Lumbung Pangan Pun Ikut Hancur
Di tengah terik matahari, Juwar (29) memulai musim tanam padi di Kelurahan Makroman, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu (18/11/2018). Tak lama, raungan alat berat menggema mengiringi aktivitas Juwar.
Juwar tengah menggarap sawah milik Baharuddin (57), Ketua Kelompok Tani Tunas Muda di Makroman. Baharuddin memiliki tiga hektar sawah dan tujuh hektar kebun cabai di Makroman. “Bukan cuma deru mesin ekskavator (alat berat) yang mengganggu ketenangan kami, tapi tambang itu merongrong dan mengganggu hidup kami,” ungkap Baharuddin, saat ditemui di rumahnya, Minggu pagi.
Tambang batubara di Makroman mengepung lahan pertanian, hanya terletak sekitar 200 meter dari rumah dan sawah warga. Limbah tambang yang terbawa air hujan biasanya menggelontor masuk ke sawah dan kolam budidaya perikanan sehingga merusak padi dan membunuh ikan.
Terdapat alat berat yang bertengger di atas bukit berlumpur persis di depan rumah Baharuddin. Tambang itu berbatasan langsung dengan sawah dan kebun kelompok tani disana. Tak hanya sesekali, berulang kali bebatuan di atas bukit . Tak hanya “mengotori” lahan pertanian, tambang itu punya dampak lebih serius dari itu. “Gara-gara tambang, produksi panen kami menurun,” ujar Baharuddin.
Baca juga : Bencana Emas Hitam di Kalimantan
Pertama kali bercocok tanam tahun 2000, Baharuddin mampu memperoleh hasil panen gabah kering giling rata-rata enam ton per hektar. Namun, sejak tambang batubara beroperasi pada 2008 di Makroman, produksi tani menurun menjadi dua ton sampai empat ton per hektar tiap panen.
Tercemar
Ia menjelaskan, saat alat berat perusahaan tambang mengeruk bukit yang mengandung batubara, air hujan yang mengenai batubara hanyut mengalir ke irigasi dan masuk menggenangi sawah warga. Limbah itu menghancurkan asa petani untuk panen.
Hanya dibutuhkan waktu seminggu, lanjut Baharuddin, tanaman padi yang dibanjiri air tambang itu langsung kering dan mati. Meski tanaman padi masih bisa ditanam pada musim berikutnya, produktivitasnya merosot hanya tersisa setengah dari sebelumnya.
Warga Makroman juga harus kehilangan sumber air bersih yang rusak akibat tambang batubara. Saat musim kemarau tiba, sawah dan kebun mengering karena kekurangan air
Kerusakan lingkungan yang harus ditanggung warga tidak berhenti disitu. Sumber pendapatan warga yang lain seperti kolam budidaya perikanan juga ikut kena dampak. Kolam milik Baharuddin seluas enam hektar yang dulu dipenuhi ikan betutu, ikan emas, ikan nila, dan ikan gurame, kini tinggal cerita belaka.
Padahal, sebelumnya Baharuddin adalah pemasok ikan betutu yang diekspor hingga ke Singapura dan Jepang. “Ikan itu kena air tambang, akhirnya mati sudah. Habis semua ikan saya,” kata Baharuddin dengan nada jengkel.
Warga Makroman juga harus kehilangan sumber air bersih yang rusak akibat tambang batubara. Mereka mesti membeli air galon isi ulang untuk air minum dan memasak. Saat musim kemarau tiba, sawah dan kebun mengering karena kekurangan air.
Penyusutan lahan
Karena berbagai tekanan yang ditimbulkan akibat pertambangan, lanjut Baharuddin, luas lahan pertanian warga kemudian menyusut. Ia mengatakan, disana terdapat empat kelompok tani dengan total luas lahan 100 hektar. Namun, kini 15 hektar diantaranya sudah beralihfungsi menjadi tambang batubara, sehingga tersisa 85 hektar.
Baharuddin mengisahkan, lahan seluas 10 hektar miliknya pernah ditawar oleh perusahaan tambang dengan taksiran sekitar Rp 5 miliar. Tapi Baharuddin menolaknya.
“Bagi petani yang terhimpit keadaan yang tak menguntungkan dan tergiur uang besar, kemudian menjual tanahnya. Tapi mereka tidak sadar, sawah ini kan penghidupannya, setelah mereka menjual sawahnya, akhirnya mereka malah jadi buruh tani bukan lagi pemilik lahan,” kata Baharuddin.
Tidak hanya di Makroman, tambang batubara juga berdampak pada kehidupan warga di Desa Mulawarman, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang kebanyakan petani. Aktivitas tambang batubara telah mancaplok lahan pertanian milik warga sekaligus ruang hidup warga.
Kepala Desa Mulawarman Mulyono mengungkapkan, desanya kehilangan 600 hektar lahan sawah sejak kedatangan perusahaan tambang mulai 2003.“Dulu disini hijau, asri, banyak sawahnya, airnya bagus, jadi bagus buat pertanian. Sekarang sawah menyusut banyak, berganti menjadi tambang batubara,” ujar Mulyono.
Menurut Mulyono, dari total luas desa 1.000 hektar, sekitar 70 persen sudah berubah menjadi pertambangan batubara. Luas lahan sawah yang tersisa saat ini sekitar 60-70 hektar saja. Sisanya luas desa digunakan untuk permukiman warga. “Kami dikepung tambang. Utara, selatan, timur, barat, itu tambang semua sudah,” ujar Mulyono.
Kaltim ini adalah cermin buruk dampak pertambangan yang sangat masif
Ketua Karang Taruna Desa Mulawarman Heri Purnomo menambahkan, dulu mayoritas warga menjadi petani. Setelah tambang batubara beroperasi, banyak sawah menjadi rusak sehingga sebagian warga memutuskan menjual lahan mereka kepada perusahaan tambang dan beralih menjadi buruh tani di desa lain.
Adapun dua perusahaan tambang batubara yang beroperasi di desa itu tidak bisa menyerap seluruh warga desa menjadi pekerja tambang. Dari sekitar 3.000 orang di Desa Mulawarman, hanya sekitar lima persen warga yang menjadi pekerja tambang.
Saat ini, kebanyakan warga berkeinginan agar direlokasi ke tempat lain. Warga desa juga sudah menyampaikan ke Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara mengenai ini. Namun, hingga saat ini belum terealisasi. “Ya karena kami semua berpikir tidak memungkinkan untuk hidup layak di sini,” ucap Heri.
Penyusutan lahan sawah di Desa Makroman, Samarinda dan Desa Mulawarman, Kutai Kartanegara tersebut juga terjadi di hampir seluruh Kaltim menyusul obral izin tambang yang dikeluarkan Bupati/Wali Kota sejak 2002 hingga 2012. Akibatnya, banyak izin konsesi tambang yang dikeluarkan mencaplok lahan pertanian, perkebunan, bahkan mendesak warga keluar dari permukiman.
Kepala Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kaltim Ibrahim mengakui, lahan pertanian di Kaltim terus menyusut. Selain alih fungsi menjadi permukiman warga, penyusutan lahan sawah itu juga disebabkan oleh pembukaan kebun kelapa sawit dan tambang batubara. Namun, pihaknya tidak mengetahui seberapa luas yang terdampak. “Pada akhirnya petani yang selalu kalah,” tutur Ibrahim.
Baca juga : Pengabaian yang Berujung Petaka
Menurut data Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kalimantan Timur, luas lahan sawah pada 2017 seluas 94.410 hektar, menurun 20,21 persen dibandingkan luas sawah pada 2016 yang mencapai 118.324 hektar. Penurunan luas itu sudah terjadi sejak 2014 yang saat itu masih seluas 144.714 hektar.
Penyusutan lahan sawah itu membuat produksi padi di Kaltim terus merosot. Pada tahun 2013, produksi padi sebesar 276.188 ton beras kemudian turun menjadi 256.919 ton beras tahun 2015 dan turun lagi menjadi 224.173 ton beras pada 2017.
Akibat penurunan produksi itu, lanjut Ibrahim, membuat Kaltim kekurangan sekitar 90.000 ton beras pada 2017. “Untuk menutupi kekurangan itu, kami harus memasok dari Sulawesi Selatan,” kata Ibrahim.
Terkait pencemaran lahan pertanian, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur Nur Sigit mengatakan, perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk menunjukkan, tanah dan air bekas tambang yang digunakan untuk pertanian itu memang tercemar. “Harus dibuktikan dulu dengan riset dan laboratorium oleh universitas,” ujar Nur Sigit.
Baca juga : Bahaya Bekas Lubang Tambang
Aktivis lingkungan Kahar Al Bahri menilai, obral izin tambang batubara di Kaltim tidak hanya menuai masalah sosial tetapi juga merampas ruang hidup warga. Bahkan, warga kini harus hidup diintai bencana lingkungan seperti banjir dan longsor yang sewaktu-waktu dapat terjadi. “Kaltim ini adalah cermin buruk dampak pertambangan yang sangat masif,” kata Kahar.