Cek Tanda Zodiakmu, Masih Sama atau Sudah Berubah?
Tanda zodiak sesuai pengamatan astronomi modern sudah bergeser. Namun, masyarakat masih banyak menggunakan perhitungan versi astrologi. Jika dalam astrologi ada 12 zodiak, dalam astronomi ada 13 zodiak.
Zaman boleh modern dan serba digital. Namun, kepercayaan pada zodiak, khususnya pada generasi Z, masih sangat kuat. Sebagian untuk lucu-lucuan atau sekadar ikutan tren di media sosial. Namun, banyak pula yang meyakini ilmu titen ala Barat tersebut, khususnya dalam menilai karakter seseorang.
Zodiak adalah jantung dalam ilmu astrologi, ilmu perbintangan kuno yang hingga kini masih digunakan. Ada 12 tanda zodiak yang mengacu pada 12 rasi bintang yang umumnya diberi nama hewan sesuai mitologi Romawi dan Yunani. Zodiak itu membentuk sabuk di langit dan terbentang sekitar 8 derajat di sebalah utara atau selatan jalur pergerakan Matahari di langit.
Dalam astrologi, gerak benda-benda langit, khususnya Matahari, Bulan, planet dan rasi bintang itu diamati untuk menilai karakter dan nasib seseorang hingga meramal masa depan. Perubahan posisi benda-benda langit itu diamati menggunakan bagan yang disebut horoskop.
Dari kacamata logika ilmiah yang berkembang saat ini, menentukan nasib seseorang dengan mengamati perubahan gerak benda langit tentu dianggap tidak logis atau tidak masuk akal. Karena itu, astrologi dianggap pseudosains alias sains semu. Sementara ilmu yang mempelajari gerak langit yang termasuk sains adalah astronomi.
Baca juga: Riwayat Astrologi China dan Ramalan Shio
Meski demikian, suka tidak suka, masih banyak orang yang memercayai astrologi, termasuk generasi Z yang merupakan warga asli digital. Orang menyukai ramalan, seperti ditulis Kompas, 4 Januari 2020, karena otak manusia tidak suka dengan ketidakpastian. Dengan ramalan, manusia menjadi lebih antisipatif, khususnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Penemuan zodiak
Konsep astrologi dengan menggunakan 12 tanda zodiak seperti sekarang diperkirakan sudah digunakan bangsa Babilonia, di sekitar Irak dan Suriah saat ini, sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi (SM).
Akan tetapi, pola pengembangan zodiak melalui pembagian lingkaran langit untuk 12 zodiak secara sama, menurut John Steele di jurnal Mediterranean Archaeology and Archaeometry Volume 18 Nomor 4, 2018, sudah ada pada abad ke-5 SM hingga kemudian menyebar ke berbagai peradaban kuno lainnya, seperti Yunani, Romawi, dan Mesir.
Robert Lea di Space, 31 Agustus 2022, menulis, penentuan waktu setiap zodiak ditentukan berdasarkan waktu kemunculan Matahari di depan rasi bintang tertentu. Lintasan semu Matahari melintasi konstelasi bintang itu sejatinya adalah garis ekliptika, yaitu jalur edar Bumi mengelilingi Matahari alias garis semu Matahari mengelilingi Bumi.
Karena satu keliling bidang langit memiliki panjang 360 derajat dan ada 12 tanda zodiak, lebar atau rentang jarak yang ditempuh di setiap zodiak sama dengan 30 derajat. Jarak yang sama itu membuat panjang waktu untuk semua zodiak selalu sama, sekitar satu bulan.
Titik awal dari sabuk zodiak itu didefinisikan sebagai titik balik musim semi di belahan Bumi utara atau disebut sebut ekuinoks Maret. Titik yang sudah diketahui sejak tahun 600 SM ini sejatinya merupakan perpotongan antara bidang ekliptika dan ekuator langit. Saat itu, hingga setidaknya 2.200 tahun yang lalu, perpanjangan dari titik balik musim semi itu mengarah ke rasi Aries sehingga titik ini disebut juga titik Aries.
Karena itu, rasi Aries dalam bidang ekliptika menempati posisi 0 derajat sampai 30 derajat. Selanjutnya disusul Taurus yang berada pada posisi 30 derajat hingga 60 derajat hingga zodiak Pisces di posisi 330 derjat sampai 360 derajat.
Tanda-tanda zodiak yang digunakan saat ini tidak lagi selaras dengan posisi Matahari atau waktu saat Matahari melintasi zodiak bintang tersebut.
Saat itu, waktu Matahari melintasi Aries dipatok antara 20 Maret sampai 20 April. Dalam rentang waktu Matahari melintasi Aries itu, otomatis Aries justru tidak bisa dilihat di langit malam. Sementara untuk Taurus, Matahari lewat di depannya diperkirakan antara 21 April hingga 21 Mei dan untuk Pisces antara 21 Februari hingga 19 Maret.
Rotasi atau perputaran Bumi pada porosnya membuat bentuk bola Bumi menjadi lebih menggembung atau menonjol di sekitar khatulistiwa alias mirip bulat telur. Akibatnya, lingkar Bumi yang melintasi khatulistiwa menjadi lebih panjang dibandingkan lingkaran Bumi yang melalui kutub-kutub Bumi.
Selama mengelilingi Matahari, gravitasi Bulan, Matahari, dan planet-planet lain juga akan memengaruhi Bumi. Gaya gravitasi benda-benda langit tersebut bekerja lebih kuat pada bagian Bumi yang lebih menonjol atau di sekitar khatulistiwa. Akibatnya, arah poros atau sumbu rotasi Bumi bergeser yang disebut presesi.
Pergeseran itu mudah diamati dari perubahan arah sumbu rotasi berdasarkan perubahan latar belakang bintangnya. Pergeseran arah sumbu rotasi itu membuat arah kutub utara tidak menunjuk satu titik yang sama, tetapi akan bergerak membentuk siklus tertentu. Arah titik sumbu rotasi Bumi itu akan kembali ke titik yang sama setelah 25.800 tahun dan membentuk satu siklus.
Selama 2.500 tahun terakhir, titik Aries yang merupakan perpotongan bidang ekliptika Bumi dan khatulistiwa langit telah bergeser ke arah barat dari bidang ekliptika sejauh 36 derajat atau sepersepuluh panjang lingkar ekliptika.
Presesi itu juga menggeser waktu ekuinoks Bumi, yaitu saat Matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa. Pada saat terjadi ekuinoks, seperti dikutip dari Time and Date, sumbu rotasi Bumi tidak mengarah atau menjauhi Matahari. Di masa ini, waktu siang dan malam hari di seluruh permukaan Bumi sama panjangnya.
Dalam setahun, ekuinoks terjadi dua kali, yaitu ekuinoks Maret dan ekuinoks September. Ekuinoks Maret menandai datangnya musim semi di belahan Bumi utara dan biasanya terjadi antara 19-21 Maret. Sementara ekuinoks September menandai tibanya musim gugur di belahan Bumi utara dan biasanya terjadi antara 22-24 September.
Baca juga: Ramalan Bintang Tak Pernah Mati
Karena waktu dan posisi ekuinoks ini bergeser akibat presesi, rasi-rasi bintang yang menjadi tanda astrologi juga bergeser sekitar sepersepuluh lingkar ekliptika ke arah barat. Akibatnya, saat Matahari melintasi rasi-rasi bintang tersebut, waktunya pun berubah, lebih lambat kurang dari sebulan dibandingkan dengan yang dirancang atau ditetapkan dalam astrologi lebih dari 2.000 tahun yang lalu.
Namun, horoskop maupun ramalan bintang di media tidak mengikuti sistem astronomi modern alias masih menganut rancangan astrologi. Konsekuensinya, tanda-tanda zodiak yang digunakan saat ini tidak lagi selaras dengan posisi Matahari atau waktu saat Matahari melintasi zodiak bintang tersebut.
Sebagai gambaran, zodiak Aries yang dalam astrologi dilintasi Matahari antara 20 Maret-20 April, maka waktu yang benar sesuai perhitungan dan pengamatan astronomi saat ini adalah 18 April-13 Mei. Demikian pula untuk Pisces, yang semula 21 Februari-19 Maret bergeser menjadi 11 Maret-18 April.
Selain itu, masalah lain pun muncul. Sebenarnya ada 13 zodiak yang dilintasi Matahari, bukan 12 zodiak seperti yang digunakan dalam astrologi. Zodiak ke-13 yang ditinggalkan itu adalah Ophiuchus yang dalam mitologi Yunani kuno digambarkan sebagai pria pembawa ular.
Kisah-kisah kuno Babilonia sebagai bangsa yang dianggap sebagai pencetus astrologi saat ini pun sebenarnya mengakui ada 13 bintang zodiak di ekliptika. Namun, Ophiucus yang saat ini dilintasi Matahari antara 29 November-17 Desember sengaja ditinggalkan.
Banyak kalangan menduga penghilangan zodiak ke-13 itu karena dalam budaya Barat, angka 13 dianggap sial. Selain itu, seperti dikutip dari History, 10 Agsutus 2021, bangsa Sumeria kuno, yang lebih dahulu dari Babilonia, menganggap angka 12 adalah angka yang sempurna, seperti satu tahun adalah 12 bulan dan setengah hari sama dengan 12 jam. Selain itu, angka 13 dianggap ganjil dan tidak biasa.
Astrologi vs astronomi
Masyarakat pun enggan mengadopsi perubahan tersebut dengan alasan sudah cocok dengan zodiak dalam astrologi. Padahal, itu hanya ramalan yang tidak ilmiah. Kalaupun ada kecocokan, sering kali hanya berupa kebetulan atau pikiran kita yang secara tidak sadar berusaha menyesuaikan dengan ramalan yang ada.
Selain itu, masyarakat masih menganggap astrologi dan astronomi sebagai ilmu yang sama. Meski keduanya sama-sama menjadikan benda-benda langit sebagai kajian, metode dan peruntukannya berbeda. Astronomi adalah sains yang dipelajari di rumpun keilmuan matematika dan ilmu pengetahuan alam di sejumlah universitas di dunia, sedangkan astrologi masuk pseudosains alias sains semu.
Dikutip dari situs Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA), astronomi adalah studi ilmiah tentang segala sesuatu di luar angkasa atau di luar atmosfer Bumi. Astronom dan ilmuwan lain tahu bahwa bintang-bintang yang jaraknya hingga bertahun-tahun cahaya dari Bumi tidak akan berpengaruh pada kehidupan manusia di Bumi.
Sementara itu, astrologi adalah keyakinan bahwa posisi bintang dan planet dapat memengaruhi kejadian yang dialami manusia Bumi. Karena itulah, astrologi tidak termasuk sains. Di universitas pun, kajian astrologi umumnya masuk dalam ranah ilmu budaya. Jumlah universitas yang mengajarkan kajian astrologi juga jauh lebih terbatas.
Astrolog juga masuk ranah budaya karena memiliki banyak versi. Setiap peradaban besar memiliki versi astrologinya sendiri sehingga kajian astrologi bersifat lokal. Kondisi itu berbeda dengan astronomi yang justru mendasarkan prinsip keilmuannya pada universalitas.
Museum Paleontologi Universitas California Berkeley menunjukkan, dimasukkannya sejumlah hal dalam astrologi yang seolah-olah ilmiah, seperti aneka perhitungan, bagan bintang, hingga pergerakan benda-benda langit teserbut membuat sebagian orang masih menganggap astrologi sebagai sains.
Baca juga: Mencocokkan Zodiak Anjing dengan Calon Pengasuhnya
Namun, ramalan astrologi yang sering kali hanya cocok untuk sebagian orang dan bertentangan dengan sebagian yang lain sejatinya menegaskan bahwa astrologi bukanlah sains karena tidak berlaku universal. Inilah yang membuat astrologi disebut sebagai sains semu atau pseudosains.
Meski astrologi dan astronomi berbeda, kedua ilmu tersebut memiliki akar kuno yang sama. Keduanya tumbuh dengan semangat untuk memahami pergerakan benda-benda langit. Namun, saat pengamatan semakin berkembang dengan ditemukannya metode dan teknologi observasi baru yang makin canggih, membuat astronomi dan astrologi akhirnya terpisah.
Perbedaan dan evolusi ilmu pengamatan benda-benda langit inilah yang kurang dipahami awam sehingga masih sering menyamakan astronomi dengan astrologi, termasuk masih memercayai ramalan bintang atau horoskop meski posisi bintang-bintang zodiaknya sudah bergeser jauh. Tak jarang, astronom sering kali diminta meramal nasib mereka.