Pertunjukan ”Legenda Godogan: Kungkum Kodok” dipentaskan di Bentara Budaya Jakarta pada Sabtu (27/8/2022) malam. Pertunjukan diangkat dari cerita rakyat Bali tentang pangeran dan katak.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Hujan benar-benar turun saat suara kodok bersahut-sahutan di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (27/8/2022) malam. Penari Putri Raharjo dan Warto Bosa bergeming. Tubuh mereka meliuk-liuk mengikuti alunan gamelan di bawah hujan. Properti tari serupa kodok yang mereka bawa menimbulkan tanya, apa jadinya nasib bumi jika kodok punah?
Banyak penonton kaget suara gamelan mengentak tiba-tiba. Setelah kagetnya reda, kepala penonton celingukan mencari sumber suara. Kala itu penonton duduk melingkar di tengah lapangan Bentara Budaya Jakarta. Penyelenggara acara yang menyuruh begitu.
Pengrawit tidak ada di tengah penonton. Di depan pun tak ada. Penonton akhirnya sadar bahwa pengrawit ada di tiap sudut lapangan. Di antara satu pengrawit dan pengrawit lain ada pelantang suara.
Formasi pengrawit dan pelantang suara tersebut membentuk lingkaran besar. Di dalam lingkaran itu ada lingkaran kecil berisi penonton yang terkepung ”pagar” audio. Putri Raharjo dan Warto Bosa menari dan berlakon di tengah-tengah penonton.
Pagar audio tersebut memberi pengalaman yang menarik. Ibarat bioskop, pengalaman audio itu terasa all around you. Sensasi serupa tidak akan dialami jika penonton pindah tempat duduk. Suara yang dihasilkan dari pertunjukan terasa kecil jika ditonton dari luar pagar audio.
Sayangnya, pengalaman audio all around you itu mesti buyar saat hujan turun. Penonton bubar ke pinggir lapangan yang dinaungi atap. Beberapa penonton bergeming sambil payungan. Saat hujan semakin deras, mereka akhirnya ikut berteduh di pinggir lapangan. Walakin, penonton tetap menikmati pertunjukan.
Legenda Godogan
Pentas berjudul Legenda Godogan: Kungkum Kodok itu diinisiasi komposer dan pemain perkusi asal Perancis, Alex Grillo. Sekitar 25 tahun lalu dia merekam suara kodok saat ke Yogyakarta. Bersama seniman Sapto Raharjo, audio itu dijadikan album berjudul Katak-katak Bertanggo.
Suara kodok yang Alex kumpulkan digubah lagi jadi karya seni. Kali ini, suara kodok dipadukan dengan gamelan dan musik elektronik yang dibuat secara langsung (real time) saat pentas.
Cerita ini membahas soal dinamika lingkungan hidup. Kepunahan akan terjadi jika alam tidak dijaga.
Orang yang bertanggung jawab jadi komposer musik elektronik ialah Christian Sebille. Pengrawitnya Alex Grillo, Azied Dewa, Marie-Pierre Faurite, dan Sudaryanto. Bersama penari Putri Raharjo dan Warto Bosa, total penampil malam itu ada tujuh orang. Sebagian penampil adalah anggota Komunitas Gayam16.
Sebelumnya, rombongan mementaskan Legenda Godogan: Kungkum Kodok di Yogyakarta, Surabaya, dan Solo. Pertunjukan ini merupakan hasil dari residensi seni para penampil. Residensi berlangsung selama sebulan, Juli-Agustus 2022.
Alex mengatakan, pertunjukan ini adalah bagian terakhir dari trilogi karyanya tentang kodok. ”Karya pertama berupa audio untuk Radio France, sedangkan karya kedua berupa konser yang diadakan di Perancis. Karya ketiga yang paling berbeda karena ada paduan unsur audio, teater, dan drama.”
Naskah drama Legenda Godogan: Kungkum Kodok ditulis oleh Elizabeth Inandiak, penerjemah Serat Centhini ke bahasa Perancis. Drama ini merupakan adaptasi dari cerita rakyat di Bali tentang pangeran dan katak.
Legenda Godogan bercerita tentang seorang ahli bioakustik yang khawatir dengan kepunahan kodok. Saat riset di lapangan, ia bertemu seekor kodok yang berubah wujud jadi dukun. Dukun itu mengubah ahli bioakustik menjadi kodok. Katanya, agar manusia tahu bagaimana rasanya hidup sebagai kodok.
”Cerita ini membahas soal dinamika lingkungan hidup. Kepunahan akan terjadi jika alam tidak dijaga,” kata Marie-Pierre Faurite, pengrawit sekaligus produser pertunjukan.
Alex menambahkan, Legenda Godogan becermin dari hilangnya katak emas di Monteverde, Kosta Rika, pada tahun 1990. Katak adalah salah satu rantai makanan di alam. Hilangnya katak akan berpengaruh pada keseimbangan ekosistem, seperti ledakan serangga hama di sawah hingga turunnya populasi ular.
Pesan ini disampaikan secara subtil di pentas Legenda Godogan. Menurut Marie, lingkungan adalah isu yang kompleks sehingga mesti disampaikan dengan sederhana agar dipahami banyak orang. Seni dan budaya bisa jadi media penyampaian isu lingkungan.
Pada akhir pertunjukan, tokoh Godogan (ahli bioakustik yang berubah jadi kodok) akhirnya paham kehidupan kodok. Ia berseru bahwa dirinya tahu harus apa untuk membantu kodok-kodok di alam.
”Kami tidak memberi jawaban yang jelas tentang maksud Godogan. Biar jadi interpretasi terbuka buat penonton. Sebab, setiap orang punya cara sendiri untuk menjaga lingkungan. Ada yang menghemat air, tidak memakai plastik, atau tidak bepergian dengan pesawat,” ucap Marie.
Pertunjukan selesai dalam waktu lebih kurang sejam. Sebagian penonton kembali duduk melingkar di lapangan ketika hujan berhenti, sebagian lainnya bergeming di pinggir lapangan. Setelah pertunjukan rampung, pembawa acara membuka sesi diskusi untuk penonton yang ingin bertanya atau menyampaikan komentar.
Salah seorang penonton diminta menjelaskan interpretasinya terhadap pertunjukan yang baru saja ditontonnya. Ia membahas soal kesombongan manusia terhadap alam. Penonton lain mengapresiasi ide gabungan budaya Indonesia dengan pegiat seni dari Perancis. Pesan apa pun yang diperoleh, penonton tidak salah.
”Tidak apa jika tidak mengerti cerita atau pertunjukan ini sepenuhnya. Kadang kita terlalu fokus untuk meneliti untuk memahami pertunjukan. Menurut saya, kita hanya perlu duduk, mendengarkan, dan menikmati pertunjukannya,” tutur Marie.