasuk produsen dari luar negeri yang mengedarkan produknya di Indonesia. Di sisi lain, pemberlakuan regulasi ini juga diyakini akan mendorong inovasi dari pelaku usaha untuk membuat produk yang lebih aman untuk kesehatan (Kompas.id, 7/6/2022).
Badan POM dan sejumlah pihak sejak tahun lalu mulai membahas revisi Peraturan Badan POM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Dalam revisi terbaru ini, Badan POM mewajibkan produsen memasang label peringatan bahaya senyawa BPA yang terkandung dalam plastik kemasan makanan dan minuman.
Selama ini, BPA banyak digunakan pada produk-produk seperti botol air yang dapat digunakan kembali, plastik polikarbonat, plastik pengemas, pelapis kaleng makanan, pipa air, hingga plastik untuk menambal gigi.