Indonesia Sumbang 58,2 Persen Perusakan Hutan Tropis akibat Pertambangan
Indonesia mengalami deforestasi hujan tropis tertinggi akibat industri pertambangan. Deforestasi ini terutama disebabkan oleh pertambangan batubara di Kalimantan Timur.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mengalami kerusakan hutan tropis akibat industri pertambangan paling tinggi di dunia dengan menyumbang 58,2 persen deforestasi dari 26 negara yang diteliti. Deforestasi tropis dari industri pertambangan di Indonesia ini mencapai puncaknya pada periode 2010–2014, dan berlanjut hingga hari ini.
Demikian penelitian terbaru yang dipublikasikan di jurnal PNAS pada Senin (12/9/2022) oleh Stefan Giljum dari Institute for Ecological Economics, Vienna University of Economics and Business, Austria dan tim. Kajian dilakukan terhadap 26 negara yang memiliki hutan hujan tropis.
Para peneliti menganalisis tumpang-tindih koordinat geografis tambang industri yang beroperasi pada 2000-2019 dengan data hilangnya hutan dari dataset Global Forest Change untuk periode yang sama. Data tersebut mencakup 26 negara yang mewakili 76,7 persen dari total deforestasi tropis yang diamati dari tahun 2000–2019.
”Kami menemukan bahwa 3.264 kilometer persegi hutan hilang karena industri pertambangan, dengan 80 persen terjadi hanya di empat negara, yaitu Indonesia, Brasil, Ghana, and Suriname,” tulis Giljum dan tim, dalam papernya.
Kajian ini menemukan, untuk Indonesia, Brasil, dan Ghana, deforestasi tropis dari pertambangan industri mencapai puncaknya pada 2010–2014, tetapi berlanjut hingga hari ini. Pertambangan batu bara di Indonesia khususnya meningkat dua kali lipat pada periode ini karena pertumbuhan produksi untuk memenuhi peningkatan permintaan dari China dan India. Cakupan perusakan hutan di Indonesia terutama terjadi di Kalimantan Timur yang kehilangan 19 persen tutupan pohonnya dalam dua dekade terakhir.
Dalam periode 2010-2014, Indonesia kehilangan hutan seluas 1.901 kilometer persegi akibat pertambangan, yang menyumbang 0,7 persen dari total kehilangan hutan seluas 267.591 kilometer persegi sejak tahun 2000. Ekstraksi batu bara di Provinsi Kalimantan Timur menjadi penyebab utama deforestasi terkait pertambangan di Indonesia.
Sementara di Brasil, deforestasi terutama disebabkan penambangan bijih besi dan emas di Negara Bagian Minas Gerais. Sementara itu, penambangan bauksit dan emas mendominasi di Ghana dan Suriname.
Dibandingkan dengan kegiatan padat lahan lainnya, seperti produksi kelapa sawit, dampak deforestasi langsung dari pertambangan ini memang relatif kecil. Namun, selain dampak langsung, industri pertambangan juga memiliki dampak tidak langsung yang meluas terhadap deforestasi.
Lebih dari dua pertiga negara yang diteliti dalam jarak 50 kilometer dari area yang ditetapkan untuk tambang mengalami tingkat deforestasi yang lebih tinggi yang tidak terkait dengan faktor lain.
Studi ini menunjukkan perlunya analisis mengenai dampak lingkungan dan persyaratan perizinan lainnya untuk industri pertambangan dengan memasukkan cakupan geografis yang lebih luas serta mencakup lebih banyak wilayah di luar wilayah konsesi proyek. Permohonan untuk proyek pertambangan baru juga tidak boleh diperiksa secara terpisah; dampak kumulatif dari proyek lain, seperti pembangunan pertanian, perlu dipertimbangkan.
”Ada berbagai kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh operasi pertambangan selain deforestasi, termasuk perusakan ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, gangguan sumber air, produksi limbah berbahaya, dan polusi,” kata Stefan Giljum, penulis utama studi tersebut yang juga profesor di Institute for Ecological Economics, Vienna University of Economics and Business, dalam keterangan tertulis.
Kami menemukan bahwa 3.264 kilometer persegi hutan hilang karena industri pertambangan, dengan 80 persen terjadi hanya di empat negara, yaitu Indonesia, Brasil, Ghana, and Suriname.
Menurut Giljum, izin pemerintah harus mempertimbangkan industri tambang dapat dengan mudah mengganggu lanskap dan ekosistem. Pertambangan industri tetap menjadi kelemahan tersembunyi dalam strategi mereka untuk meminimalkan dampak lingkungan.
Anthony Bebbington, profesor lingkungan dan Masyarakat di Sekolah Pascasarjana Geografi Universitas Clark, yang turut dalam kajian ini, mengatakan, saat ini ada tren permintaan mineral yang berkembang pesat, khususnya logam untuk energi terbarukan dan teknologi e-mobilitas, seperti nikel.
”Pemerintah dan industri harus mempertimbangkan dampak langsung dan tidak langsung dari ekstraksi. Mengatasi dampak ini merupakan alat penting untuk melestarikan hutan tropis dan melindungi mata pencarian masyarakat yang tinggal di hutan ini,” kata dia.
Pengakuan adat
Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Hutan di IPB University, yang tidak turut dalam kajian ini mengatakan, meskipun deforestasi total Indonesia telah menurun setiap tahun sejak 2015, temuan ini menekankan perlunya perencanaan tata guna lahan yang kuat untuk memastikan pertambangan tidak merusak hutan atau melanggar hak masyarakat.
Penelitian sebelumnya di Amazon, Brasil, telah menunjukkan bahwa mengakui dan menegakkan hak milik kolektif masyarakat adat dan komunitas lokal adalah salah satu cara paling efektif untuk mencegah deforestasi. Berbagai data menunjukkan, deforestasi di wilayah adat jauh lebih rendah daripada di tempat-tempat yang dikelola oleh pemerintah atau swasta lain.
Laporan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa terbaru telah menguatkan hal ini. ”Mendukung penentuan nasib sendiri masyarakat adat, mengakui hak-hak masyarakat adat dan mendukung adaptasi berbasis pengetahuan masyarakat adat sangat penting untuk mengurangi risiko perubahan iklim dan adaptasi yang efektif.”
Studi ini tidak memasukkan deforestasi langsung dari pertambangan rakyat dan skala kecil karena database global standar dengan koordinat geografis untuk operasi semacam itu belum ada dalam bentuk yang dapat dianalisis secara statistik. Tetapi, penulis menyadari bahwa penambangan rakyat dan skala kecil, serta penambangan gelap, menghasilkan kerusakan lingkungan yang signifikan yang menuntut pengawasan, tanggapan, dan perbaikan.