Dukun, Pengobatan Alternatif, dan Sistem Kesehatan Kita
Pengobatan alternatif masih menjadi pilihan masyarakat. Ada yang berhasil, ada yang gagal. Negara bertanggung jawab melindungi masyarakat dari praktik pengobatan tradisional yang tidak jelas manfaat dan keamanannya.
Perdukunan dan pengobatan alternatif masih menjadi pilihan masyarakat Indonesia untuk sembuh. Namun, pembinaan dan pengawasan negara terhadap praktik kesehatan tradisional masih lemah. Pembangunan nalar dan budaya sehat serta perbaikan layanan kesehatan menjadi kunci mencegah makin banyak orang sakit jadi korban penipuan berkedok pengobatan alternatif.
Bermula dari konflik konten Youtube ”Pesulap Merah” Marcel Radhival dengan ahli spiritual dan pengobatan yang disapa Gus Samsudin membuat Persatuan Dukun Indonesia melaporkan Pesulap Merah ke polisi, 10 Agustus 2022. Video Pesulap Merah yang membongkar trik palsu perdukunan dianggap menyudutkan dan menghina dukun serta mengurangi kliennya.
Terlepas dari konflik tersebut, praktik perdukunan nyatanya makin marak di Indonesia. Layar televisi dan media sosial banyak menayangkan praktik-praktik perdukunan dengan kedok pengobatan alternatif atau acara keagamaan. Banyak kesaksian keberhasilan penyembuhan, tetapi tak sedikit yang tidak merasakan kesembuhan dan merasa ditipu tetapi diam dan pasrah.
Tingginya tingkat pendidikan, membaiknya kesejahteraan, meningkatnya layanan kesehatan modern, termasuk tersedianya akses pembiayaan kesehatan, tidak serta-merta menyurutkan perdukunan di Indonesia. Mereka yang terdidik dan memiliki sumber daya besar untuk mengakses layanan kesehatan modern yang baik pun tak ragu mencari pengobatan alternatif, termasuk untuk pengobatan penyakit degeneratif kronis.
Simak juga: Mengulik Fenomena Dukun di Indonesia
Irfan Ardani dalam jurnal Lakon, Juli 2013, menulis, dukun dan cara pengobatan tradisionalnya eksis di era modern karena masih ada masyarakat yang memercayainya. Keunggulan dukun adalah pola pengobatannya simpel dan bersifat universal, bisa menyembuhkan semua jenis penyakit. Sebaliknya, pengobatan modern justru mengarah ke spesialisasi, satu dokter untuk satu penyakit, yang berimbas pada besarnya sumber daya yang harus dikeluarkan pasien.
Di sisi lain, dengan segala kemajuan dan peningkatakan kesejahteraan, sebagian masyarakat Indonesia sejatinya masih termasuk masyarakat tradisional. Sosiolog Talcott Parsons menyebut ciri masyarakat tradisional, antara lain, masih mempertahankan adat istiadat dan belum terlalu dipengaruhi perubahan dari luar.
Dari kondisi itu, sebagian masyarakat masih memercayai bahwa setiap penyakit pada manusia disebabkan oleh makhluk gaib. Konservatisme agama makin memperkuat keyakinan ini. Akibatnya, tayangan pengobatan alternatif dengan pembacaan mantera atau ayat-ayat kitab suci yang menyaru sebagai acara keagamaan laris manis di berbagai media dan acara.
Semangat pelestarian pengobatan tradisional sebagai antitesis dari globalisasi juga memunculkan pengobatan alternatif berbasis herbal yang dipercayai lebih baik dibandingkan pengobatan kimia modern. Pengobatan herbal makin populer karena banyak dokter turut mempromosikannya meski banyak di antaranya belum memiliki bukti ilmiah yang kuat.
Luas
Sebagai pemberi layanan pengobatan tradisional, dukun memiliki makna luas. Efrianto di jurnal Suluah, Juni 2018, setidaknya mengklasifikasi dukun dalam beberapa kelompok, seperti dukun obat, dukun bayi, dukun bersalin, dukun patah tulang, dukun pijat atau dukun urut, hingga dukun penangkal ilmu hitam.
Beragamnya jenis dukun membuat metode layanannya pun beraneka jenis. Ada dukun yang mengobati dengan keterampilan seperti dukun pijat, dukun bayi atau dukun persalinan; dengan pengetahuan herbal; dengan mantera atau ayat-ayat di kitab suci; serta gabungan berbagai metode tersebut.
Di masa lalu, perdukunan muncul karena adanya kepercayaan terhadap dukun dari masyarakat sekitar. Status dan kemampuan dukun diperoleh dari warisan atau turun-temurun, pertapaan, mendapat ilham atau mimpi, hingga melalui proses belajar.
Wilayah kerja dukun lebih terbatas hingga kepercayaan terhadap dukun bisa lebih dijaga. Dukun dan klien umumnya berasal dari kelompok yang sama, hingga semangat menolong dalam pengobatan sangat kentara. Bahkan, dukun di sejumlah wilayah pun mengenal sistem rujukan kepada dukun yang lebih ahli.
Dukun dan cara pengobatan tradisionalnya eksis di era modern karena masih ada masyarakat yang memercayainya.
Perkembangan transportasi serta teknologi komunikasi dan informasi membuat info dukun yang dianggap manjur menyebar lebih masif. Orang berlomba mendatangi dukun yang tenar dari mulut ke mulut, melalui siaran televisi, atau viral di media sosial, tanpa adanya ikatan sosial yang kuat. Relasi yang dibangun pun akhirnya lebih ke relasi ekonomi.
Membeludaknya klien membuat sebagian dukun yang populer akhirnya menetapkan biaya pengobatan yang tidak murah, sampai jutaan. Belum biaya obat atau ramuan, penginapan jika harus menunggu antrean pemeriksaan atau dipantau kondisinya, hingga biaya perjalanan. Masyarakat rela membayar mahal karena ingin cepat sembuh atau minimal sebagai ikhtiar yang harus mereka jalani.
Semakin besar harapan, maka makin besar pula kekecewaan. Banyak masyarakat berharap cukup sekali ke dukun maka mereka bisa langsung sembuh seperti sediakala. Masyarakat sulit berpikir panjang sehingga susah memahami bahwa kesehatan adalah rangkaian proses dan upaya panjang, bukan sulap yang bisa langsung membalik keadaan seketika.
Akomodasi
Pemerintah sudah mengakomodasi pengobatan tradisional dalam sistem kesehatan Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pelayanan kesehatan tradisional yang diakomodasi adalah pengobatan atau perawatan dengan ramuan atau cara yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan empiris, diwariskan turun-temurun, dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak bertentangan dengan norma agama.
Pelayanan kesehatan tradisional berbasis ramuan antara lain berupa jamu, gurah, homeopati, aroma terapi, spa terapi, dan metode sejenis. Untuk yang berbasis cara atau keterampilan, bentuk layanannya seperti akupunktur, chiropraksi, pijat urut, shiatsu, patah tulang, dukun bayi, sunat tradisional, refleksi, akupressur, bekam, apiterapi, penata kecantikan kulit/rambut, tenaga dalam, paranormal, reiki, qigong, kebatinan atau metode serupa.
Di tingkat internasional, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada November 2008 menyatakan, pelayanan kesehatan tradisional yang aman dan bermanfaat dapat diintegrasikan ke dalam sistem layanan kesehatan. Resolusi Majelis Kesehatan Dunia (WHA) 2009 pun meminta WHO agar negara-negara mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional sesuai kondisi setempat.
Kementerian Kesehatan memiliki regulasi yang cukup lengkap tentang pelayanan kesehatan tradisional. Untuk penapisan metode pelayanan kesehatan tradisional di masyarakat serta membuktikan manfaat dan keamanan metode yang digunakan, pemerintah memiliki Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional di 11 provinsi.
Kerja sama dengan asosiasi pengobat tradisional pun sudah digalang, seperti dengan Forum Komunikasi Paranormal dan Penyembuh Alternatif Indonesia (FKPPAI) dan Asosiasi Therapi Tenaga Dalam Indonesia (Atteda). Pengobat tradisional yang berpraktik pun harus memiliki surat izin/terdaftar pengobat tradisional (SIPT-STPT) dari dinas kesehatan setempat.
Baca juga: Orang Indonesia Percaya Dukun setingkat dengan Ilmuwan
Namun, implementasi aturan tentu tidak mudah. Di lapangan, praktik penyehat tradisional yang tidak terstandar dan tidak memilki STPT kian marak. Standardisasi penyembuhan dengan akupunktur, pijat, atau herbal mungkin lebih mudah dilakukan, tetapi membuat standar untuk penyembuhan dengan mantera atau ayat kitab suci tentu lebih menantang.
Belum optimalnya pembinaan dan pengawasan layanan kesehatan tradisional itu membuat banyak masyarakat menjadi korban. Memang ada sejumlah kesaksian dan klaim keberhasilan penyembuhan, tetapi yang tidak berhasil umumnya hanya diam. Karakter masyarakat yang nrimo membuat mereka hanya pasrah dan menerimanya sebagai takdir, sama seperti ketika mereka tidak puas dengan pengobatan modern.
Dukungan pemerintah daerah pun kurang mengingat tidak mudah juga bagi aparat kesehatan di daerah membuat standar dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional. Selain itu, layanan kesehatan tradisional luar negeri pun sudah banyak yang mengembangkan layanannya hingga ke daerah-daerah, baik pengobatan tradisional China, Korea, India, maupun Arab.
Untuk mengatasi semua itu, selain memperbaiki dan memperkuat layanan kesehatan tradisional, pemerintah perlu terus membangun logika masyarakat tentang pengobatan modern. Peningkatan kualitas layanan kesehatan modern di fasilitas kesehatan pemerintah pun mendesak diperbaiki. Alasan masyarakat menjauhi pengobatan modern bukan hanya karena takut dengan vonis penyakitnya atau harga yang mahal, tetapi buruknya komunikasi di sebagian fasilitas kesehatan pemerintah.
Baca juga: Menguatkan Akses dan Kualitas Kesehatan Publik
Layanan yang tidak ramah, judes, tidak empatik, hingga informasi yang sepotong-potong masih mudah ditemukan di sejumlah fasilitas kesehatan. Sikap itu pula yang membuat sebagian pasien enggan berobat meski memiliki jaminan kesehatan dan tidak memiliki kendala jarak dengan fasilitas kesehatan. Layanan kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah yang ramah dan simpatik perlu terus diduplikasi dan diperluas sebarannya.
Masyarakat memang memiliki hak untuk memilih jenis layanan kesehatan yang diinginkan, termasuk memilih dan mengkases layanan kesehatan tradisional yang dipercayainya. Namun, negara juga berkewajiban memberikan layanan kesehatan modern yang berkualitas serta menjamin manfaat dan keamanan dari layanan kesehatan tradisional yang banyak tersebar di masyarakat.