Perubahan gaya hidup dan berkurangnya sumber pangan yang tersedia di hutan mengancam keberlangsungan populasi Punan Batu.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
BULUNGAN, KOMPAS — Populasi komunitas Punan Batu, pemburu peramu terakhir di Kalimantan, cenderung menurun. Perubahan gaya hidup yang tiba-tiba, termasuk di antaranya karena dipengaruhi berkurangnya sumber pangan di hutan, berkontribusi terhadap menurunnya kesehatan dan memicu tingginya kematian anak di bawah lima tahun.
Peneliti genetika populasi Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN), Pradiptajati Kusuma, Senin (5/9/2022), mengatakan, hasil pengurutan DNA menunjukkan populasi Punan Batu yang tinggal di hutan Sajau Banau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, secara genetika sangat unik. ”Punan Batu memiliki leluhur yang sangat tua, dibandingkan penutur Austronesia yang membawa budaya agrikultur ke wilayah Kalimantan, termasuk ke orang Dayak. Punan Batu tidak memiliki genetika Austronesia,” katanya.
Temuan ini, menurut Pradiptajati, memberikan bukti baru, selain kedatangan Austronesia ke Indonesia sekitar 4.500 tahun lalu dan datangnya leluhur Papua atau Australomelanesia sekitar 50.000 tahun lalu, leluhur Punan Batu telah tiba di Kalimantan setidaknya 8.000 tahun lalu.
Terlihat bahwa dari segi genetik mereka memiliki persaudaraan yang sangat dekat satu sama lain. Itu bisa berbahaya jika muncul penyakit genetik.
Keunikan lain dari Punan Batu, menurut Pradiptajati, kelompok ini masih mempertahankan budaya hidup berpindah-pindah di hutan untuk berburu dan meramu. Padahal, kelompok Punan yang lain, seperti Punan Tubu dan Punan Aput, juga di Kalimantan Utara, telah hidup menetap.
Pradiptajati menambahkan, dari genetik juga bisa disimpulkan tradisi berburu dan meramu di kalangan Punan Batu ini merupakan kontinuitas. Jadi tradisi ini bukan reverse culture atau pembalikan budaya dari yang sebelumnya bercocok tanam kembali ke berburu dan meramu.
”Ini adalah produk evolusi yang panjang. Mereka beradaptasi dengan gaya hidup ini, ketergantungan pada hutan dan keberagaman sumber pangan liar. Pola diet ini memengaruhi tubuh mereka, selain aktivitas untuk terus bergerak,” katanya.
Pradiptajati mengatakan, perubahan gaya hidup dari yang semula hidup berpindah-pindah tiba-tiba di kalangan Punan Batu, dinilai berisiko besar pada kesehatan mereka. Hal ini dinilai meningkatkan risiko bagi keberlanjutan hidup Punan Batu.
Kematian anak balita
Menurut Pradiptajati, analisis timnya menemukan jumlah populasi efektif Punan Batu di Sajau Benau, Bulungan cenderung menurun. ”Terlihat bahwa dari segi genetik mereka memiliki persaudaraan yang sangat dekat satu sama lain. Itu bisa berbahaya jika muncul penyakit genetik,” katanya.
Pendataan oleh Pradiptajati dan tim menemukan setidaknya 33 keluarga atau sekitar 105 orang Punan Batu saat ini masih hidup berpindah-pindah di hutan Sajau Banau. Tidak menutup kemungkinan masih ada kelompok Punan Batu yang masih di hutan, tetapi belum terdata.
Makruf, kepala keluarga Punan Batu, mengatakan, jumlah penduduk di kelompoknya yang tinggal di Sajau Banau cenderung tetap, bahkan menurun, dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini di antaranya karena tingginya kematian anak-anak, terutama yang berusia di bawah lima tahun.
”Kebanyakan anak meninggal saat baru lahir sampai lima tahun. Biasanya sakit demam, dan kalau sudah panas tinggi sulit selamat,” katanya.
Selain itu, kematian bayi baru lahir juga tinggi. Pohop, seorang perempuan Punan Batu, mengatakan, hampir setiap ibu pernah mengalami kehilangan bayi, bahkan keguguran. ”Baru bulan lalu di sini ada bayi baru lahir yang meninggal,” katanya.
Selain aktivitas fisik yang tinggi, termasuk di kalangan perempuan, menurunnya ketersediaan sumber pangan liar di hutan juga berperan meningkatkan risiko kematian anak dan bayi. Pada saat yang sama, konsumsi bahan makanan dari luar, termasuk beras, gula, dan rokok semakin tinggi. ”Dulu tidak sesering ini anak-anak dan bayi meninggal,” katanya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, hingga saat ini masyarakat Punan Batu ini belum terlayani fasilitas kesehatan ataupun pendidikan. Orang Punan Batu yang hendak berobat ke fasilitas kesehatan harus ke kota yang bisa ditempuh dengan jalan kaki, disambung berperahu dan menumpang mobil.
Masyarakat Punan Batu ini umumnya tinggal di pondok-pondok dari kayu atau di ceruk-ceruk goa, dan secara kontinu berpindah-pindah mengikuti keberadaan sumber makanan. Biasanya mereka akan menetap di satu lokasi sekitar dua hingga empat minggu.