Bagi masyarakat adat, kebudayaan adalah laku hidup yang menjaga keseimbangan antara alam dan manusia. Pesan ini mereka sampaikan pada forum G20 bidang kebudayaan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Setelah menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan berhari-hari, para perwakilan masyarakat adat se-Indonesia tiba di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Mereka bercerita macam-macam soal budayanya di kampung, mulai dari tanaman obat, pertanda alam, hingga warna punggung ikan.
”Beliau ini hebat. Perjalanan jauh begitu, tapi tidak muntah-muntah. Saya saja muntah,” kata Ali Umran, Wali Kepala Desa Matotonan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin (12/9/2022).
Ia merujuk pada Martinus Amandeun, lelaki berkeriput di sebelahnya yang menjabat sebagai sikerei kampung. Sebagian orang memahami sikerei sebagai dukun, tapi Martinus dan Ali menjelaskan bahwa sikerei adalah kepala ritual adat. Sikerei juga dipercaya sebagai dokter kampung karena wawasannya tentang tanaman obat. Sambil bercanda, sikerei Martinus mengaku tidak muntah di jalan berkat tanaman obat.
Perjalanan Martinus dan Ali memang melelahkan. Mereka menghabiskan waktu enam hari berkendara dengan mobil, kapal pong-pong, feri, dan bus untuk tiba di Magelang. Kehadiran mereka untuk memenuhi undangan acara puncak G20 bidang kebudayaan di Borobudur. Ada puluhan perwakilan masyarakat adat lain dari sejumlah daerah yang hadir.
Masyarakat adat diberi kesempatan menyuarakan aspirasi, khususnya soal kebudayaan, di forum ini. Suara mereka lantas diberikan ke para menteri kebudayaan negara G20 pada Pertemuan Menteri Kebudayaan G20, Selasa (13/9/2022).
Pendapat masyarakat dianggap penting karena kebudayaan bakal dijadikan dasar membangun kehidupan berkelanjutan di masa depan. Gagasan ini diajukan Indonesia saat presidensi G20 tahun 2022. Negara-negara G20 telah menyepakati gagasan tersebut.
Pegetahuan leluhur
Prinsip hidup berkelanjutan sebetulnya diajarkan nenek moyang melalui kebudayaan. Pengetahuan soal tanaman obat yang dimiliki Martinus, misalnya, merupakan ajaran leluhur yang diwariskan melalui tuturan dan ”praktik lapangan”.
Martinus beruntung karena tanaman obat masih mudah ditemukan. Kebetulan daerah tempat tinggalnya termasuk kawasan taman nasional yang menjamin perlindungan alam.
Sementara itu, beberapa orang di daerah lain mulai kesulitan mencari tanaman obat karena hutan rusak. Hal ini bukan hanya kabar buruk bagi biodiversitas. Jika tanaman obat hilang, hilang pula pengetahuan lokal masyarakat.
Adapun masyarakat Dayak Iban di Kalimantan Barat percaya bahwa tanah adalah mama, hutan adalah papa, dan air adalah darah. Jika satu unsur saja rusak, dua unsur lain akan ikut rusak. Berbagai upaya pun dilakukan untuk memperjuangkan kelestarian alam.
Setelah lebih dari 20 tahun, hutan adat masyarakat Dayak Iban seluas lebih dari 9.000 hektar diakui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020. Pemerintah kabupaten setempat juga mengakui masyarakat adat pada 2019.
”(Masyarakat) Sungai Utik sudah aman, tapi masyarakat adat lain belum. Jika mereka belum aman dan alamnya rusak, ini akan berpengaruh ke kita semua,” kata masyarakat Dayak Iban, Herkulanus Sutomo Manna.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ada 76.155,67 hektar hutan adat yang ditetapkan. Dari angka ini, tidak ada hutan adat yang ditetapkan di Papua dan Papua Barat (Kompas, 6/6/2022).
Serakah
Herkulanus dan Tuai Rumah Sungai Utik, Bandi, berpendapat, bumi saat ini sakit karena keserakahan manusia. Manusia lupa berterima kasih pada alam yang telah menghidupi mereka. Manusia juga suka lupa bahwa bumi bukan benda mati sehingga apa pun yang mau dilakukan mesti sesuai restu alam.
”Setelah minta izin untuk berbuat sesuatu, alam akan memberikan pertanda. Bunyi burung ketupung yang lambat artinya bagus, bunyi cepat artinya tidak bagus. Suara pohon tumbang juga bukan pertanda bagus,” ucap Bandi.
Menurut kepala kewang di Pulau Haruku, Ambon, Eliza Marthen Kissya, sumber daya yang disediakan alam mesti dikelola agar berkelanjutan. Kuncinya adalah peka membaca tanda alam serta memberikan waktu bagi alam untuk pulih setelah sumber dayanya diambil.
Masyarakat Haruku menghindari mengambil ikan yang belum bertelur untuk menjaga habitat ikan. Agar tidak salah tangkap, mereka memperhatikan warna punggung ikan. Jika warnanya kecoklatan, artinya ikan sudah selesai bertelur sehingga bisa diambil.
Ini adalah nanako alias pengetahuan lokal warisan nenek moyang. Pengetahuan ini umumnya tidak diajarkan di institusi pendidikan. Peran masyarakat adat penting untuk menjamin kebudayaan berikut pengetahuan lokal diterima generasi berikutnya. Hal ini sesuai tujuan pertemuan G20 bidang kebudayaan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, kebudayaan mengandung kearifan lokal yang dapat menjadi referensi hidup berkelanjutan. Dengan sisipan teknologi dan sains, kebudayaan akan diadaptasi ke laku hidup masa depan.
Sementara itu, Ketua Dewan Adat Dayak di Kecamatan Siding, Kalimantan Barat, Gunawan berharap agar pemerintah memperhatikan masyarakat adat. Sebab, masyarakat adatlah garda depan penjaga kebudayaan dan alam. Kunci menjadikan kebudayaan sebagai dasar hidup berkelanjutan pun ada di tangan masyarakat adat.