Di tengah luapan informasi, industri media ataupun media pers tidak mungkin lagi berpijak dalam cara kerja jurnalistik lama. Perubahan menjadi keniscayaan.
Oleh
Bestian Nainggolan, Anggota Ombudsman ”Kompas”
·4 menit baca
Tatkala banjir informasi menjadi tidak terelakkan lantaran setiap individu kini bebas memproduksi dan menyebarluaskan informasi, apa lagi yang dapat dilakukan media pers?
Gugatan eksistensial semacam ini menjadi pergulatan klasik media pers di mana pun. Khusus di negeri ini, kondisi menjadi lebih problematik. Bagaimana tidak, saat yang bersamaan, media pers dihadapkan dua arus perubahan radikal sekaligus. Selain liberalisasi politik 1998 yang membuka ruang kebebasan bermedia, berlangsung pula digitalisasi teknologi komunikasi yang memfasilitasi ruang bermedia seluasnya.
Dua perubahan tersebut menggerus entry barrier informasi berita. Media pers tidak lagi satu-satunya pemroduksi informasi. Tidak hanya bersaing dengan sesama media, kali ini ia juga bersaing dengan setiap individu pemroduksi informasi. Bahkan, tidak jarang pula bersaing dengan para narasumber yang kini memilih memproduksi dan memublikasikan informasi sendiri.
Dampaknya, pasokan informasi berlimpah. Mendapatkannya pun tidak lagi banyak pengorbanan yang diperlukan. Nilai guna informasi yang diproduksi cenderung menjadi barang bebas, tidak bernilai ekonomi.
Di tengah luapan informasi semacam ini, industri media ataupun media pers tidak mungkin lagi berpijak dalam cara kerja jurnalistik lama. Perubahan menjadi keniscayaan. Dalam pola peliputan dan pemroduksian berita, misalnya, pola-pola konvensional semakin ditanggalkan. Konsepsi jurnalisme yang mengandalkan indra instingtif ”penciuman” dalam mencerna kelayakan nilai suatu peristiwa (nose for news) tidak lagi cukup. Begitu pula pemroduksian berita yang didasarkan pola reportase jalinan komentar narasumber menjadi usang. Sebab, pola semacam ini siapa pun dapat melakukannya tidak lagi menjadi ciri khas jurnalis.
Terkait hal ini, tampak tepat yang diungkapkan Phillip Meyer (2012), profesor emeritus University of North Caroline, Amerika Serikat, yang mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam pengembangan jurnalistik. Menurut Meyer, tidak mungkin lagi jurnalis bersandar pada pola konvensional. Alasannya, tatkala informasi masih langka didapatkan, sebagian besar upaya jurnalis memang dikerahkan untuk berburu dan mengumpulkan informasi. Namun, kali ini, tatkala informasi melimpah ruah, mudah diperoleh, tuntutan memproses informasi menjadi jauh lebih penting.
Kompas menyadari benar perubahan nilai guna informasi dan segenap konsekuensi yang ditimbulkannya. Itulah mengapa, dalam upaya menjaga marwah jurnalisme berkualitas yang diembannya tidak lagi cukup mengandalkan produksi berita yang komprehensif. Lebih dari sekadar luas dan lengkap, model-model interpretative news yang mencoba mengungkapkan pemaknaan suatu peristiwa yang diperoleh dari hasil pemrosesan informasi dan penganalisisan data dipraktikkan.
Mewujudkan hal ini, jurnalisme data (data-driven journalism) menjadi salah satu model jurnalistik yang ditampilkan. Sebenarnya, tradisi kreasi jurnalistik berdasar hasil pengolahan data ini sejak 1995 terbangun, sejalan dengan institusionalisasi unit Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas dalam pengerjaan survei opini publik dan pengolahan data sekunder. Berjalannya waktu, perkembangan teknologi pemrosesan data dan visualisasi yang pesat menuntut pengerjaan pengolahan data sebagai materi pemberitaan lebih intensif lagi. Tepat di bulan Agustus 2021, segmen khusus jurnalisme data dikenalkan kepada publik, terbitan berkala yang dikelola tim jurnalis dan peneliti.
Dalam Forum Ombudsman Kompas kali ini, bertepatan satu tahun rubrikasi jurnalisme data, rangkaian evaluasi dilakukan. Menariknya, ada beragam kajian telah dilakukan. Dari pilihan tema kajian, tampak benar sisi keunggulan jurnalisme data. Model pemrosesan data menjadi informasi mampu menyingkap yang selama ini tidak tersingkapkan. Apalagi semua temuan tertuang dengan dukungan visualisasi grafis yang menawan.
Bagaimana jurnalisme data mampu menyingkap 199 kabupaten dan kota di 21 provinsi pesisir yang terancam banjir rob di tahun 2050, misalnya, menjadi peringatan terhadap ancaman riil perubahan iklim dan kenaikan air laut. Tidak kurang dari 8,6 juta warga potensial terdampak dan setidaknya sebesar Rp 1.576 triliun kerugian harus ditanggung jika pemerintah dan warga abai terhadap persoalan ini (Kompas, 20/8/2021).
Potret disparitas masyarakat tidak luput dalam kajian jurnalisme data. Temuan kalangan milenial bakal semakin sulit memiliki rumah lantaran peningkatan penghasilan mereka yang tidak sejalan dengan peningkatan harga rumah (Kompas, 1/10/2021), problem kesulitan 8,8 juta warga Jabodetabek mengakses transportasi publik (Kompas, 3/2/2022), yang mencapai Rp 330 triliun per tahun (Kompas, 19/5/2022), hingga semakin tidak terkejarnya peningkatan biaya masuk perguruan tinggi lantaran tidak sebanding dengan peningkatan penghasilan orangtua (Kompas, 28 Juli 2022) menjadi temuan yang diungkap dari hasil pemrosesan data.
Di balik kemenarikan temuan jurnalisme data, evaluasi Ombudsman juga mengungkapkan berbagai keterbatasan. Sedemikian ketatnya sisi metodologi dan acuan kerangka analisis yang harus ditampilkan, misalnya, tidak jarang justru membuat narasi menjadi ”berat” dan ”kering”. Paparan temuan cenderung mendekati jurnal ilmiah ketimbang pelaporan jurnalistik. Begitu pula tampilnya unsur-unsur visualiasi yang kadang kala tampak lebih menonjolkan sisi estetik ketimbang fungsi pemanfaatannya. Problem-problem semacam ini membatasi efektivitas pesan yang ingin disampaikan.
Terlepas dari keterbatasannya, jurnalisme data terbukti menjadi pilihan model jurnalistik yang terandalkan. Di tengah banjir informasi, ia menjadi pembeda, mampu menyingkap duduk perkara dari setiap persoalan yang selama ini tidak mampu disingkap.
Jika memiliki pendapat tentang pemberitaan Kompas, silakan kirim pendapat Anda ke e-mail ombudsman@kompas.id.