Krisis Sosial Ekologis Semakin Parah Selama Pandemi
Pandemi Covid-19 ternyata tak membuat aktivitas pertambangan landai. Komunitas masyarakat di sejumlah lingkar tambang justru mengalami intimidasi dan kehilangan ruang hidup selama pandemi ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 semakin memperparah krisis sosial, ekologi, dan ruang hidup yang sebelumnya telah dihadapi warga akibat kegiatan pertambangan. Industri ekstraktif ini mengancam kesehatan ataupun kelangsungan sumber kehidupan warga di lingkar tambang.
Hal ini didapatkan dari hasil survei Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) terhadap 39 responden mewakili komunitas yang tinggal di kawasan lingkar pertambangan. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara ataupun pengisian kuesioner sejak 18 Mei hingga 12 Juni 2020.
Peneliti Jatam, Ki Bagus Hadikusuma, saat merilis hasil survei secara daring, Selasa (4/8/2020), mengatakan, hasil survei menunjukkan eskalasi permasalahan pada sejumlah komunitas di kawasan pertambangan selama pandemi.
Masalah yang paling banyak dialami adalah intimidasi dengan total 15 komunitas responden. Selain intimidasi, masalah lain yang dialami ialah perampasan lahan, bentrok fisik, konflik atau kecemburuan sosial, kriminalisasi, hingga penurunan ekonomi.
Menurut Bagus, minimnya pergerakan masyarakat akibat pandemi dan imbauan untuk tidak keluar rumah dimanfaatkan sejumlah pihak untuk merampas lahan. Mereka mematok dan mengukur batas lahan tanpa pantauan langsung masyarakat.
”Bentrok fisik juga terjadi selama pandemi karena masyarakat melakukan protes agar tidak ada lagi aktivitas di area pertambangan. Tetapi, protes tersebut semakin dihadapi perusahaan dan aparat keamanan,” ujarnya.
Bagus menyatakan, seharusnya sejumlah proyek industri ekstraktif dapat dihentikan karena kondisi kahar atau force majeure akibat pandemi, termasuk pertambangan. Proyek pertambangan yang tidak dihentikan selama pandemi dinilai akan melipatgandakan daya rusak lingkungan dan menambah kerugian.
Selain itu, hasil survei juga menyimpulkan adanya strategi dan siasat dari komunitas untuk menghadapi permasalahan akibat aktivitas atau rencana proyek pertambangan di masa pandemi. Strategi tersebut dilakukan untuk menguatkan ikatan sosial, ekonomi, dan memperpanjang ketahanan pangan warga.
Kehidupan warga
Koordinator Advokasi Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) Deborah Gultom mengatakan, saat ini seharusnya pemerintah fokus menangani pandemi Covid-19 agar kehidupan dan kesehatan masyarakat di lingkar pertambangan dapat terjamin.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Hendra Kasim, menyatakan, meski terjadi pandemi, ekonomi masyarakat di pedesaan Maluku Utara lebih kokoh karena kemandirian pangan secara turun-menurun. Namun, kondisi ini tidak bisa dinikmati masyarakat lingkar tambang karena lahan mereka sudah dikuasai korporasi.
Hendra juga mengungkapkan aktivitas pertambangan di wilayahnya masih berjalan selama pandemi. Padahal, menurut dia, terdapat ratusan kasus positif Covid-19 di Maluku Utara yang berasal dari pekerja tambang.
”Aktivitas pertambangan tidak pernah berhenti beroperasi sampai hari ini. Lebih parahnya lagi ada data (kasus Covid-19) yang berbeda antara gugus tugas provinsi dengan tim gugus internal perusahaan tambang,” ungkapnya.
Ia pun menyimpulkan pertambangan di tengah pandemi tidak hanya merugikan masyarakat secara ekonomi. Kesehatan dan kesempatan hidup layak warga juga terancam.