Budidaya komoditas pangan alternatif perlu ditangani secara serius, termasuk pengembangan ekosistem sorgum. Dengan demikian, upaya menjaga ketahanan pangan bisa betul-betul membawa hasil.
Oleh
NINA SUSILO, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjaga ketahanan pangan berarti memperkuat pangan alternatif di Indonesia. Untuk itu, ekosistem pangan alternatif, seperti sorgum dan sagu, perlu segera dibangun.
”Kita semua sudah tahu keunggulan sorgum dan sagu yang memberikan potensi ekonomi yang besar bagi negara ini. Namun, kita perlu membicarakan dan memikirkan kenapa dua komoditas ini masih belum bisa berkembang?” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Rabu (14/9/2022), dalam seminar daring ”Strategi Pengembangan dan Industrialisasi Sagu dan Sorgum Nasional Berbasis Korporasi” yang diinisiasi Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) dari Gedung Bina Graha, Jakarta.
Sorgum dan sagu dinilai bisa menjadi pangan alternatif nasional dan menjamin stabilitas pangan nasional. Dibandingkan dengan komoditas pangan lain, sorgum adalah tanaman yang multifungsi. Semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan ternak, dan bioetanol.
Biji sorgum tidak terlampau berbeda dari beras atau terigu. Nira batang sorgum bisa menjadi sumber bioetanol. Adapun ampas batang serta daunnya dapat digunakan sebagai pakan ternak.
Namun, diakui, perusahaan yang menghubungkan komoditas petani ke pasar (off-taker) masih sedikit. Hal ini menghambat pengembangan ekosistem sorgum. Budidaya sorgum pun belum masif. Oleh karena itu, para pemilik modal perlu diyakinkan untuk ikut berkontribusi mengembangkan industri alternatif pangan nasional.
”Riset di sektor benih sorgum juga tidak berjalan gegap gempita. Kenapa? Karena sorgum belum menjadi pilihan,” kata Moeldoko.
Moeldoko mengingatkan produktivitas pangan alternatif perlu ditingkatkan sembari membangun ekosistemnya. Dengan demikian, Indonesia tidak melulu mengandalkan padi.
Karena itu, Moeldoko mengingatkan, produktivitas pangan alternatif perlu ditingkatkan sembari membangun ekosistemnya. Dengan demikian, Indonesia tidak melulu mengandalkan padi sebagai satu-satunya bahan pangan. Selain itu, bagian-bagian sorgum juga bisa dimanfaatkan.
”Ketika nanti kita menghadapi krisis, kita bisa dengan mudah menghadirkan sorgum sebagai alternatif (bahan) pangan karena ekosistemnya sudah terbangun,” ucapnya.
Sejauh ini, Presiden Joko Widodo sudah meminta supaya sorgum, sagu, dan jagung dijadikan komoditas pangan alternatif. Dalam kunjungan kerja ke Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 2 Juni lalu, Presiden menyebutkan pentingnya diversifikasi pangan. Saat itu, Presiden juga meminta lahan yang memadai untuk budidaya sorgum kepada Gubernur NTT Viktor Laiskodat dan Bupati Sumba Timur Khristofel Praing. Kendala-kendala dalam pengembangan sorgum juga diminta diidentifikasi dan diatasi.
Menindaklanjuti instruksi Presiden tersebut, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ikut turun tangan. Di Sumba Timur, tiga lokasi akan ditangani Kementerian PUPR, yakni di Laipori untuk lahan seluas 135 hektar, di Desa Patawang 500 ha, dan di Kawangu seluas 500 ha.
”Semua ini bergantung pada ketersediaan air. Tantangan alam di Sumba Timur ini tidak lain adalah air, air, dan air,” kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono saat kunjungan ke Laipori dan Patawang, Sumba Timur, NTT, Minggu (11/9/2022).
Untuk itu, Kementerian PUPR melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II Direktorat Jenderal Sumber Daya Air akan memberikan dukungan penyediaan air melalui kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi dan penambahan titik sumber air lewat sumur bor.
”Di Laipori, kita akan coba buatkan empat titik sumur bor, termasuk jaringan pipanya dengan teknik distribusi air menggunakan lateral sprinkler agar tidak banyak air yang menguap. Kemudian, di Kawangu juga kita akan coba dua titik sumur bor. Nanti dalam pelaksanaannya akan dibantu oleh PT Brantas Abipraya agar lebih cepat,” kata Basuki dalam keterangan tertulis Kementerian PUPR.
Lewat skema padat karya, masyarakat yang terlibat bisa belajar membuat sumur gali, sekaligus mendapatkan upah harian.
Adapun khusus di Desa Patawang, Basuki menginstruksikan agar dibuat sumur gali lewat skema Padat Karya Tunai (PKT) yang melibatkan masyarakat, khususnya yang tergabung dalam himpunan Petani Pemakai Air (P3A). Lewat skema padat karya, masyarakat yang terlibat bisa belajar membuat sumur gali, sekaligus mendapatkan upah harian. Harapannya, ini sekaligus menjaga daya beli masyarakat dan menggerakkan perekonomian desa.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Jarot Widyoko menambahkan, semua pekerjaan sumur bor tersebut akan mulai dilaksanakan pada akhir 2022 ini. ”Untuk target penyelesaian diharapkan selesai pada akhir tahun 2022,” ujarnya.
Kepala Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur, NTT, Iman Soleman yang berbincang dengan Basuki berterima kasih atas kunjungan tersebut dan bantuan penyediaan air bagi para petani sorgum di Desa Patawang. ”Sudah sejak lama kami bergelut dengan ketersediaan air untuk bertani yang terbatas,” katanya.