Menguatkan Akses dan Kualitas Kesehatan Publik
Pandemi Covid-19 telah mempercepat perkembangan layanan kesehatan jarak jauh. Namun, ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dibenahi agar praktik ini bisa meningkatkan kualitas dan mengurangi ketimpangan akses.
Layanan kesehatan jarak jauh telah ada selama beberapa dekade terakhir, tetapi pandemi Covid-19 telah mempercepat perkembangannya. Namun, ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dibenahi di Indonesia agar praktik ini bisa meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan kepada publik.
Selama pandemi, pelayanan kesehatan jarak jauh atau telehealth menjadi sangat berguna. Karena kebanyakan mereka yang terinfeksi Covid-19 tidak perlu dirawat di rumah sakit dan bisa menjalani perawatan sendiri di rumah, konsultasi jarak jauh menjadi sangat berguna.
Dengan menggunakan perangkat lunak, penyedia layanan kesehatan jarak jauh dapat berbicara dengan pasien, melakukan diagnosis dan perawatan, serta meresepkan obat secara digital.
Tak hanya bermanfaat bagi mereka yang terpapar Covid-19, layanan ini juga bermanfaat untuk mencegah penyebaran virus. Selain itu, isolasi mandiri, dengan pantauan jarak jauh dari tenaga kesehatan, bisa mengurangi beban fasilitas kesehatan yang kewalahan dengan pasien.
Jika telemedicine secara khusus merujuk pada layanan klinis dan pengobatan melalui sarana jarak jauh, telehealth mencakup semua komponen dan aktivitas perawatan kesehatan dan sistem perawatan kesehatan yang dilakukan melalui teknologi telekomunikasi.
Selain layanan klinis, edukasi kesehatan, konsultasi kesehatan tanpa mesti mengirim obat, hingga pemantauan dengan perangkat yang dapat merekam dan mengirimkan tanda-tanda vital, asalkan dilakukan secara jarak jauh, bisa dikategorikan sebagai telehealth (NEJM Catalyst, 2018).
Sederhananya, telehealth menggunakan teknologi komunikasi untuk memberikan layanan kesehatan kepada pasien tanpa harus berada di lokasi fisik yang sama, dengan menggunakan obrolan video melalui aplikasi atau webcam, telepon, atau perangkat lunak konferensi video, bahkan juga pesan singkat.
Sebelum pandemi, layanan kesehatan jarak jauh umumnya dibuat untuk mendukung pasien dari perdesaan dan yang kurang terlayani mendapatkan akses kepada spesialis ketika bantuan lokal sangat terbatas. Namun, seiring dengan adanya pandemi, telehealth berkembang sangat pesat, terutama di perkotaan.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), pemanfaatan telehealth melonjak lebih dari 154 persen pada akhir Maret 2020 dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019. Selain itu, pasar telehealth tumbuh pesat, sehingga menurut prediksi Oleg Bestsenny dari McKinsey (2020), telehealth sekarang menjadi bagian penting dari masa depan pemberian layanan kesehatan.
Selain memunculkan sejumlah layanan kesehatan daring yang bersifat komersial, artinya pasien harus membayar kepada penyedia jasa, pandemi Covid-19 juga melahirkan pelayanan kesehatan jarak jauh secara gratis.
Sebagai contoh, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKM UGM) bersama Sonjo, gerakan kemanusiaan bagi warga Yogyakarta yang terdampak Covid-19, dan Keluarga Alumni UGM Kedokteran (Kagamadok) yang menyediakan layanan konsultasi dokter gratis secara daring kepada pasien Covid-19 pada puncak gelombang Delta, Juli 2021.
Berikutnya, LaporCovid-19 juga memberikan layanan konsultasi kesehatan gratis untuk pasien isolasi mandiri (isoman). Selain dokter, mereka menyediakan jasa konsultasi dengan psikolog.
Bahkan, hal ini juga dilakukan secara perorangan, misalnya dokter Riyo Pungki Irawan, alumnus FKKM UGM. Dokter di Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito ini sejak 7 Juli 2021 memberikan konsultasi gratis kepada pasien isoman menggunakan aplikasi Whatsapp. Dalam sehari dia mendapatkan ratusan chat yang minta konsultasi, menunjukkan tingginya kebutuhan masyarakat saat itu.
Tak hanya terkait Covid-19, menurut Anis Fuad, peneliti dan dosen di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKM UGM yang mendalami kesehatan digital ini, selama pandemi telehealth di Indonesia juga dipraktikkan untuk layanan kesehatan lain. ”Selama pandemi, petugas kesehatan di Puskesmas Melati, Sleman, menggunakan grup Whatsappuntuk menemukan dan melayani konsultasi ibu-ibu hamil,” katanya.
Sejumlah pekerjaan rumah
Layanan kesehatan jarak jauh terbukti tak hanya berguna untuk situasi pembatasan mobilitas selama pandemi, tetapi juga memiliki segudang manfaat lain yang diberikan pengobatan jarak jauh. Hal itu membuatnya memiliki masa depan cerah.
Sebagai contoh, praktik ini bisa memotong biaya perjalanan, memantau pasien secara akurat di rumah, menghemat waktu baik bagi pasien maupun tenaga kesehatan, serta meningkatkan hubungan komunikasi yang lebih baik antara pasien dan dokter.
Sekalipun dianggap sangat menjanjikan, pelayanan kesehatan jarak jauh di Indonesia menyisakan banyak pekerjaan rumah. Anis Fuad mengatakan, dari sisi regulasi, banyak yang belum jelas.
”Pasien telehealth juga belum bisa bayar melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, terutama untuk layanan rawat jalan. Aturan Kementerian Kesehatan terkait telehealth konteksnya masih pandemi, belum untuk masalah kesehatan yang lain," tuturnya.
Pandemi ini peluang besar untuk mengubah ekosistem layanan kesehatan, salah satunya melalui telehealth yang diharapkan bisa meningkatkan akses layanan publik. ”Sekarang sudah ada beberapa start up (usaha rintisan)yang membuat layanan kesehatan jarak jauh. Ada dokter-dokter yang kerja di sana, tetapi belum jelas, ini aplikasi di bawah kewenangan siapa. Apakah Kemenkes bisa mengawasi? Belum tentu," ujarnya.
Anis juga melihat belum ada penjaminan mutu yang memadai dalam praktik telehealth di Indonesia. Misalnya, jika ada pasien mengontak dokter, lalu tidak direspons cepat atau bahkan sampai ada kesalahan diagnosis atau obat, pertanggungjawabannya menjadi rumit. Apakah ini di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Teknologi Elektronik, atau di bawah Kementerian Kesehatan.
”Di Amerika Serikat, dokter yang memberikan layanan telehealth harus tersertifikasi dan melewati pelatihan khusus. Hal ini belum ada di Indonesia dan menjadi tantangan ke depan,” ujarnya.
Penasihat Senior Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Bidang Jender dan Pemuda Diah Saminarsih memiliki perspektif lain. Selain meningkatkan kualitas layanan kesehatan, telehealth harus bisa menjawab masalah ketimpangan akses kesehatan. Jangan sampai telehealth justru memicu jurang dalam layanan kesehatan, misalnya hanya bisa terakses masyarakat perkotaan.
Maka, pengembangan telehealth ke depan seharusnya juga diintegrasikan dengan peningkatan kapasitas layanan kesehatan primer. ”Sebagaimana berulang kali disampaikan WHO, dari pandemi ini kita harus membenahi kualitas layanan primer,” katanya.
Anis mengatakan, jika sejumlah rumah sakit swasta cenderung mengalami peningkatan telekonsultasi, layanan kesehatan jarak jauh yang telah dirintis Kemenkes sebelum pandemi justru mengalami stagnasi.
”Sebelum pandemi, sudah ada keputusan Menteri Kesehatan tentang telemedicine antar-rumah sakit, telekonsultasi, teleradiologi, tele-EKG, tele-USG untuk mendukung pelayanan di daerah terpencil. Ini juga sudah disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, namun belum ada perkembangan selama pandemi,” ujarnya.
Menurut dia, upaya untuk meningkatkan akses kesehatan, termasuk melalui layanan jarak jauh, juga membutuhkan dukungan infrastruktur dan tenaga kesehatan. Sementara itu, di daerah terpencil, selain dukungan infrastruktur telekomunikasi dan listrik yang terbatas, dokter spesialis yang bisa mengoperasikannya juga terbatas.
Jadi, untuk menjadikan telehealth sebagai jawaban atas masalah ketimpangan dan memperbaiki akses layanan kesehatan untuk semua perlu diikuti dengan pemerataan infrastruktur dan tenaga kesehatan yang memadai. Jika tidak dilakukan, hal ini justru akan memicu ketimpangan yang kian melebar.